17 | [೫]

3.4K 628 21
                                    

Buk!

"Prameswari." Adhyaksa beringsut untuk berbalik, ia berhenti dengan kedua alis yang naik. "Kau menabrakku, lagi." 

Kepala gadis itu akhirnya menengadah, matanya mengerjap-ngerjap kikuk. Pitaloka mundur beberapa langkah seraya mengusap dahinya yang sudah dua kali ini menabrak punggung lebar Adhyaksa. Irisnya kemudian menapaki pada setiap sudut kediaman Adhyaksa yang terasa dingin. Pelayan-pelayan itu tentu tak lupa menyalakan penerangan dan obor-obor yang digantung di halaman, namun, Pitaloka hanya merasa bila kediaman Adhyaksa ini terasa terlalu sunyi. 

Usai penangkapan Badhupati itu berhasil dilakukan, Adhyaksa membawa Pitaloka untuk sementara tinggal di kediamannya. Ia tak bermaksud apapun selain hanya ingin membuat Pitaloka merasa lebih baik. 

"Kau ... sedang sakit?"

Kepala Adhyaksa sedikit merendah untuk menemukan air muka Pitaloka. Adhyaksa sudah menyadari semenjak perjalanannya menuju kemari, gadis itu kelihatan tak menaruh perhatian pada apapun selain hanya memandang pada telapak tangannya sendiri. Bibirnya tak pucat, matanya masih terlihat jernih, namun sorot irisnya itu terasa kosong. 

"Tidak, Yang Mulia. Hamba baik-baik saja. Hamba sedang, ya ... tidak apa-apa. Mungkin hamba hanya sedikit lelah." disertai dengan sebuah senyum bohong, Pitaloka berusaha tak terlihat kikuk di hadapan Adhyaksa.

Adhyaksa hanya menganggukkan kepala, ia tak ingin terlalu menganggu. "Beristirahatlah lagi sampai kau merasa lebih baik. Kau bisa meminta pelayan untuk mengisi bak mandimu dengan air hangat jika sangat lelah." 

"Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan Anda, Rakryan Adhyaksa."

Sepintas senyum terpatri pada bibir Adhyaksa, hatinya menghangat ketika pada akhirnya netra indah itu mulai tergugah untuk membalas pandangannya. Ia tak pernah merasa hatinya akan begitu terisi oleh sesuatu yang tak bisa dirinya jelaskan. 

"Aku akan meminta pelayan menyiapkanmu untuk bertemu dengan Gusti Prabu besok hari."

Pitaloka sejenak bergeming. Selaksa keraguan tak tiba-tiba muncul, perasaan itu sudah mengganggunya sejak Adhyaksa berkata bila Hayam Wuruk memintanya ke istana untuk memberikan sebuah hadiah. Pitaloka tak memiliki keberanian lagi untuk bertemu pria itu, apalagi pada Sudewi. Cinta Hayam Wuruk padanya sudah seperti sebuah hukuman.

"Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin saja hanya akan datang sekali seumur hidup, Prameswari. Ini kehendak Sang Hyang, jangan melawan titah-nya."

Pada akhirnya, yang dilakukan Pitaloka hanya mengangguk pasrah. Saban hari ia memikirkan keberadaanya yang mungkin akan merusak suasana haru menjelang hari pernikahan agung. Namun, Pitaloka benar-benar sudah tak berdaya. Hanya Hayam Wuruk satu-satunya jawaban Pitaloka bisa kembali pulang. Lantas, memangnya jika Pitaloka kembali hadir di hadapan Hayam, bagaimana dengan Sudewi? 

Adhyaksa menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kegugupan. "Terima kasih untuk kerja kerasmu, Prameswari. Aku berhutang budi. Rasanya, aku juga perlu memberimu hadiah." 

Kemudian, ada sebuah jeda untuknya menutup bibirnya degan jari telunjuk. "Ya, walaupun aku akui, kau memang gadis yang kikuk dan penakut." Adhyaksa meledek. Ini pertama kalinya ia berniat untuk mencairkan suasana karena jantungnya benar-benar  berdegup. 

Pitaloka melebarkan mata penuh ketidak terimaan. "Kikuk dan penakut?" ia mendengkus sebal, melupakan jika pria yang ada di hadapannya itu adalah seorang Rakryan. "Anda juga terlalu dingin, Yang Mulia."

"Aku menyenangkan," Adhyaksa meninggikan dagunya angkuh, "Nyatanya Yang Mulia Prabu bahkan berteman dekat denganku, sejak kecil, sejak kami berada dalam sekolah bangsawan. Aku tidak sekaku itu."

PITALOKA (Revisi) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang