KOMA 17

2.5K 294 5
                                    

Jika Saja Tahu Sejak Awal


'Seorang Ayah akan menjadi pahlawan terdepan dengan segala jiwa dan raganya ketika putrinya jatuh. Ia tidak hanya membuat putrinya bangkit, tetapi mengajarkannya untuk kuat.'

~~~

Rasa penasaran itu terus saja mengganggunya. Seperti yang putrinya katakan, bahwa dia tidak lagi bersama kekasihnya. Fahar ingin tahu yang sebenarnya terjadi. Ucapan Taksa pun membuatnya bertekat untuk membuktikannya sendiri.

Fahar ingin mendapat kejelasan yang dapat dia lihat dan dengar sendiri. Dia hanya ingin melihat putrinya bahagia, itu saja.

Lelaki separuh baya itu duduk di sofa, dia datang ke rumah Rania setelah beberapa hari ini mencari alamatnya. Bahkan, Fahar datang ke rumah sakit meminta alamat lengkap orang tua Ansel tanpa sepengetahuan pemuda itu. Untungnya, pihak rumah sakit sudah cukup mengenalnya yang wira-wiri berobat, sekaligus pasien Ansel, jadi dengan mudah dia mendapatkannya. Ingin sekali Fahar bertatap muka dengan keluarga pemuda yang hampir saja menikahi putrinya. Semua itu karena dorongan dari kekhawatirannya selama ini.

Setelah secangkir teh disuguhkan, keduanya duduk bersama di ruang tamu.

"Jadi ... Bapak adalah orang tua Gema?" tanya wanita di depannya.

"Iya. Saya kemari hanya ingin silaturahmi, sekaligus ...." Fahar menghentikan ucapannya. Dia sempat berpikir ribuan kali untuk datang ke sana, dan dia takut salah bicara.

"Apa Bapak mencari Ansel?"

Fahar menggeleng. "Saya cuma mau ketemu sama Ibu."

Rania hanya ber-oh saja. Wanita itu berharap kalau orang tua Gema tidak mencari masalah di rumahnya.

"Ibu pasti tau kalau putra-putri kita memiliki hubungan ...." Fahar menelan salivanya, berusaha untuk tetap tenang. "Apa Ibu tau juga, mengapa mereka berpisah?"

Rania menjatuhkan pandangan ke lantai, ternyata lelaki itu ingin informasi darinya. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk berbicara terus terang. "Iya, saya tau."

"Kenapa, Bu?"

Rania meraih cangkir tehnya, lalu meminum dengan santai. "Bapak tau rasanya memiliki seorang anak. Kita sebagai orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk putra-putri kita. Begitu juga saya."

Seketika, Fahar bertanya dalam benaknya, 'Apa Gema tidak baik untuk Ansel maksudnya?'.

"Saya pun ingin Ansel memiliki pasangan yang terbaik untuk dia, dan juga yang saya kehendaki," sambung Rania.

Fahar masih memilih diam, meski sudah tahu arah pembicaraan akan ke mana. Dia tidak ingin menghentikannya, justru senantiasa mendengarkan agar jelas.

"Coba Bapak bayangkan, ketika kita sudah membesarkan anak kita, membiayai segala keperluannya, tapi saat dewasa, dia memilih pasangan yang sebenarnya kita enggak setuju. Bayangkan sekecewa apa."

Napas Fahar mulai melemah, dia tahu wanita di depannya tengah memberi penjelasan kalau Gema tidaklah baik untuk Ansel.

"Lalu, maksud dari ucapan Ibu apa?" tanya Fahar setelah bungkam lama.

"Saya rasa, masih ada laki-laki yang lebih pantas untuk Gema, dibandingkan anak saya."

Tidak! Itu cara kotor seseorang untuk menghina. Fahar tahu maksud dari ucapannya, wanita itu hanya bermain halus dengan kesombongannya.

"Kalau anak Ibu merasa anak saya adalah yang terbaik buat dia, apa yang akan Ibu lakukan? Membiarkannya bahagia, atau memisahkannya agar sesuai dengan keinginan Ibu?" tanya Fahar dengan nada penuh penekanan. Dia pun orang tua yang memiliki anak juga, bukan hanya wanita itu saja yang memikirkan anaknya.

Rania tidak dapat menjawab pertanyaan pria itu, tanpa jawaban pun semua itu sudah jelas karena memang dia sudah melakukannya.

"Jangan seolah peduli dengan anak saya. Ibu yang meminta mereka berpisah, 'kan?" Fahar kembali bertanya, kali ini wanita itu sudah memantik amarahnya.

"Ibu bilang masih ada laki-laki yang lebih pantas untuk Gema, apa menurut Ibu, Ansel enggak pantas untuk Gema, atau Gema yang enggak pantes untuk Ansel?!"

Mendengar suara meninggi dari Fahar, Rania terkekeh sumbang. Lelaki itu berani sekali menggertak di rumahnya. "Saya mau tanya sama Bapak. Andaikan anak Bapak adalah Ansel yang berprofesi sebagai Dokter, yang sudah Bapak biayai sendiri sedari kecil, lalu memilih pasangan yang menurut Bapak enggak pantas buat dia, apa Bapak enggak berusaha menolaknya juga?"

Fahar terdiam, dia kini paham dengan apa yang putrinya rasakan. Ya, sebuah hinaan yang wanita siluman itu lakukan. Pantas jika Gema memilih meninggalkan Ansel, jika begini rasanya diinjak-injak oleh wanita itu.

"Saya paham. Tapi satu hal, bagi saya ... anak berhak untuk memilih kebahagiaannya. Entah dengan siapa itu, asalkan dia baik, menyayangi anak saya, bertanggungjawab dengan pasangan dan keluarga, saya enggak ada masalah anak saya menikah dengan siapa pun." Fahar bangkit dan langsung beranjak tanpa pamit.

Dia begitu marah dengan semua ejekan yang Rania tujukan pada putrinya. Keputusan Gema adalah yang terbaik, dia pun tidak akan rela putrinya hidup dengan mertua bengis seperti itu. Demi apa pun, hati Fahar sangat sakit mendengar semua kenyataan itu.

Fahar duduk di sisi jalan, menangisi putrinya yang juga pasti sangat sakit diperlakukan demikian. Ya, dia tahu Ansel pemuda yang sangat baik, rendah hati dan penyayang, tetapi ibunya benar-benar berbanding terbalik.

Fahar mengingat kembali pertanyaan Gema tentang derajat seseorang. Dia baru menyadari jika pertanyaan itu ada karena kerisauannya dihina oleh mantan calon mertuanya sendiri. Fahar menyesal baru memahaminya sekarang.

"Ayah janji akan membuat kamu bahagia dengan cara Ayah, Gem." Fahar berucap seraya berlinang air mata. Dia berjalan dengan sumpah serapah yang dia tujukan untuk Rania.


.

.

****

Sakit banget pas Ayah merasa menyesal.

Lanjut baca ya, jangan lupa voment untuk Ayah.

KOMA | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang