Pertama, Hanum akan melakukan jamasan atau memandikan keris dengan cara; merendam keris tempat Lokapala bersemayam menggunakan air kelapa hijau muda, menggosoknya pelan dengan jeruk nipis yang telah di belah dua, masukkan kembali ke wadah berisi air kelapa hijau muda hingga motif keris terlihat jelas, kemudian bilas kembali keris dengan air bunga secara perlahan, dan keringkan keris, serta oleskan minyak pusaka ke seluruh bagian keris.
Kedua, Hanum sedang membaca ulang perkamen sang kakek. Di dalam perkamen tersebut di jelaskan bahwa gerbang waktu akan terbuka ketika cahaya matahari dan cahaya bulan bersatu. Perempuan cantik itu mengetuk-ngetukkan telunjuk ke dagunya, dia tidak memahami arti cahaya bulan dan cahaya matahari bersatu.
Ketiga, misi Hanum yang sesungguhnya adalah mengubah tabiat buruk Lokapala agar Pangeran itu tidak terkena hukuman ataupun kutukan untuk menjadi khodam. Itu artinya, dia akan berada pada masa Rakai Pikatan memerintah. Semoga saja ini bukan hal buruk.
Hanum bermonolog, "Hm, mencuci keris sudah, terus aku harus mencari tahu apa itu cahaya bulan dan cahaya matahari yang bersatu. Tanya ke siapa ya?"
Perempuan yang memakai bandana merah itu menjentikkan jari ke udara. Senyumnya mengembang dengan hati yang mulai berdetak tak karuan. Telinganya menangkap suara langkah kaki yang menggema, dia hapal milik siapa langkah itu.
"Num? Sudah selesai?" Hanum berdehem mendengar suara husky yang dia sukai.
"Masuk aja Ben," jawab Hanum.
Ben menggeser pintu ruang pribadi Hanum, senyumnya mengembang saat melihat perempuan yang dia sayang berjalan ke arahnya. Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar. Mereka berdua akan menuju ke keraton, sebab ada makan makan besar yang di gelar oleh Sri Sultan.
Ben membukakan pintu penumpang untuk perempuan cantik di hadapannya, kemudian dia memutar menuju kursi kemudi. Di depan mobil Ben ada satu mobil yang bergerak terlebih dahulu, kemudian mobilnya, dan di belakang ada dua mobil yang mengikuti.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka semua telah sampai di pelataran keraton. Ajudan Ben membukakan pintu untuk Hanum. Perempuan ayu itu mengenakan terusan kebaya dengan surai panjangnya yang tergerai serta bandana yang menghiasi kepala.
"Kamu bau kembang," kritik Ben.
Hanum terkikik geli. Jelas saja dia wangi kembang sebab saat jamasan dia mengenakan kebaya ini. Tak ada juga yang tau bila dia belum—
"Mas Baraaa!" pekik Hanum.
Perempuan itu menarik Ben agar berjalan lebih cepat menghampiri lelaki yang dia rindukan. Mata Ben memandang langkah kaki Hanum, lelaki itu takut jika tiba-tiba perempuan itu tersandung atau terjerembab.
Ben tersenyum simpul saat cucu Sri Sultan menatapnya sekilas. Dia melepaskan tautan jemari dengan Hanum hingga perempuan itu menoleh ke arah Ben. Dengan bahasa isyarat, lelaki berkulit putih itu mengangkat kedua alisnya.
"Boleh?" tanya Hanum.
Ben mengangguk, memangnya apalagi yang bisa dia lakukan? Dia terlalu lama mengenal Hanum dan dia tau bahwa hubungan kekasihnya dengan Mas Bara itu hanya sebatas adik kakak.
Kekasih? Haha, mereka telah resmi berpacaran wahai pembaca yang budiman. Tepatnya saat Hanum berkata 'tunggu aku selama apapun itu' dan setelah itu Ben meminta Hanum untuk menjadi kekasihnya jika dia harus menunggu perempuan itu.
Tidak romantis.
"Mbak Hanum?" Hanum melepaskan pelukannya pada Mas Bara, dia menoleh ke belakang dan mendapati adik kandungnya—Hanen sedang memeluk sebuah buku. Hanum melambaikan tangan ke arah Hanen, dia menepuk pundak Mas Bara, dan mencubit hidung mancung milik Ben.
Setelah Hanum pergi dan tak terlihat lagi, Mas Bara menepuk pundak lelaki muda di hadapan, "Tolong jaga Hanum, Ben tahu 'kan maksud saya?"
√√√√√
Hanen dan Genta membolak-balikkan halaman buku yang ada di hadapan mereka, sedangkan yang ingin tahu malah asyik meminum teh khas keraton yang wangi dan nikmat. Mereka sudah dua jam berkutat di perpustakaan keraton dan belum kunjung mendapatkan jawaban.
"Matahari itu terang, bulan juga terang," oceh Genta.
"Atau maksudnya matahari ada di siang hari dan bulan ada di malam hati, begitu?" sahut Hanen.
Kedua lelaki penyuka buku itu menatap sang kakak dengan tatapan bertanya, tetapi Hanum hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Hanen berdiri, dia butuh berkonsentrasi sejenak. Lelaki berusia 15 tahun itu berdiri di depan jendela yang masih terbuka. Pemandangan pada malam hari membuat hatinya menjadi tenang.
"Lihat sinar bulan itu," ucap Genta sedikit berteriak.
Genta dan Hanum menghampiri Hanen dan ikut menatap pada cahaya bulan yang menyinari kolam. Saat Hanen menerobos jendela agar cepat sampai menuju kolam, kedua saudaranya pun tanpa sungkan mengikuti.
"Mungkin maksudnya terang dan gelap, begitu ya?" tanya Hanum.
Mata Hanum menatap bulan di langit yang memancarkan cahaya hingga ke bumi. Bulan purnama tetapi belum sempurna, dia kembali lagi menatap kolam ikan yang penuh dengan ikan koi berwarna-warni.
Mereka bertiga menatap kumpulan ikan itu dengan serius, hingga telunjuk Genta mengarah pada dua ikan yang memiliki tanda melingkar di kepala, "Yin dan Yang," lirih Genta.
Hah? Bolehkah mereka tak percaya? Saat kedua ikan itu beriringan berenang menyusuri kolam, cahaya bulan yang menyapa hewan tersebut membuat hewan itu di lingkupi pendar cahaya walaupun samar. Bukan cahaya rembulan, melainkan cahaya dari tubuh ikan itu sendiri.
Mereka bertiga saling berpandangan dan seolah saling mengerti isi pikiran masing-masing, mereka bertiga mengangguk bersamaan. Hanen memeluk lengan kiri Hanum dan Genta memeluk lengan kanan Hanum. Kedua adik lelaki Hanum itu tahu bahwa bisa saja hari ini adalah hari terakhir mereka bertemu sang kakak.
"Besok bulan purnama," ucap Hanen.
Mereka telah sampai di kamar milik Hanum. Di keraton, mereka telah di siapkan kamar yang layar untuk beristirahat. Cukup luas dan juga mementingkan kenyamanan setiap tamu.
"Jangan lupa jam delapan nanti kita makan bersama," ujar Genta.
Hanum memasuki kamar dan menutup pintu dengan pelan. Air matanya menetes mengingat dia akan pergi dari zaman ini. Tubuhnya berbalik dan Hanum terkejut saat semua khodam perempuan itu telah berlutut di hadapan. Dengan cepat dia menghapus bulir air mata yang mengalir.
"Maafkan saya, Ndoro Ajeng. Jika saya menyusahkan, Anda tidak perlu melanjutkan misi ini," pinta Lokapala.
Jika sang empu pergi, secara otomatis Loka akan merasa kehilangan. Hatinya sedang di landa kebimbangan yang besar. Lokapala tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan, antara bertahan menjadi khodam atau kembali menjadi pangeran.
Hanum mengernyitkan dahi, "Bukankah kemarin kamu sendiri yang meminta?
Benar. Benar sekali. Lokapala ingat bahwa dia berkali-kali telah memohon kepada sang empu untuk membawanya kembali. Tetapi, mengapa sekarang ada rasa tidak ikhlas menggelayuti dadanya? Rasa untuk bersama sang empu hingga akhir hayat memenuhi hati Loka.
Sekali lagi, Lokapala membenarkan perkataan Resi Wardha yang mengatakan 'pergi saat ingin tinggal dan tinggal saat ingin pergi'.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...