Tumbang
"Bagaimana aku akan terus berdiri tegak, jika ada yang berupaya membuatku tumbang dalam sekejap."Bibirnya mengerucut lucu. Sejak tadi Gema duduk sendiri di ruangan kekasihnya, menanti pemuda itu kembali setelah memeriksa pasiennya. Saat Dokter tampan itu kembali, dengan senyuman geli Ansel mengecup kening Gema dengan mesra.
"Jangan cemberut gitu, nanti dicium tau rasa," kata Ansel seraya duduk di kursi kebanggaannya.
"Habis bosen dari tadi sendirian."
Ansel mengusap kepala gadis itu dengan lembut, dia sengaja meminta Gema datang karena ingin berdiskusi perihal keseriusannya. Bukan karena tidak ada tempat lain, melainkan Ansel masih ada tugas, sehingga dia memilih berdiskusi di rumah sakit dengan gadis itu.
"Aku udah bilang ke Mama, kalau besok lusa akan mengumpulkan keluarga aku buat memperkenalkan kamu," ungkap Ansel memulai obrolan.
"Iya."
"Di sana enggak akan ada Papa, kamu tau sendiri kalau orang tua aku udah pisah lama," imbuh Ansel diangguki oleh Gema.
Gadis itu sudah mendengar cerita perpisahan orang tua Ansel, karena pemuda itu telah lama memberi tahunya.Gema terdiam, dia takut jika semua akan berubah karena mengetahui latar belakangnya. Bagaimana jika keluarga Ansel menolaknya? Gema tidak sanggup membayangkan harus berpisah dengan pemuda itu. Cintanya terlanjur dalam, tetapi risiko di depan matanya sangat menakutkan. Akan tetapi, dengan pemuda itu terus di sampingnya, Gema rasa tidak ada yang perlu ditakuti.
"Kamu siap, 'kan?" Suara Ansel menyadarkan lamunan gadis itu.
"Hm? Aku ... aku akan siap kalau ada kamu."
Mendengar jawaban Gema, pemuda itu lega. Karena rasa bahagianya, Ansel kembali mengecup kening Gema, tetapi gadis itu justru membalas dengan mengecup pipinya. Setelah itu, ada senyum manis yang terukir di wajah Gema, membuat Ansel semakin gemas.
Ansel tiba-tiba mengingat sesuatu. "Maaf ... waktu itu kamu datang, tapi aku ...."
Ansel menghentikan ucapannya, dia tahu kalau Gema datang ssesaat setelah kecelakaan yang Leta alami—Cakra yang memberi tahunya. Namun, dia belum mengatakan apa pun setelah itu.
"Enggak apa-apa, aku paham Dokter Koko." Gema melempar senyum hingga hidungnya mengerut lucu.
"Aku mau nanya. Kalau kita nikah, kamu mau, 'kan, tetap di rumah? Maksudnya ... aku mau kamu jadi Ibu rumah tangga, tugas kamu cuma merawat aku dan anak-anak nanti."
Gema menjadi deg-degan kalau ada seorang lelaki berbicara demikian. Apalagi, dia adalah orang yang sangat Gema cintai. "Mau. Emang mau anak berapa?"
Ansel terkikik, kali ini gadis itu tengah menggodanya. Dasar gadis nakal. "Berapa pun, aku terserah sama yang mau ngandung."
Gema menjadi malu sendiri mendengarnya. Membayangkan bagaimana kehidupan setelah menikah, dia rasa sangat membahagiakan. Ia akan merasa menjadi wanita paling beruntung dan terbahagia di dunia. Akan tetapi, Gema mengingat sesuatu tentang Mama pemuda itu. Sepertinya dia harus mengatakannya pada Ansel ketika bertemu Rania di depan kafe.
"Ko, kemarin aku—"
Tok! Tok!
Ketukan pintu menginterupsi. Ansel segera meminta orang itu masuk.
Ketika pintu dibuka, mata keduanya membelalak. Ansel pikir yang datang adalah pasien atau perawat untuk memanggilnya, tetapi ternyata salah. Rania datang tanpa mengabari Ansel lebih dulu, membuat suasana mendadak canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOMA | End
Любовные романыTidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya jika derajat menjadi sekat baginya dengan dia. "Suka banget sama jas Dokter, kenapa, sih?" tanya An...