KOMA 24

2.6K 299 12
                                    

Menyesakkan


Saat itu, waktu seolah berhenti, detik tidak lagi bertambah menuju menit. Seolah dunianya tengah terpusat pada satu wajah yang tersenyum saat mengarahkan kameranya pada objek incaran.

Ansel Kolandifa meremas jas putihnya, menahan gejolak yang menyerang tiba-tiba. Terkejut, seakan dia melihat hantu yang membuatnya ingin lari, tetapi kakinya bertahan di tempatnya berdiri. Sampai akhirnya lensa milik gadis manis itu mengarah padanya.

Ansel hanya dapat terpaku, menajamkan pandangannya untuk meyakinkan diri bahwa sosok yang dia lihat adalah Aigema Tara, gadis yang dua tahun seakan lenyap dari dunia ini.

Ketika melihat gadis itu juga menatapnya, bibirnya terbuka sedikit, ingin mengucapkan sesuatu, tetapi akhirnya mengatup kembali karena kelu.

Ansel menatap Gema yang memunggunginya, lalu tidak lama berlari pergi, Ansel bahkan tidak sanggup mengejarnya. Ada sekawanan rasa tidak yakin jika alam mempertemukannya kembali setelah banyaknya hari dilewati dengan penuh siksaan.

Rasa bersalah, sampai menyerah mencari tahu keberadaannya, dan kini dia melihat gadis manisnya di depan mata. Ansel telah melewati banyak hal tanpa Gema, dan itu membuatnya semakin terperosok ke jurang.

Setelah acara yang diadakan rumah sakit tempat dia bekerja selesai, Ansel memutuskan menemui Dokter Iyan, menanyakan kebenaran tentang Gema.

Kini, dia telah berdiri di sisi kolam dangkal yang sangat membuatnya takjub. Pandangannya mengedar, memuji apa yang kini dia lihat. Ada kata yang ingin dia sampaikan, 'Selamat' pada gadis yang dia tunggu kedatangannya.

Seusai kepergiannya, ternyata banyak yang berubah. Ansel dapat melihat betapa hidup gadis itu jauh lebih baik, tidak sepertinya yang tersiksa atas kepergiannya. Jiwanya rapuh, dan masih tidak menerima keputusan Gema untuk pergi. Hal itu yang dua tahun ini selalu mengusiknya, sampai akhirnya satu bulan lalu dia pindah bertugas ke rumah sakit lain.
Justru perpindahannya itu yang telah mempertemukannya dengan Gema.

Setelah banyaknya waktu terlewati, cintanya untuk gadis itu tidak pernah berkurang. Terlebih saat melihat Gema hadir di rumah sakit tempat kerjanya. Terkejut? Iya, sampai Ansel tidak dapat melakukan apa pun ketika melihatnya. Namun, kini dia akan menemui Gema dengan segala kemungkinan yang telah dia pertimbangkan.

Sudah cukup dia mencari keberadaan Gema sampai menyerah, dan kini ketika putus asa, dia menemukan titik terang, tidaklah mungkin Ansel menyia-nyiakan ini semua.

"Permisi, Pak. Bu Gema sudah di sini."
Ucapan salah seorang karyawan membuat Ansel tidak langsung menoleh. Dia takut gadis itu akan pergi setelah melihatnya.

"Gem?" Ansel memanggilnya, meski tubuhnya masih memunggunginya. Dia berdiri di area makan di kolam, menatap kosong pada genangan air di sana.

Di belakang, sudah berdiri gadis yang sejak tadi bertanya-tanya siapa yang menemuinya siang ini. Namun, ketika melihat punggung itu, Gema langsung dapat menebaknya. Gadis itu masih hafal betul punggung milik siapa itu. Dadanya sesak melihatnya datang kemari. Meski sangat berharap melihatnya lagi, Gema tidak sanggup jika menelan kenyataan kalau lelaki itu bukan Koko yang dia miliki lagi. Apa dia harus lari lagi seperti pengecut? Atau, menemuinya seolah masa lalu tidak pernah ada.

Akhirnya Ansel memutar tubuhnya. "Apa kabar?"

Keduanya saling menatap, dibiarkan lama, untuk melepas kerinduan yang telah dua tahun terpendam. Bukan waktu yang pendek ketika dua tahun mereka lewati dengan penuh luka. Kini, wajah yang kemarin masih menjadi bayangan semu, sudah ada di depan mata.

"Baik." Suara Gema bergetar. Gadis itu masih tidak percaya kalau pemuda itu akan menemuinya.

Ansel terkekeh penuh luka, dia sama tidak percayanya dengan Gema. Melihat semua yang terjadi, dia pikir tidak akan menemukan gadis itu lagi. "Makasih ... sudah izinin saya lihat kamu lagi."

Ucapan Ansel sama persis dengan apa yang Gema ingin sampaikan pada Tuhan, dia bersyukur masih dapat melihatnya. Meski dari cara lelaki itu berbicara sedikit berbeda, tubuhnya pun tidak segemuk dulu saat ditinggalkan, meski masih terbilang sedang.

Keduanya masih sulit membuka obrolan. Ada banyak hal yang ingin keduanya sampaikan, terlalu banyak hingga tidak dapat memilih mana yang akan diceritakan lebih dulu. Namun, di benak keduanya, mereka ingin menanyakan kabar hati masing-masing.

'Apa sudah ada yang lain?' Pertanyaan itu ingin keluar, tetapi tidak satu pun dari mereka yang berani menanyakannya. Terlalu menyakitkan untuk mengetahui kenyataan.

Ansel tersenyum, tetapi tersirat banyak beban. "Saya pikir kamu akan kembali, Gem."

Gema mengerti yang dimaksud ucapan Dokter Ansel. Akan tetapi, Gema masih sibuk menahan air mata yang ingin keluar dari bendungan.

"Sampai-sampai setiap hari saya terus berpikir kalau akan menemukan sapaan walau cuma lewat pesan sebelum tidur. Atau, ketika saya membuka mata di pagi hari, kamu datang ke saya. Ternyata enggak," imbuh Ansel panjang, disertai kekehan pilu, tanda menertawakan kebodohan yang dia lakukan selama ini.

Matanya mengedar mencari sesuatu di jari satu sama lain, takut sudah tersemat cincin perjanjian yang membuat pertemuan mereka terlarang. Namun, tidak ada. Apa itu artinya mereka terjebak kegagalan untuk saling melupakan?

"Apa kedatangan saya mengganggu kamu?" Ansel bertanya lagi, kini dia yang lebih banyak bicara.

"Eng–aku ...." Gema bingung, dia memunggungi pemuda itu.

Ansel tahu kalau gadis itu memalingkan wajahnya karena menangis, terdengar dari deru napasnya yang berbeda.

"Apa masih ada kesempatan untuk memperbaikinya?" tanya Ansel.

Mereka tahu, perpisahan yang terjadi bukan atas kemauan keduanya. Semua terjadi karena keadaan yang menginginkan semua harus dilepas secara paksa.

Gema sudah tidak tahan, dia berbalik dan memeluk mantan kekasihnya, menenggelamkan wajahnya di dada laki-laki yang begitu dia rindukan.

"Enggak apa-apa," bisik Ansel bermaksud menenangkan.

Tangan Gema mencengkeram kuat kemeja putih yang pemuda itu pakai. Ingin sekali Gema menceritakan betapa dia tersiksa berada jauh dengan Ansel. Selama ini, hanya ada kepura-puraan yang Gema lakukan. Senyuman di wajahnya hanya terhias di pagi hingga sore, malamnya dia menangisi segalanya sendiri. Menyiksa diri dengan menangisi keadaan yang tidak tahu harus dia apakan.

Begitu juga Ansel, dia ingin mengatakan pada Gema bahwa dia terus saja menyesal. Menyesali segalanya yang belum sempat dia perbaiki. Setidaknya, Ansel berpikir untuk berpisah dengan baik, agar tidak sesakit ini ketika ditinggal tanpa pamit. Sungguh, itu sangat menyesakkan.

Gema tidak tahu bagaimana Ansel berusaha keras melupakan, tetapi justru semakin menjauh semakin membuatnya terperosok. Berpikir bahwa gadis itu pergi untuk selamanya, membuat Ansel ingin mengakhiri hidupnya saat itu.

"Koko ...." Suara Gema bergetar.

"Iya, saya ada di sini." Ansel menaruh harapan jika pelukan ini memiliki arti kalau gadis itu akan kembali.

Gema mengumpulkan nyali untuk berucap setelah dengan egoisnya memeluk tanpa izin. "Sekarang waktunya giliran kamu yang pergi."

.

.

****

Egois, bikin kesel.
Sifat Gema itu yah, enggak mau gini, juga enggak mau gitu.

Kalau kamu jadi Gema gimana?

Kasih voment ya.

Bukan next aja ;-)

KOMA | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang