Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni sedang berdiri pada sebuah batu di Bukit Boko. Melalui orang kepercayaanya, dia diberitahukan bahwa Kerajaan Mataram sedang dalam perjalanan menuju Keraton Boko. Dia mengelus janggut panjangnya seraya terkekeh dan membuat perut buncit itu bergoyang.
Jika dilihat dengan mata telanjang, Rakai Walaing hanya seorang diri. Namun, lihatlah disekitar pohon dan juga timbunan batu-batu besar, di sanalah prajuritnya bersembunyi. Kerajaan Mataram sangat bodoh untuk bertindak gegabah. Karena jika mereka kalah, tahta Mataram akan jatuh ke tangan Rakai Walaing. Itulah yang lelaki ini harapkan sejak dulu. Rakai Walaing merasa bahwa dia lebih pantas memegang kekuasaan Mataram, sebab dirinya adalah keturunan Sanjaya.
Oleh karena itu, dia membangun Keraton Boko yang sempat di singgahi oleh Raja Mataram kedua yaitu Rakai Panangkaran Dyah Pancapana—Kakek dari Raden Kalingga. Lelaki berkulit cokelat itu berhasil membangun Keraton Boko dengan apik.
Bukit Boko ini juga merupakan saksi bisu saat Balaputradewa melarikan diri dari pemberontakan yang dia buat. Paman dari Pramodhawardani ini sempat ingin merebut tahta Mataram Kuno saat sang keponakan menikahi Rakai Pikatan. Namun karena kalah, Balaputradewa pergi hingga ke Sumatera dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya yang benar-benar berjaya.
Kepergian Balaputradewa membuat Rakai Walaing tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dengan otak cerdasnya serta para pengikut setianya, mereka menyusun batu-batu untuk melengkapi bangunan yang sudah ada. Membangun paseban, pendopo, dan keputren yang hampir selesai. Mereka memanfaatkan sumur suci hasil galian Argasatya.
Derap langkah kuda membuat senyum Rakai Walaing mengembang, dia tak sabar menggenggam kekalahan Mataram ditangannya. Lelaki berwajah oval itu dengan angkuhnya melompat menghadang kuda Rakai Pikatan.
"Besar juga nyali Baginda Raja," ejek lelaki itu.
Rakai Pikatan melompat dari kudanya, berputar, dan mendarat tepat dihadapan musuhnya, "Apa kau dalang dari kerusuhan di hutan dan apa kau juga yang mencelakai pelayan anakku?"
Tawa menggema dari mulut Rakai Walaing, wajahnya menghadap ke samping saat tertawa. Setelah itu, dia menatap musuh bebuyutan dihadapan dengan sengit, "Kau benar, akulah dalang dari penyerangan itu semua. Ha-ha-ha, bagaimana nasib perempuan itu, apakah dia mati?" sindir Rakai Walaing, netranya melirik Pangeran Lokapala yang sudah siap untuk membunuh.
"SERANG!" teriak Rakai Walaing.
Pasukan Mataram dikepung oleh pasukan boko, jumlah mereka kurang lebih sama, yang membedakan adalah tekad pasukan boko dapat terlihat dari sorot mata mereka.
"Hyaaaa," teriak Sri Maharaja.
Teriakan penguasa Mataram itu memulai bergeseknya benda-benda tajam. Bunyi besi bertubrukan dan batang bambu yang berbenturan membuat bising telinga para masyarakat. Mereka berbondong-bondong mengungsikan diri ke tempat yang lebih aman. Mereka takut jika peperangan memasuki pemukiman warga.
Sri Maharaja tertusuk pedang milik Rakai Walaing di area perutnya. Raden Kalingga yang melihat pemimpin mereka lemah, segera membuat tameng pribadi untuk Sri Maharaja. Sementara itu, cucu raja kedua mataram itu berhadapan langsung dengan Rakai Walaing.
"Paman, kita tidak harus berperang seperti ini," bujuk Raden Kalingga.
Rakai Walaing terkekeh, "Apakah Raden Kalingga yang hebat ini merasa takut?"
Gigi Raden itu bergemeretak, dia tak suka diremehkan dengan lelaki angkuh ini. Dengan emosi, Raden Kalingga menghunuskan pedangnya tetapi meleset. Hal itu membuat Rakai Walaing tertawa mengejek. Banyak prajurit yang tumbang dengan cipratan darah dimana-mana membuat bau amis menyebar dipermukaan.
Raden Kalingga yang terlalu larut menatap para prajuritnya pun tak sadar saat Rakai Walaing menghunuskan pedang ke arah pinggangnya. Alhasil, dia tumbang bersamaan dengan hilangnya tameng untuk Sri Maharaja.
Pangeran Lokapala melihat itu semua, dia meminta Raden Watuhumalang untuk melindungi romo dan guru mereka. Sementara itu, lelaki yang mencintai Hanum dengan segenap raganya langsung menyerang musuh tanpa ampun. Jimat yang Hanum sematkan pada pergelangan tangan sang pangeran, ternyata menaikkan kemampuan sang pangeran hingga hampir sembilan puluh persen.
Sring!
Pedang Pangeran Lokapala dan Rakai Walaing saling bergesekan. Sang pangeran mendorong pelan pedangnya dan dengan sekali gerakan memutar, dia melakukan tendangan melingkar mengenai kepala musuh. Rakai Walaing terhempas ke tanah dengan mulut yang mengeluarkan darah. Lelaki tua itu meludah, menatap penuh benci pada bocah ingusan di hadapan.
"Kau akan mati, Pangeran," ejek Rakai Walaing.
Lelaki tua itu berdiri memposisikan diri, dia menangkupkan kedua tangan didepan wajahnya, dan membaca sebuah ajian. Saat itu juga kepulan asap memenuhi bukit boko, berbagai macam jin bermunculan. Rupa-rupanya, Rakai Walaing bekerja sama dengan jin untuk membangun keraton di bukit boko.
Pasukan Mataram menatap tak percaya dengan kejadian yang ada, sekarang, apa yang harus mereka lakukan? Mereka yang bisa, menggunakan tenaga dalamnya untuk memusnahkan para jin. Pangeran Lokapala menatap jijik pada lelaki tua itu.
"Bedebah kau, Walaing!" maki Pangeran Lokapala, "Menggunakan cara kotor untuk menang. Kau pikir, hanya kau saja?"
Senyum sinis Pangeran Lokapala haturkan untuk musuhnya yang sok berkuasa. Dia menekan jimat pemberian Hanum dan keluarlah Naraka dari dalam sana. Sebenarnya, itu adalah kalung pemberian Sri Sultan untuk Hanum. Namun, menurut perempuan itu, Pangeran Lokapala lebih membutuhkan khasiat jimat itu ketimbang dirinya. Lagipula, dirinya bisa memanggil Naraka kapan saja.
Semua orang yang melihat Naraka memenuhi bukit hanya bisa ternganga, mereka tak menyangka anak bungsu sang raja bisa mengendalikan naga besar itu. Para jin juga terlihat ketakutan menatap makhluk buas itu, apalagi Naraka merasakan perutnya bergemuruh senang mendapatkan makanan lezat tersaji dihadapan.
"Waktu dan tempat saya persilakan," tutur sang pangeran.
Naga milik Hanum itu mengerang keras sebelum dia terbang ke atas langit dengan tinggi dan menukik secara cepat menelan semua jin milik Rakai Walaing. Sang pangeran tersenyum puas melihat kerja Naraka yang cepat, dia mengayunkan pedang ke arah lelaki tua itu dengan gesit tanpa jeda dan berhasil memotong satu kaki Rakai Walaing.
Tak berhenti disitu, Pangeran Lokapala juga langsung menancapkan pedangnya pada ulu hati lelaki tua itu hingga tembus ke punggung. Tak ada kata 'ampun' untuk orang yang telah melukai perempuan milik pangeran. Benar kata Hanum, peperangan ini akan dimenangkan oleh Kerajaan Mataram.
Pasukan Mataram yang masih hidup mengembangkan senyum mereka, masing-masing membawa rekan yang telah gugur di medan perang. Pangeran Narayana membawa Raden Kalingga dengan kudanya, sedangkan Raden Watuhumalang membawa sang ayahanda dengan kudanya. Di depan mereka, Patih Lor memimpin perjalanan. Mereka semua memacu kuda masing-masing dengan kecepatan sedang, meninggalkan sang pangeran yang sedang mengelus kepala Naraka.
"Saya membiarkan kau hidup bukan berarti kau bisa membalas dendam atas kekalahan ini, Rakai Walaing," ujar Pangeran Lokapala. Lelaki tua itu menatap tak percaya pada bocah ingusan yang ternyata sudah dewasa itu. "Pergilah, menjauh dari Mataram dan biarkan orang lain yang menguasai Keraton Boko ini. Kau tidak pantas." sambung Pangeran Lokapala.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...