"Kangmas harus pulang, banyak orang sudah menunggu Kangmas di rumah."
Hayam terdiam di lorong penjara, masih tepekur di tengah dinginnya fajar. Sepekat kobaran suluh tak bisa menampik memori singkatnya bersama Pitaloka. Tidak, itu terlalu singkat untuk dikatakan singkat. Memori itu terlalu sebentar untuk dikatakan sebentar.
"Kangmas, boleh aku meminta satu hal?"
"Apa itu, Pitaloka? Katakan saja."
"Bisakah Kangmas menghapus larangan yang berakibat dua puluh cambukan itu? Aku tahu bagaimana perasaan Kangmas, tapi Kangmas adalah raja besar yang tak seharusnya egois seperti itu. Rakyat Kangmas pasti sangat tertekan. Karena bagi mereka, aku hanyalah gadis asing yang berakhir tragis, bukan seorang dewi yang harus disanjung. Jangan membuatku merasa bersalah, Kangmas. Hahahaha jangan serius seperti itu, aku mengatakan ini untuk kebaikan Majapahit. Mana senyuman Kangmas yang tadi?"
Ia tahu jika Pitaloka hanya sedang berbohong. Gadis itu tak seharusnya tersenyum di hadapan Hayam, gadis itu tak seharusnya bertingkah seakan Hayam tak pernah melakukan sebuah dosa yang bahkan sudah mengikis kewarasannya sendiri. Gadis itu bahkan tak seharusnya tertawa di tengah hancurnya dunia yang ia miliki.
"Putri Sudewi adalah gadis yang sangat baik, dia manis, periang dan, penuh energi. Dia akan menjadi teman hidup yang bisa mengerti Kangmas, aku bersumpah. Aku dan Putri Sudewi berteman, tapi, sayangnya kami belum bertemu lagi hingga sekarang. Jadi, bisakah Kangmas berjanji satu hal padaku juga?
"Tolong jaga temanku itu sebaik mungkin. Cintai dia seperti Kangmas mencintai Majapahit. Dia gadis yang berhati murni, kalau Kangmas menyakitinya sekali saja, maka Kangmas akan berurusan denganku."
Hayam sudah tak bisa lagi menegakkan bahunya. Kini perih dalam dadanya itu semakin terasa, menghujam setiap sudut denyut nadi yang rasanya lebih baik berhenti. Kehadiran Pitaloka adalah sebuah kebahagian dan kesedihan baginya. Hayam tak mengerti kenapa kisah cintanya akan berjalan sepahit ini.
"Gerhana bulan nanti adalah gerhana bulan terakhirku di Majapahit, Kangmas, karena aku akan pulang. Kalau Kangmas ingin mengantarku pulang, aku akan menunggu di tempat di mana Ibuku dan seluruh iring-iringan wanita Sunda saat itu pulang."
"Yang Mulia Prabu?"
Keheningan dan rasa sakit itu terampas sudah oleh suara berat seorang pria yang sering mengisi telinga Hayam. Ia menegakkan wajahnya yang penuh nestapa untuk melihat pria yang romannya itu samar-samar terbias cahaya suluh.
Adhyaksa berderap dari ujung sana dan kepalanya tertunduk hormat setelah ia sampai di hadapan Hayam. Kernyitan dahi Adhyaksa tak bisa lepas dari iris Hayam yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Helaan napas lega bahkan terdengar kentara dalam pendengaran Hayam ketika Adhyaksa kembali membenarkan posisi berdirinya.
"Ke mana Yang Mulia Prabu selama tiga hari ini?"
Hayam tentu kembali ke penjara setelah pulang dari Sawitra sebab tempat inilah saksi bisu pria itu pergi menghilang. Manusia seperti Adhyaksa ini yang membuat Hayam tak boleh kembali ceroboh meski tindakannya sudah terbilang bodoh.
Ia mengerlingkan matanya, "Berburu, sekaligus pergi ke Sawitra untuk menjenguk Ibu Bajradewi,"
"Tidak membawa panah dan kuda?" Adhyaksa menautkan kedua alisnya, "Kuda Yang Mulia Prabu bahkan masih terikat kencang di kediaman Anda,"
Hayam menaikkan kedua bahunya sejenak seolah kebohongannya adalah sebuah kebenaran. "Kau pikir berburu harus memakai panah? Bagaimana dengan belati? Tidakkah itu lebih menantang, Aksa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/290703434-288-k473841.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PITALOKA (Revisi) ✓
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ II─༺ Jika Dyah Pitaloka Citraresmi tak pernah melakukan bela pati dalam perang Bubat, Hayam Wuruk tentu akan tetap memperjuangkan cintanya yang sempat mengabu. Meski begitu, semua jelas kembali lagi pada takdir yang sudah tertulis. ...