Chapter 21

32 17 0
                                    

Langkah kaki Hanum dan Raden Watuhumalang berhenti. Netra mereka melihat Pangeran Lokapala yang berwujud harimau sedang menerkam Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku. Napas Hanum terhenti sesaat, itu adalah sosok harimau miliknya. Dia rindu dengan sosok itu.

Air mata Hanum mengalir deras membuat Raden Watuhumalang menatapnya heran. Tanpa menunggu persetujuan dari siapapun, Hanum berlari dengan lemah ke arah harimau putih itu. Sesekali dia mengusap air matanya dengan kasar.

Kemarahan sang pangeran tak dapat lagi dibendung. Romonya pernah berjanji akan memberikan satu permintaan jika dia bisa menghentikkan tabiat buruknya. Sayang sekali, itu hanya ucapan satu waktu dan dapat berubah kapan saja. Pangeran Lokapala telah berubah karena dia ingin Hanum bersamanya, tetapi sekarang, Romo dan Ibunda sang pangeran mengingkari janji yang mereka buat sendiri.

Saat Pangeran Lokapala ingin membinasakan Romo dan Ibundanya, sebuah pelukan hangat memenuhi tubuh berbulu itu. Isakan tangis perempuan itu mampu membuat sang harimau berpikir jernih. Mengerjapkan mata beberapa kali hingga tersadar bahwa apa yang dia lakukan ini salah.

Hanum melepaskan pelukannya, dia membiarkan harimau besar itu bergerak melepaskan 'mangsanya'. Auman rendah lolos dari mulutnya, dia bergerak ke arah Hanum, menatap perempuan itu dengan seksama dan membiarkan potongan-potongan ingatan membentuk sebuah film yang entah darimana asalnya.

"Loka," lirih Hanum.  Harimau menawan itu tidak menjawab, kepalanya dia rebahkan pada bahu kecil Hanum. "Semua akan baik-baik saja." sambung Hanum.

Berita tentang adanya seekor harimau besar di dalam istana membuat gempar warga sekitar saat itu juga. Entah siapa yang menyebarkan berita itu karena mereka tidak mencari tahu dulu kebenarannya. Tak dapat disangkal bahwasanya orang dalam istana juga ketakutan akan itu. Mereka mendesak Gusti Raja Rakai Pikatan dan Gusti Ratu Pramodhawardani untuk bertindak tegas.

Cahaya terang yang memancar secara horizontal pada garis cakrawala membuat senyum Hanum mengembang. Setelah pemberontakan tadi, Hanum dan harimau besar itu duduk berhadapan, saling menatap, dan saling mengamati hingga arunika menyapa daerah Poh Pitu—Bhumi Mataram.

Perlahan, bulu harimau itu menyusut dan kembalilah Pangeran Lokapala dalam wujud aslinya. Kutukan ini akan terus terjadi hingga sang pangeran dapat menguasai emosi dengan baik, itulah ucapan Resi Wardha. Kelegaan terlihat jelas dari wajah Sri Maharaja begitupun dengan Gusti Ratu Pramodhawardani. Senyum mereka mengembang dengan kembali sempurnanya fisik anak bungsu mereka.

Putri Dyah Saladu yang saat itu menduduki posisi sebagai putri mahkota menghampiri adik kandungnya, menepuk pundak Pangeran Lokapala dengan haru. Sedangkan Raden Watuhumalang memberi hormat kepada saudara tirinya itu. Tatapan sang pangeran jatuh kepada Hanum yang ingin beringsut pergi, dia menahan pergelangan tangan Hanum, dan menatap mata cokelat itu dengan penuh sayang.

"Terima kasih, Hanum," ucap Pangeran. 

Hanum mengangguk dan melepaskan cekalan tangan itu dengan lembut, "Apapun untuk Gusti Pangeran. Hamba permisi, tugas hamba telah selesai."

Pangeran Lokapala mengabaikan Hanum yang telah pergi, dia akan berbicara dengan perempuan itu nanti. Ada hal yang lebih penting dari sekedar mengurusi perempuan. Ingatannya telah kembali, ingatan beribu-ribu tahun melekat di dalam kepalanya. Jika dia tidak bisa mengubah kejadian yang akan datang, maka hukuman itu akan kembali terulang.

"Hanum?" panggil seseorang.

Hanum menoleh, mendapati Raden Kalingga yang berjalan cepat ke arahnya. Dia mendudukkan diri pada bebatuan di depan gubuk gudang senjata, memandangi pintu ruangan sebelah gubuk itu yang hancur akibat ulah Raden Watuhumalang.

"Ada apa, Raden?" tanya Hanum ketika lelaki itu ikut duduk disisinya. "Langsung saja Raden, hamba bukan seorang yang suka berkelit-kelit."

Raden Kalingga berdeham pelan, matanya menatap helaian rambut Hanum yang bergoyang di terpa angin pagi. "Apakah Bhumi Mataram akan berjaya?"

Hanum menoleh. Sekilas netranya bertubrukan dengan netra lelaki itu. Pandangannya kembali lurus ke depan dengan tangan yang dia tautkan di depan perut. "Berjaya pada masanya dan juga hancur pada masanya, Raden."

"Resi Wardha telah memberitahuku siapa engkau, bisakah saya membantu tugas itu?" Hanum berdiri, membiarkan matahari terserap ke dalam tubuhnya. Tanpa menoleh dia menjawab, "Apakah Raden bisa? Raden yakin tidak tergiur dengan posisi pemimpin di kerajaan ini?" Raden Kalingga terdiam, dia menunggu perempuan itu selesai berbicara karena sesaat Hanum menghela napas. "Raden adalah cucu dari Rakai Panangkaran Dyah Pancapana 'kan? Menyamar sebagai orang luar agar bisa masuk ke dalam Mataram."

Raden Kalingga tersenyum, "Kau benar, Hanum. Walaupun begitu, saya tidak mempunyai niatan untuk merebut tahta putri mahkota. Ah, bagaimana masa pemerintahan Putri Saladu?"

"Beliau tidak memerintah, Lokapala yang akan memerintah," jawab Hanum.

"Apa?" seru Raden Kalingga. "Kau tak sedang berkelakar bukan? Mengapa kau memberitahu saya?"

Hanum menyipitkan mata menatap Raden Kalingga, "Raden bilang tadi akan membantu? Bagaimana, sih? Menyebalkan."

Raden Kalingga tak bisa lagi menahan tawanya melihat wajah Hanum yang tertekuk dengan bibir mengerucut. Sedangkan Hanum, tak bisa untuk tidak terpesona dengan lelaki di sampingnya. Fitur wajah serta tingkah lakunya, benar-benar menyerupai Kalingga di masa depan.

"Jadi, apakah kau mau menikah dengan saya? Saya yakin dengan ketampanan yang saya miliki dan kecantikan yang kau punya, anak-anak kita akan ber—awssss" Raden Kalingga mengaduh, sebab Hanum memukul punggungnya dengan keras hingga menyisakan rasa panas. "Kau!" geram Raden Kalingga.

"Kita tidak akan menikah, Raden. Saya sudah punya kekasih." bantah Hanum.

"Hanya kekasih, bukan suami. Saya akan mengejarmu hingga masa di mana engkau di lahirkan dan akan bertanya seperti ini lagi," jelas Raden Kalingga.

***

Pangeran Lokapala sedang berlatih siang ini di bawah terik mentari. Siang-siang! Apakah Pangeran berniat menggelapkan kulitnya? Dia bertelanjang dada, Raden Kalingga juga sama. Padahal di zaman Hanum, hampir semua orang berlomba-lomba untuk memutihkan kulit mereka.

"Ini namanya hari keberuntungan kita, Num," seru Nila.

Hanum merotasikan bola matanya, keberuntungan dari mana? Haus, cuaca panas, tak ada tempat berteduh, dan Hanum ingin pop ice memenuhi tenggorokannya. Uh, apakah Hanum harus mengenalkan es batu di zaman ini?

"Kau menggunakan perhiasan?" tanya Nila. Nila melihat sebuah cahaya berwarna kehijauan bersinar samar dari leher Hanum.

Jemari Hanum meraba lehernya, apakah kalung pemberian Sri Sultan mulai terlihat? Naraka keluar dari kalung itu, memposisikan diri sebagai benteng untuk empunya. Keluarnya Naraka di siang hari, membuat latihan Pangeran Lokapala dan Raden Kalingga terhenti.

"Ada apa, Nara?" tanya Hanum yang tak mempedulikan lagi tatapan penuh tanya Nila.

Nara tidak menjawab, dia menggeram gelisah akan intuisi yang mendadak hadir. Kedua lelaki yang menyukai Hanum itu bergegas menuju Hanum dengan peluh membasahi tubuh mereka. Belum juga mereka menjawab, puluhan banaspati seakan terjun dari langit menghujam Bhumi Mataram.

Sasaran banaspati itu hanya satu, Hanum.


KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang