“Cepat bangun, banyak yang harus kita kerjakan!” Perkataan seorang perempuan membuat dahi Hanum berkerut.
Tangan Hanum terulur ke bawah, menarik selimut tipis hingga menutupi separuh wajahnya. Dia menggeliat pelan, sedikit menanguh karena tempat tidurnya berubah keras. Mungkinkah busanya menghilang?
“Hanum bangun! Kau nanti bisa dapat masalah dari Nyi Ratih.” Hanum menahan selimut yang ditarik oleh seseorang yang sejak tadi tak berhenti mendumel.
1 detik.
10 detik.
60 detik.“Ayo cepat!” perintah Nila sambil berjalan ke arah pintu.
Urung untuk tetap bertahan dan terus tertidur tanpa mendengar suara Nila, ternyata Hanum tak mampu melakukannya. Dia harus terbangun dari atas ranjang kayu tersebut, lantas beranjak dari sana dengan gerak yang lemah. Berat, lelah, dan seperti usai membanting tulang. Benar-benar sakit semua tatkala dirinya terbangun dari atas tempat tidur itu.
Berjalan tertatih-tatih, seketika langkah perempuan tersebut seperti tidak memiliki banyak pergerakan. Dia setengah memejamkan mata, dengan sesekali melihat arah jalan di hadapan walaupun sekilas remang-remang.
“Lebih cepat, Hanum! Nyi Ratih sepertinya sudah mengawasi keberadaan kita,” tutur sang lawan bicara beberapa kali pula.
Membuka mata dengan sedikit terbelalak, Hanum tetap tak bisa untuk mengedarkan pandangan secara sempurna. Dia terlihat begitu lemah dan urung niat terhadap segala hiruk pikuk pagi yang menyelimuti. Dingin, terasa begitu mengancam dan seakan mengganggu waktu untuk bersenang-senang.
Dua langkah keluar dari pintu, ternyata Nila telah berada jauh dari posisinya berdiri. Perempuan tersebut sudah lebih dulu berjalan meninggalkan beberapa jejak dan langkah yang terlihat sangat terpaut jauh dari posisinya. Dengan begitu, Hanum langsung menggeleng frustrasi. “Apa-apaan, sih, Nila cepat sekali jalannya. Tidak lelah memangnya?” Dia bersenandika.
Bergeming untuk beberapa waktu ke depan, Hanum diam-diam masih terus terpejam. Pergerakan dari kedua kakinya saling tumpang tindih, terlihat bagaikan rumit untuk bergerak lebih jauh.
“Apa saya harus kembali lagi ke tempat pembaringan itu? Jujur, ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Bagaimana mungkin saya bisa terbangun di pagi buta seperti ini? Perempuan itu keterlaluan, Nyi Ratih juga sama!” bentaknya secara mentah-mentah.
Memutar bola mata malas, Hanum bisa menahan apa yang tersembunyi di balik pemikirannya. Prempuan itu segera berjalan untuk lebih gesit, meninggalkan setiap derap langkah yang terpantul jelas di beberapa ruangan tempatnya berada.
Tak jauh setelah sudah terlihat sangat bugar, Hanum kembali mendengar kecipak air yang terasa syahdu. Hidup yang tengah dialami ini terasa seperti berada pada zaman perdamaian. Tidak banyak suasana dan situasi buruk yang menemani langkah orang-orang, terlebih langkahnya saat ini.
Lebih lambat melakukannya, Hanum samar-samar menikmati nuansa di sini. Alunan musik terdengar syahdu, seakan ikut membangunkan jiwanya yang diredam oleh gerutu tak berkesudahan sejak tadi. Sementara dari balik teriakan yang terdengar, ternyata sosok Nila masih berada di sini, tengah memandangi wajah Hanum yang terpaku tanpa gerak sedikit pun.
“Ternyata kau masih di sini, Hanum? Keterlaluan, saya sudah menunggu beberapa waktu di depan sana. Kau ini benar-benar menyebalkan,” entak ucapan Nila terayun santai, seperti tengah memendam rasa kesal yang terlalu liar.
“Maafkan saya, ini hanya salah paham saja. Saya berhenti ada sebab, percayalah!” Berkata dengan diikuti ekspresi wajah kaku, Hanum memastikan bahwa lawan bicara benar-benar yakin dengan kata-kata yang dia ungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...