Makan malam bertema kekeluargaan berhasil di gelar oleh Sri Sultan. Keadaan di dalam ruang makan keraton mendadak ramai oleh abdi dalem ataupun sanak saudara dari Sri Sultan. Ada yang membicarakan bisnis mereka, anak-anak mereka, dan juga membicarakan orang lain.
Berbeda dengan meja para muda-mudi, mereka sedang membahas hubungan Ben dan Hanum. Siapapun tahu bila mereka berdua telah dekat semenjak kecil. Tak ada yang menyangka jika mereka berdua akhirnya menyerah untuk berteman.
Beberapa meter di belakang Hanum, ada Lokapala dan Naraka yang mengawasi. Mereka bersiap-siap akan sesuatu yang terjadi di beberapa menit mendatang. Hanum telah mewanti-wanti mereka agar selalu di sisinya.
"Mbak," Hanum menoleh, menatap Hanen yang mengisyaratkan sesuatu dengan matanya. Perempuan yang memakai terusan batik itu menepuk pundak sang kekasih dengan lembut. Hanum mengajak Ben untuk mengikuti kemana adiknya pergi.
"Kenapa?" tanya Hanum.
Hanen menunjuk rembulan yang membulat sempurna. Cahayanya memenuhi kolam ikan koi, gemerlap kulit ikan mahal itu bagai bintang yang bersinar di langit. Ben mengusap lengan Hanum yang terbuka, lelaki itu sedang berusaha memberikan kenyamanan pada kekasihnya.
"Apakah sekarang waktunya?" tanya Ben yang di jawab anggukan oleh Hanum.
Ben bergerak ke hadapan Hanum, lelaki itu mengelus wajah mulus nan bersih milik Hanum. Perasaan Ben sedang tak baik-baik saja saat ini. Dia takut terjadi sesuatu pada Hanum saat perempuan itu menembus waktu. Bolehkah jika dia meminta untuk bersama Hanum? Membantu perempuan cantik itu menyelesaikan misinya.
Lokapala menyaksikan semua kemesraan itu. Hatinya terbakar cemburu, tetapi dia tak bisa melakukan apa-apa. Orang tua Hanum dan orang tua Ben datang setelah Genta memberitahu keadaan kakaknya. Mereka semua menyemangati Hanum agar kembali dengan semangat.
"Hanum," panggil Sri Sultan.
Hanum berjalan pelan dan membungkukkan tubuhnya kepada pemimpin di kesultanan Yogyakarta tersebut. Sri Sultan menepuk pelan kepala perempuan muda di hadapan yang masih menunduk.
"Angkat kepalamu, Roro Hanum," Hanum mematuhi permintaan lelaki tua di hadapannya. Dia menatap tangan Sri Sultan yang terulur memberikan sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang. "Ambil dan pakai isinya untuk keperluanmu di sana," ucap Sri Sultan.
Hanum memasukkan kotak itu ke dalam saku pakaiannya. Dia berjalan mendekati kolam dengan jantung yang berdentam tak karuan. Di sisi Hanum ada Lokapala berdiri dengan gagahnya, harimau putih berloreng emas itu menancapkan sesuatu pada kedua telapak tangan Hanum. Itu adalah kumis harimau Lokapala. Konon, kumis itu mampu menjaga diri dari sihir jahat tingkat tinggi sekalipun.
"Berhati-hatilah," lirih Lokapala.
Hanum mengangguk pasrah. Dia melepas alas kakinya, kemudian memasuki kolam ikan koi yang tentu saja berbau amis. Perempuan itu tak ingin lagi menengok ke belakang, dengan cepat dia menenggelamkan diri di kolam yang dangkal. Lucu memang, sebab kolam ini hanya sebatas pinggang Hanum, tetapi perempuan itu harus tenggelam di tempat ini.
Di langit, awan bergeser ke arah kiri, mempersilahkan sinar bulan purnama menyinari suatu tempat yang akan menjadi gerbang menembus waktu. Seluruh ikan koi berenang tak beraturan. Mereka mendiami ujung kolam, kecuali dua ikan yang memilik tanda di kepala mereka. Kedua ikan itu berenang mengitari Hanum, semakin lama kedua ikan itu semakin bersinar begitupun tubuh Hanum.
Gelapnya malam, membuat sinar berwarna biru dan emas itu menerangi sekitar. Cahaya yang berkilau semakin terang, terang, dan mulai menyilaukan mata hingga semua orang menyipitkan mata mereka.
Angin berembus kencang menerbangkan dedaunan serta debu yang menyakitkan mata. Puting beliung kecil meliuk-liuk di sekitaran kolam hingga semua ikan mahal itu beterbangan memenuhi udara. Hanum terbawa ke dalam pusaran angin putar, perempuan itu telah hilang kesadaran. Semakin tinggi, semakin tinggi, dan kemudian dia terhempas jatuh ke tanah.
Hanum merasakan bunyi di area punggung, dia menggerakkan tubuh dengan susah payah. Tangannya meraba kepala dan mendapatkan darah menempel di jarinya, pantas saja dia merasa pening. Mata Hanum mengerjap lebih cepat seirama dengan napas yang tiba-tiba sesak. Padahal, perempuan itu tidak mempunyai riwayat asma. Otak Hanum terus berpikir apakah dia telah sampai di masa itu?
Derap langkah kuda membuat Hanum dan prajurit yang menodongkan tombak ke arah perempuan itu menoleh. Sekitar lima meter, ada sesosok pria dengan rambut di ikat berada di atas kudanya. Sosok itu memiliki daya tarik yang mampu membuat Hanum terpesona.
"Apa yang kalian lakukan? Cepat bawa dia dan masukkan ke dalam kereta seperti yang lain. Kita tidak punya banyak waktu," teriak lelaki itu.
Seketika tubuh Hanum di angkat paksa dan agak di seret untuk mempercepat langkah. Rasanya tubuh Hanum telah berubah menjadi nutrijel, dia memang telah mempersiapkan semua ini. Tetapi, tetap saja mengalami langsung lebih mengerikan.
Tubuh Hanum di dorong paksa agar menaiki kereta kayu. Kereta ini tanpa atap, semoga saja tidak hujan karena Hanum mulai menggigil padahal dia mengenakan gaun batik pan ... hah! Tidak mungkin! Kemana terusan batik Hanum? Kenapa tiba-tiba dia mengenakan kemben dan kain batik sebagai bawahan?
Hanum menampar pipinya dengan kencang dan dia meringis kecil. Tentu saja sakit, ini kan kenyataan. Perempuan ayu itu membenarkan posisi duduknya kembali, menatap jejeran pohon yang menjulang tinggi.
Gedebug.
Suara orang terjatuh mengalihkan perhatian mereka semua dan membuat arak-arakan pun terhenti. Mereka memandang ke belakang pada salah satu pria yang diikat telah terkapar di tanah. Beruntungnya Hanum menjadi budak wanita yang duduk diam di atas kereta, sedangkan budak lelaki berjalan kaki dengan tangan terikat di depan.
Sang pemimpin prajurit memutar kudanya hingga ke arah pria yang telah di tarik berdiri oleh salah satu pengawal. Refleks Hanum bergerak karena melihat wajah lelaki itu pucat pasi. Mungkin lelaki itu kelelahan.
"Jangan ikut campur," perempuan muda di sisi Hanum menahan pergelangan tangannya.
"Apa tidak ada minum untuk lelaki itu?" tanya Hanum pelan.
Di dalam kereta ada sekitar sepuluh perempuan muda termasuk Hanum, mereka semua menatap Hanum dengan tatapan yang entahlah. Mungkin mereka menganggap Hanum adalah orang aneh. Perempuan muda di sisi Hanum memalingkan wajah Hanum dengan pelan, perempuan itu menatap lelaki yang dia duga sebagai pemimpin dengan sengit.
"Jangan menatapnya jika kau tak mau celaka?" peringat perempuan itu.
Hanum berdecih dalam hati, belum tahu saja mereka siapa Hanum sebenarnya. Haruskah dia memberitahukan siapa dia sebenarnya? Ah tidak. Lebih baik dia bermain sebentar di zaman ini.
Hanum memalingkan wajahnya pada perempuan di sebelahnya, "Sekarang kita ada di mana? Dan kita akan di bawa ke mana?"
"Sekarang saya yakin, gadis ini tinggal di atas gunung. Pantas saja kelakuannya aneh dan berakal pendek," ucap seorang perempuan yang menatap Hanum dengan pandangan meremehkan.
"Isshhh," desis Hanum.
Gadis di sisi Hanum berkata, "Tentu saja kita akan di bawa ke Bumi Mataram, kita akan menjadi budak di sana. Entah akan bekerja di kerajaan atau di kediaman bangsawan lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...