KOMA 34

2.2K 248 12
                                    

Jawaban

"Meski menyakitkan, kenyataan tidak pernah lupa membangunkan kita dari ekspektasi."

~~~~

Tangannya tidak bisa diam, terus saja dimainkan secara asal. Wajahnya datar menunggu mamanya dipanggil ke ruang terapi.

Raganya tengah di rumah sakit, tetapi pikiran seorang Ansel tengah berjalan-jalan entah ke mana. Ia kembali mengingat saat melihat wajah gadis yang dia cintai, sangat khawatir semalam. Ia juga melihat bagaimana cara Gema memeluk sahabatnya. Sakit, tetapi Ansel tidak dapat melakukan apa pun. Ternyata, sesakit itu ketika melihat gadis yang dicintai memeluk pria lain, mengkhawatirkan pria lain. Ansel baru menyadari bagaimana Taksa menahan itu semua saat melihatnya dengan Gema dua tahun lalu.
Hebat, Ansel akui Taksa sangat kuat untuk menahan perasaannya.

"Sel ...." Suara Rania menginterupsi. Wanita itu sudah dapat berbicara lancar lagi setelah beberapa kali terapi.

"Kenapa, Ma?"

"Kenapa Gema enggak ikut?"

Beberapa hari ini, Rania sudah mulai sering menanyakan Gema, tetapi sayangnya Ansel tidak dapat menjawab dengan lantang. Ansel tidak ingin berharap banyak, takut kecewa ketika jawaban Gema tidak sesuai seperti harapannya.

"Gema lagi sibuk."

Rania tidak percaya, dia menggeleng dan kembali bertanya. "Jangan bohong sama Mama. Apa Gema enggak mau lihat Mama lagi? Mama tau selama ini dia benci sama Mama karena memisahkan kalian."

Ansel menelan salivanya. Mamanya tidak tahu bahwa dia telah menyerahkan Gema untuk Taksa. Ya, semalam Ansel telah memerintahkan Taksa untuk mencoba meraih Gema. Lelaki itu memiliki hak untuk berusaha memiliki gadis yang dia cintai juga.

"Ma ... jangan lagi tanya Gema untuk saat ini," ucap Ansel tidak langsung berterus terang. Ia takut terluka jika membayangkan Gema dan Taksa telah bersama seperti apa yang Ansel pikirkan semalam.

"Kenapa? Kamu udah enggak berhubungan sama dia lagi?"

Ansel menggeleng. "Aku rasa, Gema punya hak untuk memilih siapa yang akan dia cintai. Ansel enggak ada untuk Gema di dua tahun ini, wajar kalau sampai perasaannya berubah."

Ansel berusaha kuat mengatakan hal itu. Ia sadar, dua tahun bukanlah waktu yang pendek juga, tidak salah jika perasaan Gema akan berubah. Meski awalnya Ansel pikir Gema masih sama, tetapi saat melihat gadis itu bersusah payah mencari Taksa, Ansel mulai sadar kalau perasaan Gema tidaklah biasa untuk sahabatnya itu. Taksa memiliki tempat spesial di hati gadis itu, tidak heran karena dialah yang telah menemani Gema selama tidak ada dirinya.

Di sisi lain, Rania sangat kasihan melihat Ansel yang menunduk pasrah. Bukan hanya membuat putranya berpisah dengan kekasihnya, tetapi juga menyiksa pemuda tampan itu. Andai saja dulu Rania menerima Gema sejak awal, mungkin putranya tidak akan semenyedihkan saat ini. Sungguh, Rania merasa paling bersalah di sini, hatinya dicubit oleh keadaan Ansel sekarang.

"Nama Mama udah dipanggil," ujar Ansel memberi tahu. Ketika ingin mengantar Rania ke dalam, wanita itu melarangnya.

"Kamu di sini aja, Mama bisa sendiri."

Ansel mengangguk dan memilih untuk menunggu di tempat yang sama. Beruntung, Ansel dapat menemani Rania hari ini, terlebih terapi dilakukan di rumah sakitnya bekerja, sehingga lebih mudah.

Ponselnya bergetar, membuat Ansel segera membuka pesan masuk di benda pipih itu.

Taksa
Lo lagi ada tugas? Kalau enggak, temui gue di parkiran rumah sakit tempat lo kerja

Melihat pesan tersebut, Ansel segera beranjak untuk menemui Taksa. Pasti ada hal penting yang ingin pemuda itu sampaikan, sampai bela-bela datang ke sini. Ia pikir tidak masalah meninggalkan mamanya sebentar, apalagi terapi dan tesnya sedikit lama.

Ketika melihat punggung Taksa, Ansel langsung menghampirinya. "Kenapa, Sa?"

Taksa langsung mencengkeram jas putih milik Dokter muda itu. Kekesalannya semalam belum reda karena permintaan konyolnya.

"Kenapa lo nyuruh gue lakuin itu? Kenapa lo nyuruh gue meraih Gema?" Taksa bertanya dengan nada lirih, tetapi penuh penekanan dan amarah.

"Karena kamu punya hak untuk meraih cinta kamu." Ansel menjawab dengan tenang, meski hatinya tidak.

"Apa yang akan lo lakuin kalau dia sampai nerima gue, hah?!"

"Saya akan mundur, karena Gema berhak milih siapa pun."

Jawaban Ansel membuat Taksa benar-benar kesal sekarang. Saat dia telah menyerahkan Gema, Dokter sialan itu malah memintanya untuk meraih gadis itu juga. Bagiamana Taksa tidak kesal.

"Gema bukan barang yang bisa lo serahin dengan mudah. Lo pikir setelah gue nyerahin dia ke elo, lo pantas menyerahkan dia kembali ke gue, hah?" Taksa menahan amarah sampai rahangnya mengeras.

"Apa pun jawaban Gema, yang saya mau dia bahagia." Ansel tidak menanggapi, dia berucap seperlunya dengan senyuman yang kecut. Ia sudah mempersiapkan diri dengan jawaban yang akan Gema pilih.

Taksa melepas cengkeramannya, dia benar-benar benci pada Dokter di depannya. Mengapa Ansel semunafik itu, padahal Taksa tahu hatinya juga hancur. Bagaimana bisa wajahnya terlihat biasa saja, sedangkan di dalam sana pasti tengah berkelahi dengan semua perasaannya.

"Gue benci sama lo, Sel," kata Taksa penuh kepiluan.

"Kamu berhak untuk itu."

Taksa memunggungi Ansel, dia menghapus air mata yang menetes karena rasa sakit di hatinya yang sangat dalam.

"Apa lo masih mau tau jawaban Gema untuk semalam?" tanya Taksa dengan suara bergetar.

"Iya."

"Gema nerima gue."

.

.

****

Gema nerima Taksa?
Silakan yang mau mencak-mencak.

Sedih tau nggak?:'(


Pokoknya kasih voment ya. Jangan lupa ajak yang lain baca juga. Sayang, kan, cerita bagus begini enggak rame?
Bahkan kalau ada yang bantu promoin, makasih banget loh ya. Lope dari aku.

KOMA | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang