Chapter 6

58 23 1
                                    

Dinginnya angin malam ini tak mampu mendinginkan tubuh Ben yang basah akan keringat.
Anak pertama keluarga Sadajiwa itu sedang menghadapi gerakan silat sang guru. Ben melakukan tendangan melingkar untuk menyerang area kepala gurunya. Berhasil. Tetapi gerakan Ben kalah cepat, sebab sang guru lebih dulu menarik kaki muridnya dan melemparkan si murid ke kiri. Punggung Ben menabrak gentong air yang terbuat dari tanah liat.

"Jangan kasar-kasar, Mas Bi," protes Hanum.

Ben tersenyum saat temannya memprotes sang guru—Bian Dirgantara. Dia melihat Hanum mendekati Mas Bian, awalnya dia mengira perempuan cantik itu akan mengomeli sang guru, tetapi salah, sebab kini Hanum mengenakan body protector yang tadi di gunakan oleh guru mereka. Itu artinya, Hanum menantang Ben.

Lelaki bercelana hitam itu berdiri, dia menggelengkan kepala melihat perempuan di hadapannya yang sangat bersemangat. "Kamu tau kalo aku nggak bakal nyakitin kamu 'kan?"

Hanum berkata dengan kekehan kecilnya, "Bagus dong."

Mata perempuan cantik itu memperhatikan gerakan kaki si lawan. Saat Ben mengayunkan kakinya, Hanum dengan sigap memutar kaki lelaki itu hingga terjatuh. Hanum tersenyum menatap Ben yang berada di bawahnya. Jantung mereka berdetak kencang tiba-tiba. Entah karena gerakan latihan atau karena posisi mereka berdua saat ini.

Mas Bian berdehem membuat kesadaran Hanum dan Ben kembali ke bumi. Perempuan berbaju putih itu menjatuhkan diri di sisi temannya.  Mereka berdua menatap langit yang sedang tertutupi awan. Mendung tanpa hujan.

"Ben," yang di panggil mengangkat sedikit wajahnya ke arah sang guru, "Airnya sudah siap," sambung Mas Bian.

Ben bangkit dari rebahannya, dia dengan sigap mengulurkan tangan ke arah Hanum yang masih sibuk menatapnya. Ben tau dia adalah lelaki gagah dan keren.

"Kamu tuh jelek," tutur Hanum seolah dia tau apa pikiran Ben. Perempuan jawa itu menyambut uluran tangan Ben dengan senang hati

Lelaki berkulit putih itu menghampiri sang guru yang telah siap dengan air kembang tujuh rupa. Mas Bian memasukkan satu bungkus serbuk putih pada mangkuk kecil, dia mengaduk serbuk itu dengan jari telunjuknya, dan seketika serbuk itu berubah menjadi warna kuning. Selanjutnya, lelaki berusia 40 tahun itu, menuangkan serbuk ke dalam gentong besar berisi kembang tujuh rupa dan  terlihatlah cahaya kuning terang memenuhi gentong tersebut. Ini berarti aura Ben berwarna kuning terang, berbeda dengan Hanum yang memiliki aura berwarna hijau kebiruan.

Mas Bian mengambil air di dalam gentong menggunakan siwur. Saat air ini mengenai tubuh Ben, asap tipis menguar dari tubuh lelaki itu. Hanum memperhatikan lelaki yang mengaku teman dekatnya itu. Senyum manis perempuan itu sunggingkan saat Ben membuka matanya.

Kaki telanjang Hanum bergerak di rerumputan hijau yang lembap, dia mengambil alih siwur dari tangan Mas Bian. Perbuatan perempuan ayu itu membuat Ben dan Mas Bian terkejut.

"Niat ingsun arep adus jinabat, kembang kantil kembang melati kembang mawar kang caahe ana pitu, kawulo nyuwun pitulungmu kanggo ngedusi badan ku, resiken resikenono sak njerone atiku lan sak njabane kulitku. Ambyar aken kang anggawe sial ning awaku, bukaken lawang lan jendelo kemujuran ing tengen kiwo, andap inggil, ngarep mburi mugi kersa krana Gusti Kang Moho Agung," Hanum melafalkan bacaan saat dia mulai menuangkan air itu di kepala Ben, selanjutnya di bahu kanan, dan bahu kiri. Ini bukan suara Hanum, ini adalah suara Gayatri Rajapatni.

Mas Bian langsung duduk bersimpuh di sisi Hanum. Di hadapannya ini adalah wanita hebat dari masa wilwatika. Gayatri Rajapatni adalah istri Raden Wijaya yang melahirkan dua orang putri bernama Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Perempuan itu menyiramkan sekali lagi air kembang ke tubuh Ben dengan perlahan.

KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang