Chapter 13

33 18 0
                                    

Pernahkah kalian merasa begitu tertarik saat akan bertemu seseorang? Itulah yang Hanum rasakan saat ini. Setelah menyiapkan makanan yang sebelumnya di ambil dari dapur istana dan menatanya di atas meja, Hanum da Nila kini berdiri di belakang meja. Mereka sedang menunggu sang pangeran keluar dari kamar pribadinya.

Hanum melirik ke sisi kirinya di mana rekannya berada, wajah Nila masih memucat saat tadi Hanum dengan tidak sopannya berteriak memanggil putra bungsu dari Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku. Wajar saja, perempuan ayu itu masih kesulitan menyesuaikan lidah dengan keadaan sekitar. Contoh kecil saja, Hanum terkadang masih menggunakan 'aku' daripada 'saya'.

Tirai berbahan sutra di hadapan telah tersingkap. Sosok yang tadi pergi, kini telah kembali. Pangeran muda itu menatap Hanum dengan seksama. Jangan bayangkan mereka bertatapan dengan semilir angin sebagai latar belakang, atau sorot lampu yang menyinari mereka berdua. Pangeran Lokapala menatap sosok asing di hadapan dengan tajam seakan-akan ingin menguliti. Hanum pun tak ingin menurunkan pandangan, sepertinya perempuan itu lupa bahwa di hadapannya ini adalah sosok Lokapala yang tak mengenalnya. Wah, Hanum jadi merindukan harimau kesayangannya, sedang apa dia di sana?

Tiba-tiba saja Hanum terhuyung ke tanah, matanya melirik Nila yang sengaja menariknya. Rekan Hanum itu menangkupkan kedua tangannya di hidung, "A-ampun, ampuni kami Gusti Pangeran. Di-dia adalah pelayan baru pengganti Rukmini." Nila sambil berkaca-kaca mengucapkan itu, dia sangat takut terkena hukuman dari lelaki di hadapannya ini.

Nila menyikut lengan Hanum membuat perempuan itu mengerutkan dahi beberapa detik setelahnya dia mengikuti Nila untuk memohon ampun. Di masa depan, Hanum tak pernah bersimpuh seperti ini kecuali di hadapan Sri Sultan. Tetapi, Pangeran Lokapala di hadapnya ternyata sudah besar. Semoga saja Hanum tidak terlalu lama berada di zaman ini. Hmm, apakah dia harus mengubah sejarah? Contohnya menikah dengan lelaki di hadapnya saat ini, menjadi permaisuri yang melahirkan penerus-penerus kerajaan. Ah tidak, Hanum kan penganut monogami.

"Jangan sebut nama pelayan sialan itu," ketus Gusti Pangeran.

Suara ketukan terdengar dari pintu ruangan dan masuklah Raden Kalingga dengan gagahnya. Rambut gelombang sepundak, hidung yang terpahat sempurna, dan di belakang sosok itu ada cahaya matahari sedang bersinar. Bibit-bibit cogan ada pada Raden Kalingga ini.

"Ada apa, Guru?" pertanyaan Pangeran Lokapala mengalihkan perhatian Kalingga kepada Hanum.

Kalingga berdehem singkat, sepertinya benih cinta pada pandangan pertama telah tumbuh. "Saya akan menunggu di tempat latihan, Pangeran."

Setelahnya, Raden Kalingga berbalik bersamaan dengan Pangeran Lokapala yang menyudahi sarapan di pagi ini. Hanum rasanya ingin menjitak kepala lelaki bergelar Pangeran itu. Nila mengajak Hanum berdiri untuk segera membereskan sarapan sang Pangeran.

"Kenapa kita tidak mengikuti Pangeran berlatih?" tanya Hanum.

"Kita tidak boleh melihat lelaki berlatih kanuragan Hanum, saru." jawab Nila.

Saru? Bukankah semalam Nila berkata bahwa mereka melayani Pangeran Dyah Lokapala selama dua puluh empat jam? Bukankah lebih 'saru' lagi menunggui Pangeran selesai mandi dan memakaikan pakaian? Berlatih kanuragan paling hanya akan bertelanjang dada. Hanum sudah terbiasa melihat Ben bertelanjang dada. Ben? Huh, apa kabar kekasih Hanum di sana?

Sepertinya betis Hanum benar-benar akan terbentuk seperti pemain  bola. Apakah dia harus mendahului Baron Karls Drais von Sauerbronn untuk membuat sepeda? Sepertinya sulit. Bagaimana jika Hanum membuat sandal jepit saja? Sandal jepit berlogo burung walet itu, loh. Pasti dia akan menjadi orang kaya di zaman ini.

"Hanum, awas ada ular," ucap Nila menahan teriakan.

Perempuan itu sedikit berjingkat, dia mundur satu langkah dan menatap ular berwarna hitam mengkilap seukuran jempol kaki sedang berjemur santai di tengah jalan.

"Mau mati, heh?!" tanya Hanum pada ular.

Hanum berjongkok, tanpa rasa takut dia memegang leher ular dan meletakkan ular itu pada ranting pepohonan di sekitar. Mata Nila mengikuti pergerakan Hanum, perempuan yang sempat dia kira bangsawan itu memiliki banyak kejutan untuk di nanti.

*****

Satu hari, dua hari, dan satu minggu sudah Hanum berada di tempat ini. Dia mulai terbiasa dengan kehidupan di zaman ini seperti; berjalan kaki tanpa alas menembus bebatuan kerikil, bangun lebih pagi dari sang fajar, memakan umbi-umbian sebagai pengganjal perut, serta mengenakan pakaian yang menampilkan bahu mulusnya.

Jangan lupakan juga Hanum yang memecahkan beberapa guci milik Pangeran. Hal itu semakin membuat Pangeran Lokapala tidak suka kepadanya, mungkin. Hanum menatap Nyi Ratih yang memberinya sebuah daun yang telah di tumbuk, kain, dan air. Untuk apa?

"Cepat bersihkan luka Gusti Pangeran," perintah Nyi Ratih. Melihat Hanum hanya terpaku saja di tempat, Nyi Ratih berkata lagi, "Nila sedang di panggil ke istana Gusti Ratu."

Walaupun hati ini seolah tak ingin beranjak, tetapi kaki Hanum tetap berjalan menuju pendopo Pangeran Lokapala. Adik dari Dyah Saladu itu baru saja selesai berlatih, hal itu Hanum tahu karena dia bertanya ada apa dengan Pangeran.

"Astaga," ceplos Hanum.

Punggung Pangeran Lokapala sedikit melepuh dengan luka seperti bekas sabetan benda tajam. Refleks Hanum setengah berlari menghampiri sang pangeran. Dia menatap pengawal yang berjaga di depan pendopo pangeran, Yudhis dan Wasa namanya.  Kedua lelaki itu juga sama terluka tetapi pangeran lebih parah.

Hanum mendorong pelan sang pangeran yang sedang berdiri di depan pintu. Perempuan itu mendudukkan pangeran pada dipan kayu yang terletak di dekat jendela. Hanum meletakkan barang bawaannya, dia menaiki dipan dan berlutut agar sejajar dengan tubuh pangeran.

Ringisan keluar dari bibir Pangeran Lokapala. Mendengar itu, sontak Hanum meniup-niup bekas luka yang baru saja dia bersihkan. Sepertinya pangeran merasa baikan, terbukti dengan punggungnya yang tiba-tiba saja menegang. Tangan Hanum kembali mengoleskan ramuan pada luka di area punggung pangeran.

Setelah itu, Hanum melangkah turun dengan pelan dan meletakkan lutut pada tanah lembap. "Apakah Gusti Pangeran harus latihan hingga terluka seperti ini?" Tidak ada jawaban dari Pangeran Lokapala. "Ini sakit 'kan?" tanya Hanum.

Saat ramuan itu Hanum beberkan pada luka di sekitar dada, pangeran kembali meringis dan Hanum dengan polosnya kembali meniup-niup bekas luka itu. "Apakah Pangeran bermain pedang sehingga menyebabkan luka ini cukup dalam? Apa Pangeran belum ahli menggunakan pedang?"

Wahai Hanum, bisakah kau diam? Lihatlah mata sang pangeran seakan ingin meloncat dari tempatnya. Merasa tak ada jawaban, Hanum mendongakkan wajahnya, dia bisa melihat bulu mata lentik sang pangeran dan juga bibir berwarna alami itu di hadapan.

Hanum sedikit terhuyung ke belakang sebab terkejut, tetapi Pangeran tampan itu dengan cepat menarik lengan pelayan barunya. Mereka saling tatap hingga membuat Hanum salah tingkah.

"Pangeran," panggil seorang lelaki.

"Ya ampun, Raden," Hanum setengah terpekik melihat lelehan darah dari leher Raden Watuhumalang atau biasa di panggil Mpu Teguh. "Apakah Raden ingin hamba obati juga?"

"IYA!"

"TIDAK!"

KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang