Chapter 11

35 18 0
                                    

Suasana mulai gelap saat mereka sampai di Bumi Mataram. Sungguh alami sekali, mata Hanum mulai berair saat kereta kuda berhenti. Inikah akhirnya? Bisakah jika dia pura-pura mati? Sepertinya keadaan hidupnya akan menyeramkan sama seperti keadaan di sekitar sini. Keadaan di sini benar-benar mirip set lokasi syuting kolosal di chanel ikan torani yang terbang. Duh!

Cahaya obor menyinari sepanjang perjalanan Hanum. Tentu saja itu obor, apa yang kalian harapkan? Lampu LED? Jelas saja pada zaman ini belum ada gerakan listrik masuk desa. Bangunan di sini di dominasi oleh bebatuan dan kayu alam, tidak ada daun atau dekorasi palsu yang di tempel di rerumputan. Semuanya masih alami dan itu menambah haru di pelupuk mata Hanum.

"Kau kenapa?" tanya perempuan di sisi Hanum.

"Nothing," jawab Hanum.

Terperangah dengan bahasa aneh Hanum, perempuan itu mendekatkan wajah ke arah Hanum, "Kau tak apa-apa? Lihat, Raden Kalingga menatapmu tak berkedip."

Hanum menoleh kepada lelaki yang masih berada di atas kudanya itu. Jadi namanya Kalingga, pantas saja wajahnya mirip dengan Lingga apalagi lesung pipi itu. Apa jangan-jangan Lingga di dunia modern adalah reinkarnasi dari Kalingga di dunia batu? Ah, ini semakin memusingkan kepala Hanum.

Memasuki kawasan istana yang di kelilingi tembok, Hanum hanya bisa terpana dengan ini semua. Sayangnya tidak ada kamera di zaman ini, dia mengabadikan semua momen itu menggunakan mata cokelat gelapnya. Gerbang terdiri dari dua lapis dan terlihat beberapa penjaga membawa gada dan tombak sedang berdiri menjaga pintu gerbang.

Kaki mereka terus berjalan dan mulut yang tak bersuara, lelaki berkuda tadi berada di hadapan sebagai penunjuk jalan. Dari belakang, Hanum dapat melihat otot-otot punggung yang sedang mengajaknya menari. Pemandangan ini, benar-benar indah.

Begitu masuk ke gerbang kedua, terlihatlah lebih banyak lagi pengawal yang berjalan secara berkelompok dan juga beberapa pelayan wanita. Rombongan mereka melewati taman istana yang indah, Hanum yakin pasti taman ini Gusti Ratu yang membuatnya. Ada beberapa wisma dan pendopo serta tempat raja bertakhta berhias dengan gagahnya.

Di depan sana, Raden Kalingga itu sedang berbicara dengan seorang pelayan perempuan, kemudian dia berbalik, dan berjalan berlawanan arah dengan rombongan Hanum. Hanum kira, lelaki itu akan meliriknya seperti di sinetron-sinetron, tetapi ternyata dugaannya salah. Sepertinya lelaki bergelar Raden itu adalah bibit-bibit kulkas dua pintu di masa depan.

Pelayan tadi membawa mereka semua menuju bagian belakang istana. Mereka di giring menuju tanah luas berumput yang terduga bernama lapangan. Rombongan itu masih menanti sesuatu mungkin seseorang. Kepala Hanum menengok ke kanan dan ke kiri, lidahnya sudah gatal untuk berkata tetapi tidak seorang pun di sana yang bersuara. Hanya jangkrik-jangkrik kecil yang berani mengeluarkan suara.

Senja semakin tertelan oleh waktu, seorang perempuan yang telah berumur tampak berjalan lebih dulu di ikuti oleh beberapa pelayan di belakangnya. Sekali pandang saja, kita bisa mengetahui bahwa dia adalah seorang yang cukup berkedudukan di istana ini. Aura ketegasan juga garis wajah yang kuat sanggup membuat dirinya di segani.

"Pisahkan mereka," titah perempuan itu.

Para pelayan yang berada di belakang perempuan itu berjalan mendekati rombongan. Hanum berdiri tegap, wajahnya tak menunduk sekalipun. Saat salah satu pelayan berdiri memindai dirinya, dia juga memindai si pelayan. Sepertinya sifat angkuh dari zaman modern terbawa hingga ke zaman ini.

Pelayan itu memutar tubuh Hanum secara tiba-tiba, dia sedang memilih di mana penempatan yang pas untuk perempuan di hadapannya ini. Hanum tetap memasang wajah datar saat dirinya di tarik ke sebelah kanan. Perempuan ayu itu memandanh sekitar, dia menatap empat orang lainnya yang berdiri bersamanya.

KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang