Sapuan larik-larik cahaya rembulan itu menyita atensi Pitaloka. Semilir atmosfer malam menyapu rambut panjangnya yang terurai. Gundah. Kali ini tak ada senyuman pada bibir ranumnya yang manis. Semuanya seperti sudah terbebas habis oleh realita pelik yang mencekik.
Gadis itu hanya terdiam di pelataran. Duduk beralaskan tikar rumput, ditemani kobaran suluh yang beradu dengan desiran angin. Gelang emas beraksen sulur dan sebuah pahatan rembulan itu menjadi satu-satunya yang kini Pitaloka punya.
Jadi, seperti inilah sebenarnya kehidupan. Ironinya lagi, sesaknya kehidupan itu lebih baik daripada sesaknya cinta.
Untuk kali pertamanya, Pitaloka merasakan bagaimana tangan seorang pria akan membelai rambut dan wajahnya. Untuk kali pertamanya pula, kaki seorang pria akan selangkah maju ke depan untuk melindunginya dari binatang buas di hutan.
Seorang pria dengan tatapan teduh nan memikat itu yang kini mendominasi pikiran Pitaloka.
Namun, semua yang berjalan kini rasanya hanya mimpi, semua nampak akan sirna sebentar lagi. Ah, apakah benar memang hanya mimpi? Jika benar, maka baguslah. Pitaloka harus bangun dan membasuh mukanya beberapa kali setelah ini.
"Hamba akan mengantar Anda pergi ke perbatasan,"
Wanita itu muncul dari belakang, membawa sebuah cangkir berisikan air. Ia duduk, menekuk kakinya ke samping seperti Pitaloka, lalu memberikan air minum itu untuk sang Putri yang keberadaannya sudah seperti sebuah ancaman.
"Tidak perlu, Yu," jawab Pitaloka. "Pergilah saja ke Trowulan dengan pakaian bagus,"
"Dan meninggalkan Anda sendirian?" Tatap Ratmi yang mencoba memahami air muka temaram Pitaloka. "Selama ini Anda bahkan sudah melalui semuanya sendiri, Ndoro. Tidakkah Anda membutuhkan tangan orang lain sekali saja?"
Pitaloka hanya menghela napas dan tersenyum tipis, menengadah di bawah gemerlapnya gemintang pada mega malam. Derai air mata itu ingin saja jatuh sewaktu-waktu, namun, Pitaloka hanya tidak bisa terlihat rapuh di netra siapapun.
Ratmi perlahan memalingkan mukanya dari Pitaloka, "Mungkin hamba adalah salah satu dari sekian orang yang bisa dikatakan beruntung, Ndoro,"
"Kenapa begitu, Yu?" Pitaloka kembali bertanya setelah Ratmi menginterupsi tiba-tiba saja.
"Duduk berdampingan dengan seorang putri kerajaan, sudra mana yang bisa seberuntung hamba? Bangsawan saja menganggap kami najis. Tapi, Anda ..." wanita itu kembali memandang pada tangannya sendiri yang tengah meremas selendang dengan erat, "... Anda bahkan juga makan-makanan kami, Anda tidur beralaskan tanah, Anda pergi bekerja untuk menyambung hidup. Anda bukan kami, Ndoro,"
Pitaloka terkekeh. "Aku adalah kalian, Yu Ratmi. Aku juga manusia,"
Ratmi menggeleng sembari tersenyum miris, "Terima kasih sudah mengampuni dosa hamba, Ndoro,"
"Mengampuni dosa?" Kedua alis Pitaloka saling bertaut, "Aku bukan dewi, Yu, jangan seperti itu. Yu Ratmi sudah aku anggap sebagai kakak perempuanku sendiri,"
Ratmi berusaha terdiam, memandang ke dalam manik mata Pitaloka yang seperti menyimpan secercah cahaya. Iris itu terlalu indah untuk dipandang, Ratmi bahkan tak bisa memalingkan mukanya dari keelokan rupa Pitaloka. Benar saja jika Nyai Bajradewi bahkan menjulukinya sebagai dewi bulan.
"Tolong, Ndoro. Izinkan hamba untuk mengantarkan Anda pergi ke perbatasan."
❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀
"APA!?"
Adhyaksa menutup sebelah telinganya setelah suara nyaring gadis itu memekik keras. Ia menggeser tubuhnya sekian inci lebih jauh agar kakak beradik kacau itu tidak kembali menggoyangkan gendang telinganya. Kini Adhyaksa benar-benar menyesal sudah menerima ajakan Diraya untuk bersinggah di kediaman-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...