Chapter 8

50 18 0
                                    

"Saya mengingat Resi pernah berkata 'pergi saat ingin tinggal dan tinggal saat ingin pergi' dan itulah yang saat ini saya rasakan, Ndoro Ajeng," keluh Lokapala.

Kepala Hanum saat ini terasa mau meledak. Tentang Roy, tentang Lingga, tentang Ben, tentang Lokapala, dan tentang hatinya sendiri. Perempuan bercelana panjang itu menoleh ke arah Loka yang sedang menghela napas.

"Maafkan aku Lokapala," ucap Hanum. Tangannya bergerak mengelus kepala harimau jantan di hadapan dengan lembut. "Aku akan membantumu untuk segera kembali ke masamu."

Lokapala menggeleng lemah, "Lalu bagaimana dengan perasaan saya?"

Haruskah Hanum menjawab? Ah, sepertinya tidak perlu. Biarlah rasa ini dia sendiri yang merasakan. Lagipula jika mereka memaksakan, hubungan mereka tidak akan pernah berhasil. Mereka berbeda masa, tidak mungkin salah satu dari mereka mengalah.

"Kita bahas itu nanti," putus Hanum.

Perempuan itu beranjak dari duduknya, dia berjalan menuju kamar dan melihat si harimau kesayangan telah berada di atas kasut empuknya. Oh, andai dia bisa menghilang dalam sekali kedip, tentu dia tidak perlu repot-repot berjalan.

Seperti malam-malam sebelumnya, Hanum akan merebahkan kepala pada tubuh Loka yang lembut dan berbulu itu hingga dia terbangun di pagi hari. Seperti biasanya juga, Lokapala akan memberikan kehangatan pada sang empu agar dia dapat beristirahat dengan nyenyak.

√√√√√

"Kan aku sudah bilang kalo si murid baru itu bukan orang baik," ucap Leon.

Lelaki berseragam putih abu-abu itu bersedekap dada di hadapan Hanum, tetapi di acuhkan. Hanum tetap berjalan menembus tubuh Leon, dia tak menghiraukan ucapan lelaki tampan itu walaupun dia mendengar.

Leon berkata lagi, "Pokoknya ya, sebagai kawan yang baik, aku akan selalu mengingatkan kamu siapa-siapa saja manusia toxic di sekitarmu."

Langkah perempuan bersurai panjang itu terhenti bersamaan dengan hilangnya Leon. Jantung Hanum berdegup keras, kedua tangan pun terkepal, dan matanya memancarkan kebencian yang dapat memusnahkan siapapun yang dia kehendaki.

Lelaki berkulit sawo matang berhenti di hadapan Hanum. Senyum yang biasanya mampu membuat siapa saja terpesona, kini justru terlihat menjijikkan di mata Hanum. Lelaki itu mengerutkan kening saat melihat ekspresi teman sebangkunya yang tidak bersahabat.

"Ke-"

"Maksud kamu apa? Apa maumu, Lingga? Kenapa kamu begitu jahat? Siapa kamu sebenarnya?" cecar Hanum dengan perasaan kecewanya.

Tentu saja Lingga tidak tahu-menahu apa maksud dari semua pertanyaan Hanum. Lelaki itu hanya bisa terbengong apalagi saat perempuan cantik itu sengaja menabrak bahunya.

Lingga menarik lengan Hanum pelan hingga perempuan itu berbalik, "Kamu kenapa, Num?"

Dengan sekali sentak, Hanum melepaskan tangan Lingga yang melingkar di lengannya. Hatinya benar-benar sedang di lingkupi kekecewaan. Matanya memanas, di sambut dengan buliran bening yang mengalir dari sudut mata, dan bibir yang bergetar. Hanum menangis.

Isi kepala Lingga harus bekerja keras untuk mengingat-ingat, apakah dia pernah berbuat salah kepada Hanum atau tidak. Karena seingatnya, dia tidak pernah sedikitpun membuat kesalahan, kecuali ... kecuali ... ahh, Sialan! Lingga ingat sekarang.

"Shit!" umpat Lingga.

Dia menatap nanar punggung Hanum yang bergetar dan akan pasrah jika perempuan cantik itu menjauhinya. Padahal, Lingga merasa bahwa Hanum adalah perempuan yang tepat untuk berada di sisinya.

Lingga memutuskan absen hari ini dan kembali pulang kerumah. Ada beberapa hal yang harus dia luruskan kepada sang kakak-Roy kabashi. Satpam membukakan pagar tralis untuk sang majikan, Lingga memberi senyum sekilas kepada satpam sebelum dia berlari melewati sisi rumah menembus halaman belakang. Di sinilah, tempat perdukunan kakanya tersambung dengan rumah. Berkedok gubuk reyot yang terlihat dari luar.

Lingga memasuki gubuk itu, tak peduli kakaknya sedang kedatangan pasien. Dengan napas yang menggebu, dia menelusuri semua yang berada di dalam tempat itu. Pasti ada sesuatu yang membuat Hanum begitu kecewa terhadapnya.

Roy memberitahukan, "Ada fotomu di ruang tamu."

Ya, dan Lingga sedang menatap potret dirinya yang tersenyum ke arah kamera. Di sisinya, terdapat sang kakak sedang memeluk bola basket. Lelaki tampan itu tertawa garing, pantas saja Hanum begitu marah. Kemungkinan besar kakaknya membuat ulah dan Hanum mengira bahwa dirinya juga terlibat akan hal itu. Oh, Lingga yang malang.

"Kakak masih belum selesai dengan gadis itu," jelas Roy.

Lingga menarik kerah baju kakaknya, "Apa yang sudah kakak perbuat, hah!?" Sungguh lelaki itu frustasi sekarang, sedetik kemuadian dia melepas kasar cengkeraman pada kerah baju sang kakak, dan menyugar rambut dengan sekali sentak. "Aaarrgghhh!" teriak Lingga.

Kaki Lingga menghentak lantai dengan kuat hingga di pintu belakang, tetapi dia membalikkan lagi tubuhnya dengan telunjuk yang mengacung ke arah sang kakak, "Jangan berani-berani mengerjai Hanum lagi atau aku bantai kerajaan jin milikmu."

Roy tidak bisa meremehkan kekuatan sang adik, pasalnya Lingga memiliki kekuatan murni yang berasal dari kakek buyutnya. Berbeda dengan Roy yang memiliki kekuatan karena ritual yang dia perbuat. Kita akan melihat apa yang terjadi kepada Roy jika lelaki itu berani mengerjai Hanum sekali lagi.

Di sisi lain, Hanum sedang berada di alam bawah sadarnya. Perempuan ayu itu tidak sadarkan diri setelah menahan tangis di hadapan Ben. Kini, dia sedang bersama kakeknya, duduk berdua menikmati indahnya hari, serta bertanya apapun yang Hanum ingin tahu.

"Hatinya memang untukmu, tetapi tidak dengan raganya," ujar sang kakek.

Jemarinya yang keriput mengusap buliran bening yang membasahi pipi sang cucu. Di masa remaja seperti ini, Hanum telah menghadapi banyak masalah yang tak di alami remaja pada umumnya. Mau bagaimana lagi, cucu pertamanya itu bukanlah manusia biasa seperti yang lain. Yang Maha Kuasa telah menunjuk Hanum menjadi wadah penerus keluarga Harimurti.

Hanum menatap sang kakek, sungguh dia rindu dengan lelaki di sisinya ini. Dia memeluk lengan lelaki tua itu dan menghela napas pelan. "Jadi, aku harus membantu Pangeran Lokapala di sana agar tidak menjadi khodam 'kan?"

Sang kakek mengangguk, dia mengelus surai hitam Hanum dan berbisik, "Waktumu sudah selesai, cucuku."

Hanum terduduk. Hal itu membuat Ben yang berada di sisinya terkejut setengah mati, lelaki yang setia bersama Hanum itu langsung menghampirinya dan memberi segelas air putih. Perempuan pemilik hati Ben itu menenggak habis air di dalam gelas. Dengan napas tersengal-sengal, Hanum memeluk lelaki di sisinya dengan erat.

"E-eh, kenapa?" tanya Ben lembut.

Tangannya terangkat di udara, ingin membalas pelukan itu tetapi urung sebab takut akan rasa yang kian membesar. Akhirnya dia berdehem dan Hanum sontak mendongakkan wajahnya dengan mata yang berair. Hari ini adalah ketiga kalinya perempuan itu menangis.

"Ingat ini," jawab Hanum dengan suara serak, "aku akan kembali dan aku mohon tunggu aku selama apapun itu." tambah Hanum.

KHODAM (NOVEL TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang