"Nila!" teriak Pangeran Lokapala.
Lelaki itu membanting kendi yang berada dalam genggaman hingga pecah, beberapa hari ini dia tak mampu mengendalikan emosi. Pangeran muda itu sering pergi diam-diam keluar istana untuk mengadu ayam hutan miliknya. Sering juga sang pangeran menghancurkan tanaman rakyat tanpa alasan yang jelas. Yang terakhir adalah, meminum tuak hingga tak sadarkan diri, seperti saat ini.
"Nilaaaa! Pelayan tak berguna!" makinya.
Raden Watuhumalang menggelengkan kepalanya pelan, dia juga tak tahu harus berbuat apa. Padahal, dia telah menceritakan keadaan Pangeran Lokapala kepada sang ibunda—Rakai Watan Mpu Tamer. Selir Rakai Pikatan itu juga telah membujuk sang suami tetapi tidak di tanggapi.
Nila datang dengan empat kendi tuak, pelayan itu melatakkannya pada sebuah meja di hadapan Pangeran. Langkahnya teramat pelan karena takut terkena pecahan kendi. Pangeran angkuh itu menggebrak meja dengan kuat membuat Nila berjengkit.
"Dimana Hanum? Dimana Hanumkuuu!?" jerit Pangeran Lokapala. "Haaanuuummmmm," teriak sang pangeran.
Pangeran Lokapala telah hilang kewarasan, dia menenggak tuak di dalam kendi dengan cepat tanpa gelas. Raden Watuhumalang menarik Nila saat kakaknya itu hendak melempar kendi secara acak.
"Pergilah," perintah Raden Watuhumalang.
Pangeran Lokapala mengacak-acak apapun yang ada di hadapnya dengan brutal. Api berwarna biru berkobar di area bahunya, warna mata pangeran itu juga berubah setiap dia mengerjap, dan kulit sang pangeran seolah berganti menjadi putih pekat.
Raden Watuhumalang menyampaikan apa yang dia lihat kepada Raden Kalingga melalui telepati sekaligus meminta sang guru agar secepat mungkin ke pendopo. Lelaki itu tidak takut terhadap sosok Pangeran Lokapala, tetapi takut akan apa yang terjadi dengan kakaknya tersebut.
Saat Pangeran hendak membuka pintu, Raden Watuhumalang meghadang. Pangeran yang tidak terima menyerang sang adik tanpa jeda, tak peduli jika dia baru saja merapalkan ajian sakti untuk menyingkirkan sang adik. Kaki Pangeran yang sudah di penuhi bulu itu menendang pintu pendoponya dan hancurlah dalam sekejap. Hal itu mengundang keingintahuan orang-orang tentang apa yang terjadi dengan sang pangeran.
Berlari sekencang-kencangnya menuju istana utama, Pangeran Lokapala mengabaikan aturan kerajaan yang melarang berlarian di dalam istana. Bukannya berlari dengan kedua kaki, sang pangeran berlari dengan tangannya juga sehingga mirip seperti harimau.
Di tengah-tengah perubahan dirinya, sepotong ingatan datang menghampiri. Dia melihat dengan jelas Hanum yang sedang membelai bulu-bulu putih seekor harimau. Hanum juga memeluk harimau itu dengan erat.
"Mengapa dirimu ini begitu nyaman, Loka?" tanya Hanum.
Ingatan itu tiba-tiba saja memudar sebab tombak pengawal istana utama hampir saja mengenainya. Pangeran Lokapala berteriak, tetapi teriakannya lebih mirip seperti auman yang membuat nyali pengawal menjadi ciut. Saat ini adalah puncak perubahan Pangeran Lokapala.
***
"Guru," sapa Raden Watuhumalang.
Raden Kalingga mengangguk dan pandangan matanya menyapu isi pendopo sang pangeran. Sungguh berantakan. Area lantai penuh dengan pecahan-pecahan kendi, bahkan meja saja sudah terbalik dari posisi awal, dan kondisi pintu yang mengenaskan membuat Raden Kalingga merasakan sakit kepala.
"Pergi kemana dia?" tanya Raden Kalingga.
Raden Watuhumalang menjawab, "Saya rasa kanda pergi ke istana utama. Dari awal dia terus saja meneriakkan nama Hanum."
Raden Kalingga memimpin perjalanan mereka, entah mengapa dia tak seharusnya ikut campur dalam hal ini. Kedua tangannya terpaut di belakang pinggang. Berbeda dengan Raden Watuhumalang yang saat ini sedang gelisah memikirkan nasib istana utama.
"Sedari pertama, saya sudah menduga ada yang salah dengan Hanum," ucap Raden Kalingga.
Raden Watuhumalang mengernyitkan dahinya, "Maksudnya bagaimana, guru?"
"Parasnya terlalu cantik untuk ukuran seorang budak, kulitnya terlalu bersih dan terawat seperti kalangan bangsawan, dan otak Hanum terlalu cerdas saat dia membuat kudapan yang kita sendiri tak tau apa itu," jelas Raden Kalingga.
"Dan jangan lupakan bahwa dia pandai menggunakan ilmu kanuragan," tambah Raden Watuhumalang.
Dalam perjalanan menuju istana utama, mereka berpapasan dengan Resi Wardha. Resi adalah orang suci yang mendapatkan wahyu dan biasanya anggota kerajaan suka sekali meminta nasihat dari sang resi. Jadi, ada apa hingga Resi Wardha yang terhormat berkeliaran tengah malam seperti ini?
"Hormat saya, Resi," kedua lelaki muda itu menangkupkan tangan mereka dan sedikit menunduk.
Resi Wardha tersenyum, pandangan matanya selalu meneduhkan siapapun yang menatap. Resi berkata, "Pangeran Lokapala membutuhkan kita."
Apakah benar Pangeran Lokapala membutuhkan mereka? Melihat seberapa kacaunya halaman istana utama dan pengawal yang tumbang, sepertinya istana utamalah yang membutuhkan kehadiran mereka.
Di depan sana, harimau besar dengan tinggi mencapai dua meter sedang menghabisi nyawa para prajurit wanita. Harimau berwarna putih dengan loreng emas di tubuhnya serta aura berwarna biru yang terpancar dengan nyata membuat sesiapapun yang melihat akan terkesima.
"Terlambat," ucap Resi Wardha. Lelaki tua itu menoleh kepada kedua lelaki muda di hadapnya, "Raden Watuhumalang, tolong cari di mana keberadaan perempuan itu dan bawa dia kemari. Sementara Raden Kalingga, tolong carikan saya kembang tujuh rupa dan petikkan tujuh di masing-masing jenisnya."
Mereka berdua bergegas melaksanakan perintah sang resi. Pasti resi tersebut tau akan apa yang terjadi. Raden Watuhumalang tahu dimana Hanum berada, jelas sekali jika Gusti Ratu Pramodhawardani mengurung perempuan itu.
Menjelajahi semua kamar pelayan rati dan hasilnya nihil, hingga salah satu dari para pelayan itu berani berbicara. Dia menunjukkan satu tempat di arah belakang, tepatnya di sisi gudang senjata kerajaan. Terdapat bangunan kecil di sana.
"Hanum?" panggil Raden Watuhumalang sembari mengetuk pintu.
Hanum bersemangat, dia menempelkan telinga pada dinding pintu dan mendengarkan sekali lagi suara siapa yang sedang memanggilnya. Apakah Hanum harus merusak pintu mewah ini?
"Raden?" ucap Hanum.
Raden Watuhumalang cukup lega saat perempuan itu membalas panggilannya, dia meminta kepada pelayan yang mengantar tadi untuk membuka pintu ini dengan kunci. Namun, kunci ini di pegang sendiri oleh Gusti Ratu Pramodhawardani.
"Menyingkirlah dari pintu, saya akan menghancurkan pintu sialan ini," ucap Raden Watuhumalang.
Adik tiri dari Pangeran Lokapala itu memusatkan energi pada kakinya, dia menendang pintu tersebut dengan kuat. Satu kali, dua kali, tiga kali, dan akhirnya dia berteriak dan menendang sekali lagi pintu itu hingga terbelah menjadi serpihan-serpihan kecil.
Raden Watuhumalang memegang kedua bahu Hanum, "Kau tak apa-apa?"
Hanum mengangguk sehingga Raden Watuhumalang melepaskan tangannya. Mata lelaki itu menyapu isi ruangan dengan seksama; ranjang dengan alas yang tebal, buah berada di atas meja, ruang mandi yang cukup luas, dan ruangan yang bersih. Sepertinya ibu dari sang pangeran memperlakukan tawanannya dengan sangat baik.
Raden Watuhumalang menepuk dahinya keras, dia hampir lupa apa tujuannya kemari. Tanpa aba-aba dia membopong Hanum melewati serpihan kayu yang bisa saja melukai telapak kaki perempuan itu. Dia membopong Hanum dan menurunkannya pada rerumputan di halaman. Setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan yang tadi menunjukkan arah, mereka berdua bergegas pergi.
"Apa yang terjadi, Raden?" tanya Hanum.
Hanum mensejajarkan langkah dengan Raden Watuhumalang, bersyukurnya dia tidak pernah mengenakan kemben selama di istana utama. Gusti Ratu memberikan pakaian tertutup seperti permintaan Hanum dan juga kain celana seperti prajurit wanita.
"Pangeran Lokapala berubah menjadi harimau," jawab Raden Watuhumalang seadanya.
Hah?
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...