Suara jangkrik menemani Hanum yang sedang mencari ketenangan batin. Perempuan ayu itu duduk bersila dengan kepala menunduk dalam. Hanum menangis tanpa suara. Entah perempuan itu menangis karena apa, tiba-tiba saja hatinya merasakan lara.
"Sedang apa kau malam-malam disini? Hanum menyeka air matanya dengan cepat, dia menoleh dan mendapati Raden Kalingga berdiri menjulang membelakangi cahaya bulan.
"Menurut Raden, hamba sedang apa? Tentu saja hamba sedang berdoa di depan Siwa," jawab Hanum setengah kesal.
Perempuan itu tidak sepenuhnya berbohong, dia memang berada di hadapan patung Dewa Siwa. Tetapi, Raden Kalingga tidak benar-benar percaya sebab dia melihat pipi Hanum yang mengkilap basah.
"Kau siapa sebenarnya?" tanya Raden Kalingga.
Hanum menelengkan kepala, otaknya sedang tak bisa berpikir saat ini, "Saya Hanum, Raden."
Raden Kalingga tersenyum sinis, dia melipat kedua tangan di dada, "Jangan berbohong. Pelayan sepertimu tidak mungkin memiliki penjaga. Jujur kepadaku, Hanum."
Lancang sekali pertanyaan seorang Raden Kalingga, rasanya Hanum ingin memaki dan menyuruh Naraka menelan lelaki di hadapnya. Hanum berdiri dari duduknya dan menatap Raden Kalingga yang lebih tinggi. Perempuan ayu itu dengan berani menunjuk wajah Raden Kalingga, "Jangan mau tau siapa saya, Raden. Yang jelas kehadiran saya disini bukan untuk membunuh melainkan untuk menolong sang pangeran."
Menggenggam telunjuk Hanum yang mengacung, Raden Kalingga maju satu langkah hingga mereka nyaris berdempetan, "Sepertinya kau ahli dalam hal membunuh, ya?"
"Kenapa? Apa Raden ingin saya bunuh?" Raden Kalingga menarik pinggang Hanum dengan tangannya yang menganggur. Tentu saja Hanum terkejut, "Kau unik. Menikahlah denganku, Hanum."
WHAT THE HELL!
"Hanum?" Mata Hanum membola, tubuhnya menegang sepersekian detik. Dia menyentak telapak tangan Raden Kalingga di pinggangnya. Di belakang sana, ada Pangeran Lokapala dengan aura hitamnya. Tangannya terkepal menahan amarah, tetapi bibirnya masih bisa tersenyum saat Hanum mendekat.
"Hamba, Gusti Pangeran," jawab Hanum.
Pangeran Lokapala mendorong pelan tubuh Hanum agar berjalan disisinya. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, hanya derap langkah yang mengiringi jalan mereka. Keadaan ini sungguh membuat Hanum tak bisa berkata-kata.
"Apakah kau tuli? Bukankah saya mengatakan untuk tidak mendekati lelaki lain, Hanum?" ucap sang pangeran.
Suaranya memang pelan, tetapi kalimat pertama itu begitu menusuk. Hanum menghentikkan langkah saat dia telah berada di depan pintu pendopo pelayan, "Maafkan hamba, Gusti Pangeran. Saya sedang duduk di taman itu dan tiba-tiba saja Raden Kalingga menghampiri hamba."
Helaan napas terdengar dari sang pangeran, "Beristirahatlah."
√√√√√
Derap langkah keanggunan terdengar mendekati kediaman Pangeran Lokapala. Kedua pelayan Pangeran sedang membereskan sisa sarapan sang pangeran. Hanum membawa beberapa mangkuk sedangkan Nila membawa sisanya. Nila berjalan di depan Hanum, dia membungkuk saat melihat perempuan bersurai panjang berada di pintu masuk pendopo pangeran. Hanum melakukan apa yang di lakukan oleh Nila, tetapi naas karena perempuan yang di ber hormat oleh Hanum malah menyenggol tubuhnya dengan kasar sehingga barang bawaannya jatuh dan pecah.
"Hanum," pekik Pangeran Lokapala.
Tanpa canggung, Pangeran Lokapala berlutut di sisi Hanum dan meraih kakinya. Hanum menahan tangan Pangeran dengan senyuman canggung ke arah yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...