21 | [೫]

4K 723 25
                                    

"Pitaloka, ini Kangmas." 

Kala menatap pendar iris yang tak dapat diterjemahkan itu, Hayam benar-benar menjadi tak berdaya. Melihat bagaimana cara gadis itu yang mundur ketakutan saat tangan Hayam berusaha meraih jemarinya, membuat ia meneguk ludah dengan putus asa. 

Hayam kembali memandangi bagaimana kesederhanaan sebuah kemben dan jarit lusuh membalut rapi tubuh Pitaloka yang bersinar. Air mata Hayam tak dapat lagi terbendung ketika ia menemukan segores bekas luka pada lengan kanan gadis itu. Selendang yang dipakainya kini bahkan terlihat seperti sehelai daun yang dapat diterbangkan angin sewaktu-waktu. 

Apakah selama ini Pitaloka makan dengan baik? Apakah Pitaloka tidur cukup? Apakah Pitaloka mendapatkan segala sesuatu yang ia butuhkan? Apakah Pitaloka tak kedinginan setiap malam? 

Lihat saja bagaimana sebuah gubuk tua menjadi satu-satunya tempat berlindung yang ia punya. Hayam, apakah kau yakin jika kau belum mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu barusan? 

Hati Hayam begitu mencelos. Apa saja yang sudah gadis itu lewati sendirian selama kurun waktu 1 tahun ini? 

Pitaloka ingin sekali membuka bibirnya yang sedari tadi terasa kelu untuk berucap. Perlahan ia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya mendekat pada Hayam, pada pria yang seharusnya bisa menghias hari-harinya dengan secercah harsa. 

Namun, ia kontak terkejut ketika Hayam bersimpuh di hadapannya. Pria itu menundukkan kepala. Seorang raja negara adidaya yang diberkati oleh seluruh Majapahit itu baru saja bersujud pada Pitaloka. 

"Adakah yang bisa kulakukan untuk menebus dosaku?" 

Isakan pria itu terdengar sangat menyakitkan di dalam telinga Pitaloka. Tangannya mengepal untuk menahan gejolak yang begitu mendalam. 

"Jika kau puas dengan melihatku mati, maka aku akan melakukannya," 

Tak ada jawaban dari Pitaloka, hingga sebuah suara hembusan napas terdengar samar-samar. "Kenapa Yang Mulia harus mati?" tak ada intonasi dalam nada bicara gadis itu.

"Jika aku memang meminta Yang Mulia untuk mati, apakah Yang Mulia akan rela meninggalkan Majapahit begitu saja? Bagaimana dengan keluarga Yang Mulia? Bagaimana dengan kekosongan takhta yang akan menjadi pemicu perang saudara?" 

Pitaloka menarik napasnya dalam-dalam. "Dan bagaimana dengan Putri Sudewi yang selalu menunggu Yang Mulia untuk bisa pulang ke rumah?" 

Hayam terdiam seribu bahasa. Tak ada keberanian untuknya kini menegakkan kepala memandang Pitaloka. Ia merasa jika ia tak lebih hanyalah seorang pengecut. 

"Aku tidak pernah mencintainya." 

"Ah, ternyata sebesar ini ego seorang raja besar yang pernah aku kenal," sambungnya. "Aku hanyalah sebutir pasir dari segala sesuatu yang Anda miliki saat ini. Ada saatnya sebutir pasir ini akan hilang. Kenapa tidak saja memilih batu karang?" 

Hayam benar-benar tak berniat menegakkan kepalanya. "Ini bukan ego," suaranya terdengar lemah. "Aku hanya ingin melindungi milikku yang berharga." 

"Sebagaimana kokohnya batu karang, jika aku tidak pernah melihatnya sebagai barang yang berharga, lantas untuk apa aku memilikinya?" Hayam tepekur. "Sebaliknya. Jika bagiku sebutir pasir itu adalah sebuah hal yang sangat berharga, maka aku tidak akan pernah membiarkannya terbawa angin, atau hilang. Kau sendiri bahkan akan melindungi milikmu yang paling berharga, meski bagi orang lain barang yang kau sebut berharga itu tidak seberapa, bukan?" 

"Melindungi yang berharga, dengan sebuah ego itu beda tipis, Yang Mulia," sahut Pitaloka kembali. "Karena Anda menganggapnya berharga, maka Anda akan melindunginya bagaimanapun caranya. Bahkan terkadang tanpa berpikir, apakah cara itu benar atau salah."

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang