Hanum menangis tertahan, udara sangat susah masuk ke dalam paru-parunya. Jemari perempuan itu menggenggam erat kain jarik yang dia kenakan. Menunduk dalam seolah tak sanggup lagi menatap langit, perempuan itu mengangguk samar saat Resi Wardha memberi nasehat.
"Pulanglah, nak. Kau tak bisa hidup lama di dunia ini," lirh Resi Wardha.
Itu adalah kalimat yang sama untuk kesekian kalinya. Sebenarnya Hanum tidak keberatan untuk pergi dari zaman ini, tetapi entah mengapa hatinya merasakan sakit seolah tertusuk ribuan belati. Resi Wardha mengelus pucuk kepala Hanum dan meninggalkan perempuan yang semakin tenggelam dalam tangisnya itu. Hanum memukuli dada dengan pelan, tangisnya tak dapat lagi ditahan. Suara penuh pilu itu membuat Pangeran Lokapala yang sedari tadi menguping ikut merasakan sakit.
Kakinya melangkah pelan, dia berdiri di hadapan Hanum hingga membuat perempuan itu mendongak. Mata perempuan itu berkedip dan membuat butiran air mata lolos menelusuri pipinya.
"Pangeran," ucap Hanum dengan suara serak.
Hanum berniat berdiri, tetapi sang pangeran menahan bahunya hingga dia duduk kembali. Pangeran Lokapala mendudukkan diri dengan bersila di sisi Hanum. Mereka berdua menatap air sungai yang mengalir dengan derasnya.
"Jadi, apa pilihan yang kau buat?" tanya penuh harap sang pangeran.
Hanum menoleh, menatap lelaki di sisinya dengan nanar. "Pangeran ingin hamba menjawab apa?" Pangeran Lokapala tersenyum sumringah, tentu saja di kepalanya berisikan jawaban Hanum yang akan tetap di zaman ini. "Mari kita bertemu lagi di sini, malam ini," ajak Hanum.
***
Sang surya mulai menampakkan diri, bias sinarnya yang hangat membuat bahagia hati penguasa Bhumi Mataram. Para pelayan berlalu-lalang keluar masuk pintu istana. Sebentar lagi, Rakai Pikatan akan mengumumkan hal penting. Oleh karena itu, dia meminta para petinggi dan anggota kerajaan untuk berkumpul.
"Kanda," panggil Mpu Tamer.
Rakai Pikatan menoleh, dia mendapati wajah khawatir dari Mpu Tamer, "Ada apa, Dinda?"
Netra selir raja itu melirik ke kanan dan ke kiri, jelas sekali jika dirinya saat ini sedang dilanda gelisah. Dia berdeham samar, "Apakah kanda yakin akan menjalankan acara hari ini sesuai rencana?" Mpu Tamer menghela napas, "Apa permaisuri sudah tahu akan hal ini?"
"Tidak!" sela sang raja. "Jangan katakan apapun pada Pramodhawardani, kau tau dia akan menentang keputusan ini."
"Kanda, saya takut akan terjadi kudeta," geram Mpu Tamer.
Rakai Pikatan menggeleng yang artinya tak ingin mendengar apapun perkataan selirnya lagi. Dia berbalik dan meninggalkan Mpu Tamer yang sedang kebingungan. Berbicara dengan orang yang menentang keputusannya hanya akan menyita waktu.
Sang raja menaiki singgasananya, ada permaisuri disisi kanan singgasana raja. Sementara itu, selir raja baru saja memasuki pintu dengan anggun, dia mengambil posisi di belakang permaisuri. Untuk anak-anak raja, mereka duduk pada jajaran petinggi.
"Saya haturkan terima kasih kepada kalian yang bersedia hadir pagi ini. Saya hanya menyampaikan satu hal terkait kemenangan Mataram beberapa hal lalu," ujar sang raja. Lelaki itu menatap semua orang yang hadir dengan mata berbinar, "Saya akan mengangkat Pangeran Dyah Lokapala sebagai putra mahkota menggantikan Putri Dyah Saladu."
Mereka semua terkejut, terutama sang putri mahkota. Perempuan ayu itu tak percaya jika romo-nya rela melakukan ini. Namun, wajah terkejut itu hanya sementara sebab Dyah Saladu langsung menanamkan kebencian terhadap adik kandungnya.
"Kanda, bagaimana bisa kanda membuat keputusan seperti itu?" protes Pramodhawardani. Rakai Pikatan tak menjawab, dia hanya menoleh sekilas kepada istrinya dan kembali menatap jajaran manusia yang masih menunggu penjelasannya.
"Saya menyerahkan tahta ini kepada Pangeran Lokapala, sebab dia telah berhasil mengalahkan Mpu Kumbhayoni. Saya percaya bahwa yang bersangkutan bisa mengemban tanggung jawab ini dengan baik," jelas sang raja.
Pupus sudah harapan sang pangeran untuk memperistri Hanum. Sangat tidak memungkinkan jika seorang pangeran yang berstatus sebagai putra mahkota dan sebagai penerus kerajaan untuk menikahi pelayan. Setidaknya, Pangeran Lokapala harud menikahi satu orang putri dari kerajaan lain dan menaikkan derajat Hanum sedikit demi sedikit. Argh!
"Romo, ananda tidak perlu menjadi putra mahkota. Bukankah itu terlalu berlebihan?" ucap Pangeran Lokapala.
Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir dengan pikiran Lokapala, bagaimana bisa dia tidak tertarik untuk memimpin Kerajaan Mataram? Hal ini membuat sang raja semakin yakin bahwa Lokapala tak akan bersifat tamak jika dia menjadi raja nanti.
"Tak ada yang bisa membantah perkataanku, Pangeran," tutur Rakai Pikatan.
Pangeran Lokapala hanya bisa pasrah, apalagi yang bisa dia lakukan untuk menolak keinginan sang raja? Tidak ada. Ah, atau mungkin dia bisa pergi melarikan diri bersama Hanum. Tidak, perempuan itu tidak akan setuju. Sementara Pangeran Lokapala sibuk dengan pemikiran anehnya, Putri Dyah Saladu memandang lelaki itu dengan tatapan sinis. Dia telah berikrar pada hatinya akan merebut tahta itu suatu saat nanti.
***
Sesuai janji, malam ini Hanum akan menemui Pangeran Lokapala di tepi sungai. Perempuan itu telah mendengar hasil pertemuan tadi pagi, ternyata memang sejarah berjalan sesuai alurnya. Jadi, dia tidak bisa berharap lebih dengan sang pangeran, sebab Hanum tahu pasti siapa yang akan menjadi istri lelaki itu.
Menatap bulan purnama yang begitu penuh dan bersinar, Hanum merasa, dia seperti melihat Ben diatas langit sana. Ben, Lokapala, dan Kalingga. Mereka bertiga membuat isi kepala Hanum serasa ingin pecah. Pangeran Lokapala yang berjanji akan menyusulnya, Raden Kalingga yang berkata akan mencari dirinya hingga belahan bumi manapun, dan Ben yang saat ini mungkin sedang menanti dirinya.
"Kau sungguh perempuan tak tahu diri!" Hanum menoleh dan terkejut mendapati Kanjeng Ambar bersedekap dada di belakangnya.
"Perkataan tak sopan yang keluar dari mulut seorang bangsawan," sindir Hanum.
Kanjeng Ambar berdecih sinis. Tadi pagi, perempuan ini tak sengaja mendengar obrolan antara pelayan rendahan bernama Hanum itu dengan lelaki yang dia sukai—Pangeran Lokapala. Maka dari itu, dirinya datang lebih dulu sebelum pangeran bodoh itu datang.
"Tak bisakah kau menjauhi Lokapala?!" Kanjeng Ambar menarik gelungan rambut Hanum hingga terlepas.
Kepala Hanum terasa berdenyut ringan karena jambakan itu. Apakah Hanum perlu memberi pelajaran pada anak bangsawan yang manja ini? Apakah dia harus membunuh Ambar? Ah, tidak. Hanum tidak akan melakukan itu, dia ingat apa yang Resi Wardha katakan tentang hal ini.
"Kau," Hanum menunjuk Kanjeng Ambar, "Kau bosan hidup ya?"
"Kau yang bosan hidup!" sengit Kanjeng Ambar. "Jalang sialan! Beraninya kau merebut Lokapala dariku!" Kanjeng Ambar memukul Hanum dengan tongkat yang dia sembunyikan sedari tadi. "Mati kau! Mati kau!" cecarnya.
Hanum tak melawan, dia hanya menggunakan tangan sebagai pertahanan yang tentunya tak sebanding dengan kerasnya tongkat rotan itu. Satu tendangan amatir dilayangkan oleh Kanjeng Ambar hingga membuat Hanum terjerembab ke dalam sungai. Perempuan yang sedang diliputi rasa cemburu itu menyingkap kain jariknya dan ikut masuk ke dalam sungai.
Dia dengan tega menenggelamkan kepala Hanum agar perempuan itu mati segera. Kedua tangan Hanum berkecipak seolah ingin meraih udara, tetapi Kanjeng Ambar tak memberi kesempatan itu. Iblis telah menguasai hatinya.
Hanum telah menelan banyak air sungai yang dingin, pertahanannya mulai lemah, paru-parunya telah terisi oleh air, dan Hanum tak sanggup lagi. Dia tak bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...