Chapter 17

34 17 0
                                    

Rumah kayu di tengah hutan ini adalah milik Raja, tidak sesiapapun dapat menginjakkan kaki dirumah ini bila Raja tidak mengijinkan. Luas kekuasan Bhumi Mataram kala itu memang tersebar di mana-mana. Bahkan Kerajaan Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Di sekeliling hutan ini, terdapat pengawal bayangan yang memiliki ilmu kanuragan tinggi. Mereka akan muncul saat keadaan darurat saja.

"Berapa lama mereka akan berburu?" tanya Hanum. 

"Tidak pasti. Terkadang tiga hari, seminggu, atau dua minggu. Ada apa, Hanum?" Nila menatap Hanum sekilas sebelum tangannya kembali membersihkan meja.

"Kita berada di hutan mana?" tanya Hanum lagi.

"Hutan ini," jawab Nila.

"Maksudnya, kita sedang berada di daerah mana?" tanya Hanum untuk kesekian kalinya.

Rasanya, Nila ingin melemparkan semua yang dia pegang ke kepala Hanum. Mungkin dulu, orang tua perempuan itu mengidam menyantap burung beo. Lihatlah, telinga Nila dan Yudhis yang pengang akibat pertanyaan-pertanyaan Hanum dari mulai keberangkatan hingga sekarang.

Yudhis menjawab, "Ini namanya ancala andong."

Ancala andong? Seingat Hanum, ancala andong merupakan salah satu ancala yang penuh dengan misteri. Penamaan 'andong' bukan karena puncaknya yang mirip seperti punggung sapi, melainkan karena sebuah daun bernama 'andong' yang sering digunakan untuk ritual di puncak ancala ini. Wah, Hanum merinding mengetahui hal ini.

"Saya dan Yudhis akan ke sungai mengambil persediaan air, kau menunggu di sini tak apa 'kan?" Hanum mengangguk, akhirnya dia bisa meluruskan kakinya yang semakin membesar akibat keseringan berjalan kaki.

"Yudhiisss," teriak Hanum. Suaranya menggema membelah pepohonan dan membuat Yudhis yang telah masuk ke dalam hutan menghentikan langkah.  "Bawakan ikan yang banyak," sambung Hanum.

Yudhis menggeleng, sungguh Hanum adalah perempuan teraneh yang pernah dia temui. Mata Yudhis melihat Nila yang sesekali menengok ke arah pondok yang mereka tinggalkan.

"Hanum akan baik-baik saja," ucap Yudhis.

Nila menghela napas, "Benarkah?"

"Tidakkah kau ingat betapa tangguhnya dia ketika dipasar?" Hah, benar. Nila terlalu takut sampai dia melupakan bahwa Hanum adalah perempuan jadi-jadian.

Hanum menunggu Nila dan Yudhis di bagian depan pondok. Bertemankan cahaya bulan yang menyinari kediaman ini, serta gemerisik dedaunan yang menyapa dirinya. Tak ada sedikitpun ketakukan pada netranya. Padahal, di sekelilingnya terpampang jin dari berbagai kalangan sedang memperhatikan Hanum. Tetapi,  perempuan itu tak peduli sebab dia memiliki Naraka yang selalu berada di sisinya.

***

"... 'kan Pangeran?"

Derap langkah kaki kuda berpadu dengan suara-suara para penunggangnya. Raden Kalingga, Raden Watuhumalang, Wasa, Pangeran Narayana, dan Pangeran Lokapala baru saja kembali dari acara 'berburu' mereka dengan hasil yang memuaskan.

Dari kejauhan, Raden Kalingga melihat Hanum sedang berdiri menatapi pohon bambu. Perempuan itu sedang bercerita tentang permasalahan hidupnya selama mendiami zaman ini. Tak ada solusi jika bercerita dengan pohon bambu, tetapi setidaknya hal ini mengurangi rasa depresi di hati Hanum.

Hanum menoleh, dia menatap kelima lelaki yang baru saja turun dari kuda mereka masing-masing. "Dimana Nila?" tanya Pangeran Lokapala sambil mengikat tali kudanya pada pohon mangga.

"Nila sedang men—, itu mereka," tunjuk Hanum ke arah dua orang yang sedang terkikik bersama.

Nila membawa sebuah keranjang bambu bernama 'kepis' yang berisikan ikan-ikan sungai segar. Sementara Yudhis membawa 'todo' yang berisikan air bersih nan segar khas pegunungan. Raden Kalingga menatap Nila yang dengan gembira memberikan ikan itu kepada Hanum.

"Itu apa?" tanya Pangeran Lokapala.

Hanum meninggikan sedikit kepis itu, "Ini ikan, pangeran tidak tahu?"

Raden Watuhumalang tertawa terbahak-bahak sedang yang lain hanya berdehem menahan tawa. Pangeran Lokapala malah tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Hanum. Semua orang yang berada di situ sudah tahu tentang hubungan mereka. Lebih tepatnya, perasaan sang pangeran kepada si pelayan.

"Saya tidak bodoh, Hanum. Tetapi, untuk apa kau menyuruh Yudhis mencari ikan?" ujar Pangeran.

Hanum mendesah pelan, "Hamba takut jika Pangeran membawa babi. Hamba tidak makan babi, Pangeran."

"Wah! Kau sungguh tidak bisa di tebak, Hanum," sela Raden Watuhumalang. "Pelayan lain malah bersyukur saat bisa memakan daging, sedangkan kau malah pilih-pilih." tambah saudara tiri sang pangeran.

Pangeran mengibaskan tangannya ke udara, dia memerintahkan hasil tangkapannya di bawa ke dapur. Bukan babi, melainkan seekor rusa dan beberapa ekor kelinci. Hanum saja sampai terpengarah melihat ukuran si rusa. Benar kata Yudhis bahwa dia tidak perlu khawatir tentang rasa lapar, sebab mereka adalah ahlinya.

Nila membersihkan hasil buruan, sementara Hanum sedang menyiapkan bumbu ala kadarnya. Setelahnya, mereka membawa semua itu ke depan dimana api telah disiapkan untuk memanggang. Sepanjang proses pemanggangan, mereka saling bercengkerama. Tidak terlihat perbedaan kasta yang nyata di antara mereka, tetapi mereka tetap memanggil satu sama lain dengan gelar.

"Kau mau mencoba yang mana?" mata Hanum berbinar mendengar pertanyaan itu. Dengan beraninya, Hanum mengkode rusa yang telah wangi dengan rempah-rempah itu menggunakan alisnya. Pangeran Lokapala tersenyum melihat itu.

Hanum menggigit daging rusa yang ada di hadapannya, dia mencecap sambil memejamkan mata. Rasa dagingnya lebih enak dari daging sapi tetapi teksturnya sedikit lebih keras. Ya, lumayanlah. Hanum terus saja mengunyah daging yang ada di hadapannya, begitu juga yang lain. Sesekali dia mencomot ikan bakar yang lebih dulu matang. Ikan segar yang di ambil langsung dari sungai memang memiliki khas tersendiri.

Raden Kalingga memicingkan matanya, Hanum yang melihat hal itu mengikuti arah pandang lelaki itu. Benda berkilau melesat ke arah Pangeran Narayana. Itu panah. Raden Kalingga mengeluarkan pedangnya dan langsung menangkis panah itu.

Keadaan menjadi ricuh seketika, Hanum dan Nila di perintahkan bersembunyi pada sebuah pohon besar yang di selimuti rerumputan. Pihak Kerajaan Mataram di kepung oleh sekelompok orang berpakaian hitam.

"Apa tujuan kalian menyerang kami, Kisanak?" tanya Wasa.

"Tanyakan saja kepada sosok di belakangmu, kenapa dia menyerang kelompok kami?" jawab salah satu dari mereka. 

Jelas sudah, kedatangan mereka untuk membalas dendam kepada Pangeran Lokapala dan yang lainnya. Mereka tadi 'berburu' kelompok penjarah kereta-kereta upeti. Hanum melihat, salah satu dari penjarah itu tak sabaran dan memulai duluan perkelahian ini. Raden Kalingga menebas lengan salah satu musuh, dia berbalik lagi menghitung ada berapa musuh di hadapan. Tanpa sadar, Hanum ikut menghitung dan Nila malah menahan tangis di belakang Hanum.

"Aaaa," pekik Nila.

Musuh menarik tubuh Nila dan sekarang sedang menodongkan benda tajam ke leher Nila. Untung saja hari ini dia tak mengenakan kain jarik yang mempersulit pergerakannya. Hari ini, Hanum dan Nila mengenakan kain seperti celana dengan pakaian yang menutup tubuh mereka. Ya, walaupun kain ini kasar tapi tidak terbuka seperti kemben.

Hanum menyeringai, ini adalah kesempatan emas untuk menyalurkan semua kegelisahan serta emosi yang dia pendam selama di zaman ini. Dengan tangan kosong Hanum menyerang musuh itu dan Nila terbebas darinya.

"Kau diam disini saja, ya," kata Hanum. Nila menggeleng, dia menahan pergerakan tangan Hanum yang ingin ikut bergabung bersama para pangeran. "Percayalah," ucap Hanum lagi.

Wasa menendang lelaki yang ingin menyerang Hanum dari belakang, dengan cepat pengawal pangeran itu melemparkan sebuah busur beserta anak panah ke arah Hanum. Perempuan itu menimang senjata di tangannya sepersekian detik, dia menggendong busur panah dan mengambil satu anak panah sebagai senjata.

Lihatlah, betapa kerennya Hanum. Rambut yang tercepol, setelan bak prajurit wanita, kecantikan yang hakiki, dan jangan lupakan angin malam yang menerpa tubuhnya hingga cepolan rambutnya terlepas. Ini pertama kalinya rambut Hanum tergerai.

"Mati kalian semua!" pekik Hanum.

Musuh hingga para pangeran mengalihkan tatapan mereka kepada sosok perempuan yang seolah berapi-api itu.


KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang