Raden Kalingga mengerahkan kekuatannya sebagai tameng agar yang berada di dalamnya tidak terluka. Sedangkan Naraka, sebisa mungkin menelan semua banaspati yang meluncur ke arah mereka. Bukan Pangeran Lokapala atau Raden Kalingga yang menjadi incaran banaspati itu, melainkan Hanum yang pada dasarnya hanya seorang pelayan pangeran.
Banaspati merupakan jin yang identik dengan wujud api. Bentuknya bisa menyerupai bola api, atau manusia yang terbakar, dan tengkorak yang sedang terbakar. Banaspati juga bisa dipelihara demi kepentingan tertentu, misalnya mengirim santet atau mengirim barang tertentu dengan tujuan menyakiti atau mengganggu orang.
"Siapa yang mengirim ini?" tanya Hanum.
Tak ada kepanikan diwajah cantik itu, netranya meneliti cakrawala yang masih berwarna biru. Raden Kalingga menghilangkan tameng yang dia dan Naraka yang kelelahan. Pangeran Lokapala menatap sang guru dan berbicara melalui telepati. Di saat mereka lengah, beberapa banaspati kembali muncul dan langsung menghunus tubuh Hanum.
Perempuan itu memejamkan matanya, dia merasakan panas membara disekujur tubuh, dan seketika Hanum mengeluarkan darah dari mulutnya. Dia terjatuh ke dalam pelukan Pangeran Lokapala.
"Hanum," lirih sang pangeran, dia menepuk pipi putih itu dengan pelan.
Pangeran Lokapala membawa Hanum ke dalam pendoponya, sedangkan Nila langsung memanggil tabib istana. Kepala Hanum bersandar pada tubuh sang pangeran, Raden Kalingga menyalurkan tenaga dalam untuk membuang energi negatif yang menyelimuti Hanum.
Naraka masih lemah dan itu membuat pemulihan Hanum sedikit lebih lama. Di tengah pupusnya harapan mereka, tabib istana datang bersama Nila. Lelaki tua itu menyentuh leher Hanum dengan telunjuknya, menotok area telapak kaki perempuan itu sehingga dia memuntahkan cairan berwarna hitam. Pangeran Lokapala terkejut setengah mati, ternyata si pengirim santet ini benar-benar ingin membunuh Hanum.
"Siapa mereka, guru?" lirih Lokapala.
Raden Kalingga menatap Hanum yang kini melingkarkan tangan pada tubuh muridnya, "Kita harus membahas hal ini dengan pihak istana."
Sang tabib telah selesai meramu obat untuk Hanum. Lelaki tua itu memberikan mangkuk yang terbuat dari tempurung kelapa kepada sang pangeran. Netra Hanum setengah terbuka saat lelaki yang dia peluk menjejalkan sedikit demi sedikit dedaunan tumbuk ke dalam mulutnya.
"Pahit," ucap Hanum pelan.
Sang tabib menjawab, "Makan ramuan itu untuk sekali ini saja. Berikutnya akan saya buatkan ramuan minuman untuk Anda." Mata sang tabib menatap Pangeran Lokapala dan Raden Kalingga, "Hamba permisi."
"Nila, kau bisa menjaga Hanum? Saya dan guru akan pergi ke istana utama," titah Pangeran Lokapala.
Pangeran Lokapala menaruh kepala Hanum pada paha Nila. Lelaki itu mengelus kening Hanum sekilas dan menyusul sang guru yang berada di depan pintu.
"Pangeran," panggil Hanum pelan. Pangeran Lokapala menoleh dan kembali melangkah mendekati perempuan berkulit putih itu. "Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni adalah dalang dari ini semua," ucap Hanum.
***
Sri Maharaja sedang berpikir keras saat ini, pertemuan para panglima dilaksanakan secara mendadak. Jemari kurus itu bergetar hingga sang ratu harus menggenggamnya erat. Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni adalah dalang dari peristiwa penyerangan Pangeran Lokapala di dalam hutan. Rupa-rupanya, para anggota perampok upeti istana adalah orang suruhan mereka. Rakai Walaing yang tak terima kematian anggotanya, akhirnya mengirim santet ke dalam Bhumi Mataram. Musuh bebuyutan Rakai Pikatan itu telah mengamati dengan seksama incarannya—Hanum, perempuan itu adalah satu-satunya orang dengan aura berbeda.
"Ada pengkhianat di kerajaan," ucap Gusti Raja. Para panglima serta yang lainnya pun tersentak. Siapa yang berani berkhianat pada raja mereka?
"Maaf, Gusti Raja, atas dasar apa Gusti mengatakan itu?" ujar Rakryan Mahamantri.
Raja Mataram ke-enam itu mengernyitkan dahi, "Tidak ada yang tahu siapa perempuan itu kecuali keluarga kerajaan beserta orang kepercayaan. Lantas, apakah harus saya berkata bahwa ini hanya salah sasaran?"
"Hamba akan menyiapkan pasukan jika Gusti Raja menginginkan perang," ucap Patih Lor.
Lelaki penguasa Mataram itu mengangguk pelan, "Kita akan berperang."
Setelah mendapatkan titik terang tentang masalah penyerangan Hanum, semua orang sibuk mempersiapkan diri. Raden Kalingga menyiapkan para prajurit yang dia latih secara khusus di pendoponya. Sedangkan Patih Lor melatih kembali prajurit istana dengan tegas selama satu minggu.
Para penempa pedang ikut andil dalam situasi ini. Beberapa dari mereka menyiapkan mata tombak yang telah dibubuhi racun. Perang tidak akan terelakkan lagi.
Disisi lain, keadaan Hanum sudah mulai membaik. Perempuan bersurai panjang itu sedang berada di tepian sungai. Menikmati semilir angin bersama Pangeran Lokapala. Tidak ada lagi penolakan dari orang tua sang pangeran, sebab Hanum telah berbicara secara pribadi tentang masalah ini.
"Apa saya harus ikut berperang?" tanya Lokapala.
"Apakah Anda harus tidak ikut berperang?" tanya balik Hanum. Perempuan itu menghela napasnya, "Perang akan berhasil jika Pangeran Lokapala ikut andil didalamnya."
Pangeran Lokapala menggenggam jemari Hanum, dia mengecup jari-jemari itu dengan penuh haru. "Tetap disini, di kerajaan ini, jangan pergi kemana-mana, dan tunggu aku kembali membawa kemenangan."
Hanum tidak bisa mengiyakan permintaan sang pangeran, dia hanya bisa tersenyum manis menahan air mata yang akan mengalir. Tidak mungkin dia berjanji yang dia sendiri tidak tau apakah bisa menepati atau mengingkari.
"Saya memang anak dari penguasa mataram, tetapi sifat saya sungguh jauh dari harapan rakyat. Saya adalah pangeran yang suka menghabiskan waktu menenggak tuak, mengadu ayam, bermain perempuan, dan menyusahkan rakyat miskin. Kehadiranmu mampu membuat saya menghentikan itu semua, salahkah jika saya berharap hanya engkau yang akan menemani saya hingga mati?" ujar Lokapala.
Hanum menggeleng, permintaan lelaki di hadapannya ini tidak salah. Hanya saja ada hal-hal yang tidak akan selalu kita dapatkan dengan mudah. "Bukan cinta kita yang salah, Pangeran, tetapi waktu pertemuan kita yang salah."
"Apakah kau akan menungguku?" tanya penuh harap sang pangeran lontarkan.
"Maukah Anda datang menemui hamba?" Lokapala mengangguk. Jika dia harus membuat perjanjian dengan iblis sekalipun, dia akan melakukan hal itu asal bisa bersama perempuan yang dia sayangi ini.
***
Ratusan prajurit milik Patih Lor berbaris rapi di luar gapura istana, sementara prajurit milik Raden Kalingga berada di barisan terdepan. Tidak ada ketakutan diwajah mereka, ini karena Hanum telah mengatakan bahwa mereka akan memenangkan perang ini. Sri Maharaja, Pangeran Lokapala, Raden Watuhumalang, dan Pangeran Narayana sudah bersiap diatas kuda mereka masing-masing.
Ini akan menjadi perang terbesar pada masa kepemimpinan Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku. Untuk sementara, tahta diisi oleh Putri Rakai Gurunwangi Dyah Saladu sebagai putri mahkota.
Sri Maharaja yang bertugas langsung memimpin perang ini, mulai memacu kudanya dengan pelan. Dari Poh Pitu menuju Bukit Boko hanya berkisar satu jam perjalanan menggunakan kuda. Tekad untuk mengalahkan Rakai Walaing yang tidak tahu berterima kasih tertanam dalam otak Sri Maharaja.
Apakah mereka berhasil seperti yang diceritakan sejarawan?
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...