Lima mangkuk gerabah tertata rapi di hadapan Roy, masing-masing berisi; bunga kantil, bunga kamboja, bunga mawar merah, bunga melati, dan bunga sedap malam. Di tangan pria berusia 30 tahun itu pun terdapat bunga kolonjono.
Aroma dupa menguar di dalam ruangan tersebut. Cahaya bulan menembus ventilasi sehingga terlihatlah Roy yang sedang menatap dua patrem sembari tersenyum. Roy memejamkan mata, dia mulai membaca sebuah mantra, "Syamhohirin syamkhohirin."
Pria itu mengulang-ulang mantra tersebut hingga seribu kali. Setiap hitungan ke seratus, tangannya terampil menyapukan bunga kolonjono kepada kedua patrem tersebut. Di dalam hati, dia menyebutkan nama sesuatu yang ingin dia miliki. Di dalam pikiran, dia membayangkan sosok yang ingin dia punyai.
"Berjaga-jaga," ucap salah satu khodam Hanum.
Ibu suri—sang pemimpin, segera berpindah posisi menjaga bagian atap rumah kamar sang empu. Lokapala—sang harimau putih berloreng emas berada di sisi sang empu. Broko—lelaki berpakaian jawa yang berkedudukan sebagai panglima menjaga di depan jendela kamar sang empu. Lelaki inilah tadi yang memperingati keselamatan sang empu. Naraka—naga rajeh hijau bertugas mengelilingi rumah sang empu dengan tubuhnya. Di posisi terakhir ada Prabu—kera emas yang menjaga keamanan di depan kamar sang empu.
Hanum merasakan kegelisahan yang seolah nyata. Dia melihat ada seribu macan kumbang sedang berlarian ke arahnya. Bukannya takut, perempuan itu malah menutup mulutnya guna menahan tawa. Hanum bukan seseorang yang lemah, dia hanya pura-pura lemah dan berusaha menjadi baik. Tapi lihatlah para manusia biadab ini, di beri kesempatan sedikit saja malah menjadi-jadi.
Perempuan yang mengenakan liontin berwarna zamrud itu meringankan tubuhnya hingga dia berhasil melayang. Hanum mengenakan terusan kain sutra yang di lukis dengan debu emas cair. Surai panjangnya tergerai melambai-lambai tertiup angin malam.
Hanum menggerakkan kedua telapak tangannya dengan gemulai ke atas, dia menarik napas, memusatkan tenaga pada perut ratanya, dan dengan sekali hentakan perempuan itu menghempaskan tangan ke bawah bersamaan dengan cahaya biru keunguan melenyapkan pasukan macan kumbang yang menyerang.
Apakah ini telah berakhir? Tidak. Roy tidak akan menyerah secepat ini. Lelaki bertubuh kekar itu mengirimkan ribuan ular hitam yang memenuhi halaman rumah Hanum membuat perempuan muda itu berdecih.
"Naraka," panggil Hanum. Naga rajeh hijau itu mendatangi sang empu dengan gagahnya. Sinar hijau yang terpancar dari tubuh naga itu menyegarkan mata siapapun yang dapat melihat. "Apakah kamu lapar?" tanya Hanum.
Nara menelengkan kepalanya, kemudian dia sedikit membungkuk mempersilakan sang empu menaiki punggungnya. Naga itu membuka sedikit mulutnya dan keluarlah api berwarna jingga. Nara sengaja mengembuskan itu sebagai pembukaan. Rupanya, sifat Hanum yang terkadang angkuh adalah pembawaan sifat dari Naraka.
Nara mengepakkan sayapnya. Dia tidak membakar ular kiriman Roy, melainkan menelan semua ular itu dengan lahap. Sementara sang naga sibuk mengisi perutnya, Roy kembali mengirimkan makhluk putih besar berbulu lebat. Seperti yeti, tetapi bukan.
Makhluk itu menarik Hanum yang berada di punggung sang naga. Perempuan ayu itu terbanting ke tanah. Dia mengeluh sembari memegangi punggungnya, "Bangsat!" maki Hanum.
Perempuan berdarah biru itu menggenggam liontin yang dia kenakan, pakaian yang dia kenakan tiba-tiba berubah menjadi pakaian kebangsawanan lengkap dengan tilaka di dahinya. Selendang berwarna merah melingkar indah di pinggang Hanum.
Prabu, Lokapala, dan Ibu suri tidak berani bergerak dari tempatnya. Karena di dalam kamar Hanum, ada pusaka berupa keris dan tombak sebagai wadah mereka tinggal.
Hanum melepaskan ikatan selendangnya, dia menyabet kaki makhluk putih itu hingga makhluk itu terjatuh. Tidak menunggu lama, makhluk itu kembali terbangun dan segera mencekik Hanum dengan tangan besarnya. Lokapala melotot melihat pemandangan itu.
Tanpa perintah dari Hanum, harimau putih berloreng emas itu berlari menerjang si makhluk. Loka merubah ukurannya menjadi besar sesuai makhluk di hadapannya. Dengan segala kemarahan, Loka menghantam buta makhluk tersebut tanpa ampun. Makhluk yang telah berani melukai wanitanya.
"Lokaaaaaaa!" Hanum berteriak.
Sang empu berlari menghampiri harimau besar kesayangannya. Hanum menggoyangkan tubuh berbulu itu dengan pelan. Entah mengapa, tiba-tiba dia merasakan sesak yang luar biasa. Dada hanum naik turun bersamaan dengan embusan kasar napasnya. Warna merah menyala menghiasi bola mata perempuan itu.
"Hamba baik-baik saja, Ndoro Ajeng," ucap Loka.
Lokapala tidak berbohong, dia benar baik-baik saja. Tetapi sang empu tidak mau mendengar. Hanum menggunakan ilmu kanuragannya, dalam sepersekian detik perempuan itu telah berada tepat di depan mata sang makhluk. Tanpa rasa kasihan, Hanum mencongkel kedua bola mata makhluk itu.
Lenguhan makhluk itu menggema di udara. Tanpa rasa ampun, Hanum menyabet dada sang makhluk hingga tembus ke punggung makhluk itu. Energi Hanum terkuras banyak, dia merasa lelah sekarang.
Broko datang, dengan tergesa lelaki itu menggendong sang empu dan membawanya kembali ke dalam kamar. Sementara itu, Lokapala dan Broko membumi hanguskan ribuan pasukan jin milik Roy.
Hawa panas serta energi negatif dari berbagai makhluk membuat suasana di malam ini semakin kelam. Aura gelap dari jin jahat milik Roy perlahan menghilang, disebabkan Naraka dan Loka menyatukan energi mereka untuk mengusir semua makhluk tersebut.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi, tetapi Hanum masih betah memejamkan matanya. Bahkan, Ben yang sedari malam tadi duduk bersila menemani raga temannya itu, tak kunjung melihat pergerakan Hanum.
Keadaan sudah lebih baik dari semalam, Ben tahu itu. Ben mengelus pelan dahi Hanum dengan penuh sayang. Bohong bila dia bilang dia menganggap perempuan di sisinya ini hanya teman. Lelaki berkulit putih itu menginginkan hal lebih, misalnya menjadi teman hidup.
Jadi, benar jika ada yang berkata tidak ada persahabatan murni antara perempuan dan lelaki. Pasti salah satu di antara mereka ada yang memendam perasaan.
"Uhhhh," lenguh Hanum.
Perempuan itu mendesis saat dia ingin menggerakkan tubuhnya. Suara gemeretak tulang-tulang Hanum membuat Ben meringis kecil. Memang tidak ada memar yang membekas di tubuh Hanum. Tetapi, setelah ini perempuan itu harus memulihkan energinya dengan sang guru.
"Siapa?" tanya Ben. "Siapa orangnya? Biar aku habisi sekarang juga," ucap Ben.
Hanum terkekeh. Dia menaruh bantal pada paha Ben dan merebahkan kembali kepalanya di sana. Tangan besar milik Ben menyentil dahi Hanum karena perempuan itu kembali memejamkan mata.
"Sekolah ayok," kata Ben.
Hanum mengernyitkan dahi, "Badan aku sakit semua nih. Bilangin sama Bu Cinta kalo aku ijin yah." Hanum mengerlingkan sebelah matanya pada Ben, "kamu di sini aja temenin aku, anak yang punya sekolah kan nggak bakal di hukum."
Ben menggelengkan kepala mendengar ucapan Hanum. Memang benar, sebagai anak pemilik sekolah, lelaki itu bebas menggunakan kuasa orang tuanya. Tetapi, tidak seperti ini juga.
"Oke," jawab Ben singkat.
Hanum diam beberapa saat. Pikirannya menerawang jauh mengingat wajah pria yang semalam ingin mengambil pusakanya. Dia tidak pernah kenal dengan pria itu dan bagaimana bisa pria itu tahu mengenai dirinya?
Kamu harus mati di tanganku, ucap Hanum dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...