Kedua pria berbeda ibu itu saling bertatapan. Raden Watuhumalang dengan pandangan geli, sementara Pangeran Lokapala dengan pandangan sengitnya. Dia menatap sengit sang adik tiri sebagai saingan.
"Kembalilah ke belakang, Hanum," pinta sang pangeran.
Hanum menoleh cepat ke arah sang pangeran di hadapan, posisi mereka masih dekat seperti awal. "Tapi, Raden Wa—"
"Saya perintahkan kau pergi, Hanum!" sela Pangeran Lokapala.
Hanum terhenyak, dia melepaskan kasar tangan sang pangeran yang masih mencekal lengannya. Perempuan ayu itu segera menghimpun segala barang bawaannya tadi. Sekarang, mulut Hanum berasa gatal ingin memaki-maki lelaki di hadapannya. Mencoba untuk ramah, Hanum tersenyum kepada mereka dengan tubuh yang sedikit membungkuk.
"Saya permisi," pamit Hanum. Perempuan itu menghela napas pelan membuat Yudhis menoleh ke arahnya, "Apa lihat-lihat?" ketus Hanum sehingga Wasa juga menatapnya. "Pangeran kalian itu ya, sebentar baik, sebentar bentak, sebentar marah, dan sebentar diam. Heran saya, kenapa kalian betah bekerja dengan orang seperti Pangeran Lokapala itu?" tambah Hanum.
"HANUM, SAYA BISA MENDENGARNYA," teriak Pangeran Lokapala.
√√√√√
Netra sang perempuan cantik menatap bumantara yang sedang tak bersahabat. Swastamita yang baru saja berakhir membuat helaan napasnya semakin kuat. Di sisinya, seekor Naga sedang melingkarkan tubuh pada sang empu agar tak merasakan dingin.
Bila ada yang melihat, mereka akan melihat jemari Hanum membelai angin di pangkuannya. Berbeda dengan Raden Kalingga, lelaki yang merupakan guru sang pangeran itu melihat jelas perempuan itu sedang membelai kepala sang naga. Lelaki dengan tinggi empat hasta tersebut sedikit terkejut saat hewan itu menatapnya dan bangkit. Hanum yang menyadari ke mana netra Naraka memandang pun menoleh ke samping.
Hanum berdiri, dia membungkuk hormat pada Raden Kalingga tanpa bersuara. Posisi lelaki itu sangat jauh, jadi tidak memungkinkan Hanum untuk berteriak 'Sugeng sonten, Raden' bisa pengang telinga Hanum di nasehati oleh Nyi Ratih.
"Dia melihat saya, Ndoro," ujar Naraka.
Hanum tersenyum melihat raut khawatir pada Nara, "Biarkan saja."
Kaki Hanum meninggalkan Raden Kalingga yang masih setia menatap hingga perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangan. Dia menatap sekitar saat menangkap suara tak asing di telinganya. Ternyata suaranya dari arah tempat di mana tubuh Hanum tak terlihat lagi.
Kaki Raden Kalingga berjalan cepat sebab hatinya tiba-tiba saja berkecamuk. Di hadapan adalah jalan menuju pendopo milik pangeran dan juga pendopo kecil milik pelayan pangeran. Lelaki tampan itu menatap bahu Hanum yang menegang, rupanya Gusti Raja sedang berada di hadapan pendopo anak bungsunya.
Yudhis dan Wasa tidak tahu harus berbuat apa, pangeran mengunci pintu dari dalam ruangan, sedangkan sang raja sendiri sudah tak sabar ingin memaki-maki anaknya itu. Sepertinya, nasehat yang di layangkan permaisuri tidak dapat menembus telinga sang anak. Terbukti dengan ular yang pangeran muda itu perbuat kali ini.
"Lokapala! Jika kau tak ingin romo memenggal kepala penjagamu, cepat keluar!" teriak Rakai Pikatan—Gusti Raja.
Kenyataannya, Lokapala tak peduli. Pangeran muda yang masih amat labil itu sedang menyesap santai tehnya di temani oleh Nila. Dia lupa jika dia masih memiliki satu pelayan lagi yang bisa di jadikan ancaman oleh romonya. Gusti Raja bertolak pinggang, sungguh kesabarannya sangat di uji menghadapi sifat pembangkang Lokapala. Di saat sang raja menatap kesana-kemari dengan gelisah, dia menatap Hanum yang sedang mematung di hadapnya.
Raden Kalingga yang sedari tadi mengamati, mendapat firasat buruk saat sang raja berjalan ke arahnya, ke arah Hanuk lebih tepatnya. Dia memposisikan diri didepan Hanum dan lebih dulu menyapa sang raja, "Gusti Raja."
Mata Rakai Pikatan menatap nyalang pada Kalingga yang menghalangi jalannya, lelaki yang telah berumur itu menatap Hanum—pelayan Lokapala dengan seringai penuh tipu muslihat. Pasalnya, dia mendengar kabar burung bahwa pelayan baru sang pangeran amat cantik dan juga di istimewakan oleh sang pangeran.
"Siapa nama Anda?" tanya Rakai Pikatan.
Hanum tersenyum, dia menangkupkan kedua tangan di hidung, "Sendiko dawuh, Gusti Raja. Nama hamba Hanum."
Hanum menatap penuh kagum pada lelaki di hadapannya. Bukan Raden Kalingga, melainkan sosok Rakai Pikatan. Beliau adalah sosok pemersatu dua wangsa serta dua agama yang berbeda. Setau Hanum, Pramodawardhani adalah anak Raja Samaratungga yang di nikahkan dengan Rakai Pikatan untuk menyatukan dua wangsa.
Pada saat itu, Rakai Pikatan berwangsa sanjaya dan beragama hindu siwa sedangkan Pramodawardhani berwangsa syailendra dan beragama buddha mahayana. Walaupun berbeda keyakinan, lihatlah betapa damainya hubungan mereka. Benar kata Mahen, 'cinta menyatukan kita yang tak sama'.
"Lokapala! Jika kau tak keluar juga, maka Hanum akan ku bawa ke istana utama," ancam Gusti Raja.
Lokapala tersedak air liurnya sendiri, dia gelagapan. Kenapa bisa dia melupakan Hanum? Dia menatap Nila yang hanya berdiri diam saja bagaikan patung, kenapa juga Nila tidak memberitahu jika Hanum tak berada di sini? Bila romonya ingin membawa Nila, bawa saja, tetapi Hanum? Aarrgghh! Lokapala berteriak dalam hari seraya meremas kepalanya.
Perlahan, pintu pendopo pangeran muda itu terbuka. Netranya hanya menangkap sosok Yudhis, Wasa, dan Raden Kalingga yang sedang menatap tajam. Kemanakah sosok Hanum dan romonya? Seolah tahu apa yang ada di benak Lokapala, Raden Kalingga berkata, "Hanum di jadikan tawanan oleh Gusti Raja."
Hanum memang di bawa oleh Gusti Raja, tetapi tidak untuk di tawan. Raden Kalingga melebih-lebihkan rupanya. Lelaki itu ingin membuat pangeran muda itu panik dan tentu saja berhasil. Pangeran Lokapala berjalan cepat diikuti oleh Yudhis dan Wasa.
"Romo," panggil pangeran dengan tidak sopannya. Hanum rasanya ingin menabok mulut Lokapala yang tak memiliki sopan santun. "Lepaskan dia!" sambung Lokapala.
Terlihat senyum kemenangan dari bibir Rakai Pikatan, ayah dan anak sama saja liciknya. Raja menatap Hanum sekilas dan menyuruh perempuan itu untuk segera memasuki istana utama. Tentu saja Loka menghalangi, dia berteriak dengan lantangnya, "Hanum, berani kakimu melangkah ke sana, hubungan kita berakhir sekarang juga."
Hubungan kita? Hanum ingin tertawa mendengarnya. Sekarang dia tahu, mengapa Resi Wardha menghukum sang pangeran menjadi khodam bangsawan, karena Resi ingin membuat pangeran lebih menghormati orang lain dan tak bertindak semaunya.
"Hanum? Kau tuli?" ucap Pangeran Lokapala. Bagaimana bisa dia membiarkan Hanum-nya memasuki istana utama, di sana banyak prajurit-prajurit gagah, dan Lokapala tak ingin Hanum mencintai salah satunya.
"Baik, apa yang romo inginkan dari ananda?" Lokapala mengalah. Lebih baik mengalah daripada harus tak melihat Hanum selamanya.
Gusti raja tersenyum penuh kemenangan, ternyata kelemahan anaknya ada pada cinta. Dia tahu, kasta pelayan dan pangeran sangatlah jauh dan tidak memungkinkan untuk bersatu. Maka dari itu, gusti raja akan memanfaatkan hal ini dengan bijak.
"Berburulah. Bawakan romo buruan yang besar kali ini," pinta Gusti Raja.
Lokapala mengerti apa arti dari 'buruan besar' yang sesungguhnya. Dia mengangguk menyetujui permintaan sang romo. Gusti Raja memanggil Hanum kembali dan rasanya Hanum ingin berteriak sekarang. Tahan, sabar, dan belum saatnya.
Senyum sumringah terpatri jelas di wajah Lokapala, berbeda dengan Hanum yang tak menampilkan ekspresi apapun. Dia ingin sekali bertemu Permaisuri dan selir-selir lainnya dan melihat betapa cantiknya mereka. Tetapi, Lokapala malah mengacaukan semuanya.
"Hamba per—" Hanum tersentak, belum selesai dirinya hormat kepada raja, tetapi anak bungsu si raja tersebut langsung menariknya. Hanum ingin memprotes tetapi Lokapala mengatakan sesuatu yang membuat Hanum merona.
"Jangan terlalu akrab dengan lelaki lain sekalipun itu romo, saya tidak suka," jelas Lokapala.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...