KOMA 27

2.4K 271 12
                                    

Happy read.
Kasih voment ya readers.

~~~~

Gadis cantik berumur dua puluh tiga tahun itu terdiam bingung. Ayahnya tengah menatap penuh curiga karena dia membawa seorang pria ke rumah.
Gema tengah di kamar, merawat Ansel yang demam karena kehujanan. Parahnya, saat Gema ingin meminta pemuda itu pulang, Ansel sakit sehingga tidak dapat menyetir mobil sendiri. Tidak ada pilihan, Gema membawanya ke rumah dengan taksi.

Namun, kini pasti ayahnya sedang berpikir macam-macam tentangnya. Akan ada banyak pertanyaan di kepalanya, seperti, 'Mengapa Ansel bersamamu? Mengapa setelah dua tahun berlalu pemuda itu datang lagi dalam hidup kamu?'. Ah, bagaimana jika lelaki itu marah? Gema tidak tahu harus melakukan apa.

"Apa dia baik-baik aja?" Fahar bertanya hingga membuat putrinya terperanjat.

"Koko–maksudnya Dokter Ansel cuma demam, kok." Gema hampir saja jantungan tadi, jika saja ayahnya sampai bertanya yang aneh-aneh.

Dari ujung mata, Gema melihat Fahar keluar dari kamarnya. Ia lega ayahnya tidak marah, setidaknya untuk saat ini.

Gema fokus pada wajah lelaki yang tengah tertidur itu. Masih sama, wajahnya begitu manis ketika tidur.

"Aku tau kamu khawatir, 'kan?" Suara Ansel menginterupsi, membuat Gema membelalakkan mata.

"Kamu pura-pura, ya?" tuduh Gema masih jengkel. Karena pemuda itu, dia harus menanggung semuanya, bahkan harus menghadapi ayahnya juga nanti.

Ansel membuka mata dan bangkit, lalu meraih tangan Gema dan meletakan di dadanya. "Yang sakit di sini."

Gema menarik tangannya, dia juga memalingkan wajahnya demi menghindari tatapan pemuda itu. Kenapa setelah sekian lama tidak bertemu intens, jantungnya masih berdegup kencang ditatapnya.

"Enggak usah sok jutek. Aku tau kamu datang bukan tanpa alasan." Ansel masih berusaha membuka obrolan.

'Iya', ingin sekali Gema menjawab demikian. Ia tidak dapat membohongi perasaannya, meski dua tahun berusaha keras melupakan, nyatanya sikap Ansel yang selalu dia rindukan. Namun, jika mengingat rasa takut akan terluka lagi, Gema selalu berusaha menghapus segalanya, meski sulit.

"Kalau udah enakan mendingan pulang." Gema beranjak dan berniat meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi, Ansel justru menyusul dan mengunci pintu kamar, dengan cekatan dia memojokkan Gema di tembok.

"Jangan ninggalin aku dengan keadaan yang sama. Kamu ninggalin aku pas sakit waktu itu," kata Ansel kembali mengingatkan Gema pada tindakan ceroboh gadis itu dulu.

"Jawab aku, Gem. Kenapa kamu nyusul aku ke alun-alun? Karena kasihan? Atau kamu masih menyisakan rasa itu untuk aku?" tanya Ansel mengurung gadis itu di antara tangannya, tatapannya lurus dan begitu hangat.

"Kamu berharap apa? Kembali? Kembali untuk berpisah?"

Keduanya saling menatap begitu dalam. Ansel masih tidak habis pikir, Gema menginginkan perpisahan, tetapi gadis itu masih memedulikannya.

"Perpisahan kita cuma Mama yang mau. Mundur pun cuma kamu yang menyetujui, aku enggak pernah mau lakuin itu. Kenapa? Kenapa kamu pergi sebelum lihat perjuangan aku? Kenapa kamu memutuskan semuanya sendiri, seolah hubungan ini cuma punya kamu. Kamu pikir itu enggak menyakitkan?" Ansel berucap dengan napas memburu.

"Belum cukup kamu nyiksa aku? Belum cukup kamu hukum aku dengan kepergian kamu? Yang mau pergi kamu, bukan aku Aigema," sambung Ansel lagi. Amarahnya yang dua tahun dia tahan, kini ingin meledak di depan gadis itu. Ansel ingin gadis itu tahu, bahwa keputusan mundur hanya Gema yang melakukannya, bukan dia.

"Kenapa kamu enggak mau nunggu aku untuk berusaha dulu? Apa menurut kamu berpisah jauh lebih baik?" tanya Ansel lagi.

Gema masih terdiam, dia akui kalau yang meninggalkan adalah dia, bukan Ansel. Namun, semua itu atas kemauan mamanya, bukan? Lalu mengapa pemuda itu masih menyalahkannya.

"Kamu bisa jamin kalau semua bisa berubah? Atau kamu enggak memikirkan, kalau usaha kamu gagal maka semua hanya menunda luka," sahut Gema sama-sama tidak salah.
Keduanya mengakui kalau semua yang mereka katakan benar.

Ansel menjauhkan tubuhnya dari gadis itu. "Terus ... kenapa kamu masih simpan cincin itu kalau memang udah enggak mau kembali?"

Reflek Gema menggenggam cincin yang dia pakai sebagai gantungan di kalungnya. Sial, kenapa Ansel harus melihatnya.

Ansel tersenyum jail ketika gadis di depannya terdiam salah tingkah. "Kamu enggak bisa bohong sama aku."

Gema tidak dapat menyangkal, nyatanya dia memang masih menyimpan rapi perasaannya untuk Dokter muda itu, sangat.

"Aku udah bilang jangan kembali, kita udah berakhir-"

"Itu buat kamu, buat aku enggak. Aku selalu cari keberadaan kamu, tapi Taksa bilang kamu pergi jauh dan enggak akan pernah kembali. Kamu tau seputus asa apa aku?" potong Ansel memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Andaikan gadis itu tahu bagaimana Ansel ingin menyerah, tetapi bayangannya selalu menghantui.

Gema tahu, Taksa melakukan itu untuk melindunginya, itu tidak salah baginya. Ia juga tahu, bagaimana rasa putus asanya, Gema pun merasakan hal yang sama. Ketika ingin melupakan, dengan jahatnya kenangan selalu saja memintanya untuk tetap sama, mencintainya.

Tiba-tiba, Ansel meraih tubuh Gema, dia memeluknya kendur. Gadis itu pun hanya diam, tidak membalas, juga tidak menolak. Keduanya merasa dunia kembali seperti dua tahun lalu, ketika mereka masih saling menyayangi, saling mendampingi. Mengapa menyakitkan jika mengingat keakraban itu hilang dua tahun ini.

"Kamu tau? Selama dua tahun, setiap detik di rumah sakit, dengan bodohnya aku selalu berharap kamu datang sama Ayah. Menyakitkan, Ai."

Penuturan Ansel memukul keras hati Gema. Ia baru menyadari kalau pemuda itu melakukan hal yang sama dengannya. Gema pun selalu berharap, ketika mengantar Ayah ke rumah sakit, dia selalu berpikir akan bertemu Dokter Ansel yang dia rindukan. Gema dapat merasakan sakitnya, ketika hari mulai petang dan wajah kekasih tidak kunjung datang. Seharian selama dua tahun dia memikirkan hal itu, dan ternyata Ansel pun sama.

"Aku mohon ... kasih aku kesempatan untuk memperbaiki lagi," sambung Ansel masih dengan posisi memeluk gadis itu.

"Cinta kita enggak direstui. Aku enggak mau buat kamu melawan tempat surga kamu berada, Dokter Ansel." Gema ingin berhenti.

"Aku enggak pernah minta kamu untuk membuat aku melawan Mama sendiri. Aku cuma minta, kembali dan tunggu."

Gema diam, tidak dapat menjawab karena begitu bimbang. Rasanya dia masih sangat mencintai Ansel, tetapi ada pemuda lain yang juga tengah dia pikirkan nasibnya.

"Gem, Mama stroke."

.

.
****

Suka ngagetin, tiba-tiba bilang mamanya stroke. Padahal beberapa hari lalu ketemu Gema.

Jangan bosen nunggu update-nya ya.

Aku ngurus yg lain juga soalnya ehehe.
Makasih udah baca dan setia komen.

Komen kalian berarti buat aku.

KOMA | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang