Bab 20 Memahami

18 3 0
                                    

Sekarang mereka sudah ada di depan stasiun pemberangkatan untuk ke Malang. Andre terus menggenggam erat tangan Sarah seakan tidak ingin lepas walau sedetikpun. Demikian dengan Sarah yang menikmati genggaman itu dan tidak ada niatan untuk melepaskan diri.

Perempuan itu tidak mau topeng kebaikannya segera terbongkar. Dia pastikan segala situasinya aman sampai bisa benar-benar pergi dari Jakarta menghindari Mario. Selama itu pula Sarah akan selalu berbuat baik dan manis didepan sang suami.

"Sayang, kalau kita udah sampai Malang siapa yang akan jemput?"

"Ada temanku yang nanti akan jemput. Kamu nggak usah khawatir, ya, Ndre."

"Oke, apa perlu aku telepon mama?"

Sarah menyentuh lembut tangan kanan Andre Untuk menghentikan suaminya menghubungi Mama Siska. "Jangan dulu, kalau kita udah sampai Malang baru deh bisa hubungi mama."

"Aku pikir itu yang bagus," sahut Andre mengikuti pemikiran sang istri.

Sarah menyandarkan kepalanya pada bahu kanan Andre. Mereka duduk di kursi tunggu sambil menikmati udara stasiun yang riuh dengan segala situasi hilir mudik. Ini kali pertama Andre bisa menikmati perjalanannya sendiri bersama sang istri. Pasalnya selama ini Andre selalu diawasi oleh sang mama karena takut kondisinya memburuk.

"Ndre, kamu mau makan sebelum kita melakukan perjalanan?" Tanya Sarah seakan menghawatirkan sang suami lantaran waktunya Andre untuk meminum obat-obatnya.

Andre menggeleng, dia masih terlihat kenyang lantaran sebelum perjalanan sempat menikmati teh hangat dan sepotong roti tawar.

"Apa aku boleh beli sesuatu untuk kita nyemil di kereta?"

"Gak usah, di kereta ada yang jualan. Aku nggak mau jauh dari kamu, Sayang," ucapan Andrea manis sambil mengecup kening sama istri.

"Oke, aku pikir itu yang paling mudah dan gak ribet." Hari ini Sarah sependapat dengan Andre, dia mengikuti apa yang menjadi keinginan sang suami.

Sesekali mereka mengamati para penumpang yang naik dan turun kereta dengan cepat. Tanpa ada niatan untuk mengomentari satu sama lain, Sarah dan Andre terlihat nyaman. Mereka sangat natural memainkan perannya sebagai sepasang suami istri.

Masih dalam posisi yang sama saling menggenggam erat, mereka terlihat sangat kompak. Semua orang pasti sudah bisa menebak kalau mereka sepasang suami istri yang akan melakukan perjalanan jauh dengan banyaknya koper yang mereka bawa.

Seorang wanita paruh baya di samping Sarah menyapa mereka untuk menanyakan beberapa hal sambil menunggu kereta datang, "Mau pergi ke mana, Dik?"

"Mau ke Malang, Tante," jawab Sarah sambil tersenyum manis ke arah sang Ibu.

"Wah, enak sekali, dalam misi apa kalian ke Malang?"

"Kita mau honeymoon, Tante," sahut Andre penuh semangat sambil menggenggam erat tangan Sarah, seakan ingin memberitahu wanita paruh baya itu kalau mereka sepasang suami istri.

"Oh, iya, saya pikir tadi juga kayak gitu, kalian terlihat sangat romantis seperti waktu saya masih muda dulu."

"Terima kasih, Tante, kita belum ada satu bulan kok nikahnya. Mumpung kita sama-sama libur Jadi menyempatkan waktu untuk honeymoon," ucap Sarah menjelaskan situasinya.

"Memang seharusnya seperti itu, nanti kalau kalian honeymoon, quality time hanya untuk kalian berdua."

"Kami pikir juga seperti itu, Iya kan, Sayang?"

Sarah mengangguk dengan patuh. Hanya senyum yang terus dia tampilkan sebagai tanda kebahagiaan tanpa sepatah kata pun. Mereka sangat terlihat kompak dan romantis satu sama lain, sehingga tidak ada yang menyangka jika sebenarnya Sarah hanya memainkan peran.

"Honeymoon pastinya akan cepat membuat kalian memiliki anak. Tante sarankan buru-buru deh, karena kalau udah ada anak pasti pernikahan kalian akan lebih bahagia."

Seakan situasi menjadi hening, walau penumpang terus hadir hilir dan mudik di stasiun itu. Sarah dan Andre saling menatap satu sama lain. Mereka baru sadar ketika di dalam sebuah pernikahan bukan hanya cinta dari lawan jenis, melainkan hadirnya seorang anak juga harus mereka pikirkan.

"Pasti kami juga memikirkan hal itu, Tante, tapi kami tidak terlalu buru-buru untuk mendapatkannya, kita santai dalam menjalani hari-hari yang masih sangat panjang kami," papar Sarah memberikan argumen positifnya.

"Khawatirnya nanti kalian bakal sulit untuk mendapatkan anak. Soalnya tetangga samping rumah juga kayak gitu, sok ngejar karir akhirnya sulit dapat anak, sepuluh tahun nikah baru isi."

"Kamu itu beda dengan tetangga tante," timpal Andre yang tidak ingin dianggap sama dengan pasangan yang lain.

"Kalian itu sama-sama masih muda, tapi tidak begitu memikirkan masa depan keturunan. Pernikahan zaman sekarang memang seperti itu, intinya hidup santai dan bebas tanpa ada ikatan anak."

Wanita paruh baya itu semakin lama membicarakan hal-hal yang tidak penting dan seakan menjadi tonic untuk Sarah dan Andre. Di sisi lain mereka masih terlihat stay cool dengan kalimat-kalimat yang memojokkan pernikahan usia muda zaman sekarang.

"Untuk urusan punya anak setiap pernikahan memiliki pemikiran yang berbeda, Tante. Kita tidak bisa menyamaratakan, lagian anak itu adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa kita paksa atau terlalu terburu-buru untuk  mendapatkannya."

"Apa yang diucapkan istri saya benar adanya. Kami sedari awal cukup santai menangani perihal anak, pastinya hanya kami yang paham sejauh mana kesiapan dan kedewasaan kami untuk program memiliki anak."

Sarah dan Andre kompak satu sama lain untuk membuktikan jika mereka memang pasangan yang hebat dan tidak mudah tergerus oleh racun-racun omong kosong. Senyum manis dan genggaman erat terus mereka tampilkan untuk membuat wanita paruh baya itu meyakini, jika setiap pasangan memiliki kenyamanan tersendiri perihal masalah anak.

"Oh, intinya kalian itu tidak ingin memiliki anak untuk waktu dekat, begitu, kan?"

"Saya pikir bukan urusan Tante untuk mengetahui hal itu. Lagian Tante itu bukan siapa-siapa, bahkan kita tidak kenal satu sama lain, kok bisa-bisanya sih membicarakan tentang keturunan?" tanya Sarah dengan emosi yang naik terlihat dari nada bicaranya yang sedikit meninggi.

"Daripada aku diam, ya mending tanya, kalian itu terlihat mencurigakan tidak seperti pasangan suami istri."

"Maksud tante apa yang ngomong kayak gitu? Udah tua bukannnya tobat malah ngomongnya nggak jelas!"

Dengan lantang dan begitu tegas Sarah benar-benar kecewa dengan apa yang terjadi saat ini. Dia tidak pernah menyangka jika wanita paruh baya itu membicarakan banyak hal omong kosong yang membuat hatinya terusik. Andre yang mengetahui sang istri sedang terbakar amarah karena pertanyaan-pertanyaan dan juga pendapat dari wanita paruh baya itu, segera menenangkan Sarah.

"Sayang, kita pergi, yuk! Kereta udah hampir tiba, kamu harus tahu banyak manusia tonic ada dimana-mana. Kitanya aja yang harus bisa menjaga diri dengan baik."

Andre bangkit dari tempatnya terduduk lalu diikuti oleh Sarah, pengaman tangan itu masih tetap sama erat dan kuat. Mereka satu sama lain saling menyeret koper sambil berlalu melewati wanita paruh baya itu. Tanpa adanya salam perpisahan, Sarah dan Andre pergi begitu saja.

"Dasarnya pasangan zaman sekarang, dikasih tahu enggak malah terima kasih, malah nyengir yang nggak-nggak," gerutu wanita paruh baya yang mengenakan pakaian serba cokelat sambil memakai kacamata hitam sebagai tanda penutup rasa malunya.

"Nggak usah kamu dengerin ya, Ndre, aku percaya apa yang kita pilih saat ini yang terbaik untuk pernikahan kita."

"Iya Sayang, nggak perlu terlalu dipikirkan. Lagian kita nggak kenal sama ibu itu. Kenapa pula harus menghabiskan waktu untuk memikirkan hal yang tidak penting?"

"Betul, aku sependapat sama kamu, Ndre," ucap Sarah sambil mencium pipi kanan sang suami tanpa meminta izin terlebih dahulu.

***

Karma Manis Cinta Satu Malam ✓ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang