Domo
Hal pertama yang kulakukan ketika membuka mata adalah berkedip perlahan. Sangat perlahan.
Ini baru, aku baru. Aku berada di dalam semacam pesawat, bersama dengan beberapa orang berdiri melingkar dengan jubah tipis dan halus. Kami semua bangun di waktu yang sama, hampir seperti kami baru saja bangun dari tidur yang nyenyak. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara masuk ke dalam paru-paruku, sebuah tanda bahwa aku hidup. Pikiranku sudah dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan, aku mengedarkan pandangan dan mengamati setiap orang yang berada di pesawat itu. Pesawat ini gelap, namun aku merasakan sensasi yang menenangkan. Hampir-hampir seolah aku adalah bagian dari pesawat ini.
Siapakah kami?
Yang lain saling berbicara satu sama lain, hampir menyapa semuanya dengan formal. Mereka semua sepertiku, Eternals yang berada di sini untuk melawan para Deviants yang mengancam kehidupan di planet-planet seluruh alam semesta. Pada awalnya aku hanya diam, hampir memandangi seluruh ruangan selama beberapa saat ketika aku ketika aku melihat anggota kelompok kami saling berbincang. Sangat menarik untuk dilihat, beberapa dari mereka sangat bersemangat untuk bertemu yang lain, sementara sisanya terlihat enggan. Aku segera tahu bahwa aku termasuk kelompok yang terakhir, terutama ketika seorang wanita cantik berjalan ke arahku. Rambutnya panjang dan cokelat keemasan, menjuntai di bahu dan punggungnya dengan kehangatan di kulitnya dan mata cokelatnya. Dia tersenyum padaku, membuatku merasakan bahwa aku bisa mempercayainya dan aku bisa mengikutinya kemana saja.
"Namaku Ajak", katanya kepadaku, suaranya terdengar hangat dan mengalir seperti air di atas kerikil. Aku tersenyum padanya saat dia menungguku untuk menyebut namaku. Aku terdiam sesaat, hampir bingung berbicara apa padanya.
"Namaku Soteri", aku memperkenalkan diri. Dia tersenyum lebar, seolah-olah dia bangga aku menyebut namaku padanya. Dia meletakkan tangannya di lenganku, tangannya terasa hangat di tempat dimana dia menyentuhku. Rasanya seperti dia mencoba untuk menenangkanku dengan sederhana.
"Aku merasakan kegelisahan dalam dirimu", perkataannya membuatku meringis karena aku bisa mengatakan bahwa dia membacaku seperti buku. Tapi tidak terlihat di wajahnya kalau dia akan memarahiku, dia juga tidak mengatakan sesuatu yang membuatku takut. Sebaliknya, dia memandangiku dengan matanya yang tenang dan damai.
"Kamu ditakdirkan untuk berada di sini", katanya kepadaku, terdengar begitu hangat dan yakin pada dirinya sendiri, kamu adalah bagian dari kami.
Kata-katanya terngiang-ngiang dalam pikiranku dan melayang-layang dalam diriku, melalui pembuluh darahku dan tertanam dalam-dalam. Sebelumnya, aku merasa seolah-olah aku bukan bagian dari kelompok ini, dari makhluk-makhluk abadi ini. Aku tidak tahu kenapa aku berpikiran seperti ini, itu tertanam jauh di bawah kulitku. Tetapi berkat beberapa kata sederhana dari pemimpinku, dari seseorang yang hampir tidak mengenalku, bisa membuatku melupakannya.
Aku melihat ke depan, melalui jendela besar di seberang ruangan, pemandangan planet ini. Aku terpesona, menjauh dari Ajak dan berjalan mendekati jendela. Yang lain berbicara di sekitarku, tapi aku tidak memperhatikan mereka saat aku melihat sebuah planet melayang di antara bintang-bintang. Ada warna biru dan warna hijau yang berbeda, pusaran awan di sepanjang permukaannya membentuk pola yang indah dan bentuk yang indah.
Itu membuatku kehilangan napas sesaat.
Aku merasa sepasang mata sedang memperhatikanku. Tidak terasa mengancam, tapi membuatku tertarik. Aku menoleh ke kanan ku, melihat salah satu Eternals sedang mengawasiku. Dia laki-laki, tingginya sedikit lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki yang lain, dia berdiri begitu diam sampai-sampai aku berpikir bahwa dia adalah patung. Dia memiliki rambut hitam, pendek dan membingkai mata birunya yang indah, hampir sebiru planet yang baru saja kulihat.
Hal pertama yang kusadari adalah dia tidak berada di dekat yang lain. Dia sendirian—yang seharusnya menjadi pertanda buruk—tapi dia tampak nyaman dengan tidak berada bersama yang lainnya. Laki-laki itu juga tampak baik, setidaknya itu yang terlihat di wajahnya. Tapi, ada sesuatu yang lain yang hanya ada di dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya berdiri dalam bayang-bayang.
Sepertinya dia mencoba membacaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Halo," sapaku padanya, ingin terlihat baik di hadapannya. Dia tidak mengatakan apa-apa, membuatku menempatkan diri dengan sikap defensif. Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah? Atau dari caraku berbicara? Itu membuatku sedikit takut, berpikir bahwa aku telah menyinggung perasaannya hanya dengan satu kata. Sebelum salah satu dari kami bisa mengatakan sesuatu untuk memecahkan situasi tidak mengenakkan ini, Eternal lainnya berjalan ke arahku. Dia adalah laki-laki lain—terlihat sangat besar dibandingkan laki-laki yang memandangiku di sudut—dengan senyum lebar dan wajah lembut. Aku memandanginya karena dia sangat tinggi dan dia menyeringai karena itu.
"Namaku Gilgamesh," dia memperkenalkan dirinya, mengulurkan tangan untuk aku jabat. Suaranya hangat, menenangkan, dan terdengar baik bersahaja. Aku tersenyum padanya, menjabat tangannya. "Aku ingin memperkenalkan diriku karena kamu di sini sendirian."
"Namaku Soteri," kataku padanya, melihat senyumnya melebar dengan mendengar namaku, "senang bertemu denganmu," dia membungkuk sedikit padaku, membuatku merasakan sedikit rona merah.
"Aku juga Soteri," jawab Gilgamesh, dia melihat ke belakang ke arah laki-laki yang berdiam di pojokan. Begitu laki-laki itu melihat kami berdua menatapnya, dia berjalan pergi dalam diam, teman baruku bergumam dan menatapku dengan lelah. "Jangan pedulikan dia. Dia sepertinya seorang penyendiri"
"Oh?" aku bertanya tidak mengerti.
"Hanya menurutku saja," kata Gilgamesh sambil mengangkat bahu, lalu memberi isyarat kepada beberapa orang lain yang sedang mencoba berbaur. "Ayo temui Thena. Dia luar biasa"
Saat aku berjalan pergi dengan seorang teman baru, aku melihat ke belakang sekali lagi untuk melihat laki-laki misterius itu. Kami tidak berbicara satu sama lain saat itu, aku pernah memiliki kesempatan untuk itu, tetapi sesuatu berubah dalam diriku dari satu pandangan, satu tatapan dengannya. Dia tidak lagi memperhatikanku, sudah berjalan pergi sendiri. Aku baru di dunia ini, di pesawat ini, dan dengan orang-orang ini. Kami semua baru bertemu, tapi kami sudah merasakan semacam hubungan satu sama lain. Mungkin begitulah seharusnya, bagaimana kami ditakdirkan untuk bersama.
Apakah dia juga berpikiran sama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Light My Love [Druig]
FanfictionDisclaimer: Fanfic ini bukan milik saya, saya hanya menerjemahkannya. tolong dukung penulis aslinya, @/redheadclover di Fanfiction.net Soteri selalu meragukan dirinya sendiri, bahkan sejak awal kelahirannya sebagai seorang Eternal di Domo. Walaupu...