Arunika bergulir tatkala hari telah berlalu, dan sekarang sore melanda kerajaan Mataram dan sekitarnya. Suasana begitu bernuansa apik, ketika kemenangan telah digenggam oleh prinsip dan tangan masing-masing. Satu dari mereka merasakan senang, usai selesai pertempuran itu dan memihak kepada menangnya Bhumi Mataram dari serangan lawannya beberapa hari lalu.
“Beritahu kepada warga-warga, nanti malam kita akan mengadakan pesta!” ujar Sri Maharaja kepada dua lelaki di hadapan. Ya, mereka adalah pesuruh di kerajaan tersebut berada.
Membungkuk dan bergerak sopan, dua lelaki tadi hanya bisa mengiyakan. Mereka sangat patuh kepada Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku , sebab kehidupannya hampir bergantung kepada hal terkait di sana.
“Sendiko dawuh, Gusti Raja, kami akan mengikuti. Terima kasih,” balas sang pesuruh dengan kepala mengangguk cepat.
Dilanjutkan oleh laki-laki satunya yang ada di sebelah, mereka saling beriringan untuk melakukan gerakan itu usai Raja memerintah ucapannya. “Kami undur diri, Gusti Raja,” sambung satu pesuruh lagi.
Merenggang pergi, sekarang keduanya telah lanjut pergi. Mereka menapak cepat tanpa henti, begitu lihai dalam menjalankan tugasnya. Sebentar lagi pesta itu akan digelar, saat langit mulai redup dan situasi menyambut malam datang. Rakai Pikatan yang melipat tangan di dada hanya bisa tersenyum miring, menikmati kemenangan yang tak pernah terduga sebelumnya.
“Luar biasa, akhirnya Kerajaan Mataram bisa kokoh dalam mempertahankan serangan lawan,” katanya secara pelan.
***
Berbondong-bondong saling berdatangan, semua warga sudah berkumpul di area kerajaan. Sebelumnya, sang raja telah menunggu lebih awal dan rapi mengenakan pakaian yang biasa dipakai dalam acara-acara penting. Setengah menengadah kepala, sekarang laki-laki bergelar raja tersebut sudah menetap di tempat dan memperlihatkan setiap pergerakan orang-orang yang datang ke sana.
‘Ramai, bagus! Ini semakin menunjukkan bahwa malam ini pesta akan berlangsung secara besar-besaran!’ batin Rakai Pikatan sembari tersenyum kecil.
Berlalu selama empat sampai lima kali netranya menangkap warga yang datang, sekarang areal sudah penuh. Masih ada yang ikut meramaikan dan berkumpul di luar kerajaan, demi ikut menikmati apa yang sebenarnya dirasakan. Bukan sering momen seperti itu dialami, sebab Rakai Pikatan memang sangat jarang berbaur dengan orang-orang setempat.
“Kapan acara akan dimulai, Gusti? Apakah tak terlalu lama?” tanya seorang pesuruh kerajaan, sebab saat itu dirinya tengah mendapat berbagai pembicaraan dari tamu yang datang.
“Sebentar lagi. Saya hanya ingin menikmati keramaian ini secara detail. Bukankah kita jarang melakukannya?”
Berhenti bicara, sampai pada akhirnya sang raja memutuskan untuk melangsungkan acara pesta tersebut. Jamuan sudah berjajar rapi dan mengelilingi para tamu. Tentu saja raja tersenyum puas terhadap apa yang dilihatnya.
Beberapa perbicangan diucapkan, sampai semuanya saling menatap ke arah depan. Raja berdiri di depan bersama beberapa orang yang terkait penting dalam acara, sembari tengah sedikit mengarahkan tentang peran dan keberhasilan yang telah diraih. Sekilas, semuanya bertepuk tangan dan merasakan kebahagiaan yang tak dapat diukur lagi.
Berada di tempat, ternyata Pangeran Lokapala ikut serta dalam jamuan tersebut. Dia menetap dan berdiri juga bersama impitan warga yang ada. Beliau tidak sendiri, menyebabkan ditemani oleh Raden Kalingga yang memegang secawan minuman di telapak kiri.
“Ramai sekali, ya, benar-benar terbukti bahwa Kerajaan Mataram dalam tingkat keberhasilan,” ujar Raden Kalingga yang mengiringi pembicaraan warga-warga. Dia sedikit tersenyum miring, diikuti satu tangannya menyangga cawan tersebut.
“Rasanya tidak ingin menghindar dari acara ini, mengingat betapa ramainya tamu yang datang. Bayangkan, pernikahanmu dengan Hanum akan lebih menggetarkan seluruh kerajaan!” Sedikit mengolok, Raden Kalingga memekik keadaan menjadi lebih tegang. PangeranLokapala yang mendengar itu tampak biasa saja, tetapi hatinya bergetar dan napas langsung memburu cepat.
“Ah, sudahlah! Jangan ingatkan aku pada sosok wanita itu. Hanum, dia terus berlalu lalang di dalam benakku, tanpa kau ungkit namanya sekali pun,” ketus Lokapala. Pipinya terlihat memerah dengan senyum tipis mengembang di sudut bibir.
“Jangan menolak, Pangeran! Katakan saja jika kau memang menginginkan perempuan itu ada di hadapan kita, sekarang!” sindir Raden Kalingga.
Salah tingkah dan bergerak dua langkah dari posisi sebelumnya, Pangeran Lokapala meninggalkan sang guru. Tak sampai di sana, gurunya itu turut mengikuti dari belakang dan menggoda muridnya lebih dalam. Sejurus, perbincangan mereka berhenti sejenak kemudian.
Barisan para warga terpecah, tatkala ada sesosok laki-laki yang lewat melintas di sana. Arahnya seperti hendak ke tempat berdirinya Gusti Raja Rakai Pikatan; dilihat dari gerak langkah kakinya melewati jalan untuk ke sana. Dengan puluhan mata yang menatap, sosoknya tak juga goyah untuk balas mengedarkan pandangan ke lawan tatapnya.
“Ada angin apa sehingga resi hadir?” Pangeran Lokapala serius menatap. Dia sedikit terkejut dengan wajah laki-laki di depan sana.
“Saya juga tidak tahu, Pangeran,” jawab Raden Kalingga.
Diam dan hening, mendadak decit suara dari pembicaraan orang-orang yang berada di tempat langsung henti. Mereka semua mengamati satu laki-laki di sana dan bertanya-tanya. 'Apakah dia sang resi? Orang yang mendapatkan wahyu?'
Belum usai mendapati fakta jelas tentang laki-laki tersebut, sekilas namanya disebut dengan panggilan Resi Wardha. Ya, pemuda familiar yang tiba-tiba datang menghampiri ke pesta malam itu. Entah gerangan apa yang membuat lelaki itu mengikuti perjamuan malam ini.
***
Kedua alisnya bertaut saat sepasang netra menatap ke sana. Dia bergeming, tetapi gerak matanya terlalu liar untuk menghakimi soal pergerakan yang dilakukan oleh perempuan depan sana. Hanum, sekarang terpampang nyata bahwa perempuan tersebut yang tengah diperhatikan.
‘Rencana tersusun rapi, aku harus berhasil untuk menghancurkan Hanum. Setidaknya dia lenyap, tentu saja tidak pernah kembali lagi!’ batin ucapan Kanjeng Ambar berkata ketus. Dia tersenyum lebih lebar dengan seringai yang ada di sudut bibir.
Dua sampai empat langkah dari posisi awal, Hanum tidak menyadari itu. Dia lanjut berjalan dan meninggalkan lokasi untuk segera pergi. “Permisi, Kanjeng Ambar, hamba keluar sebentar,” sapanya lembut dan sedikit membungkuk. Tanpa balik membalas, Kanjeng Ambar hanya diam dan melirik sembarang arah.
Tatapan benci dari netra Kanjeng Ambar untuk Hanum berakhir sampai di sana. Dia meninggalkan lokasi dan lebih pintar lagi menggerakkan langkahnya. Berakhirnya acara di Kerajaan Mataram, berakhir pula kehidupan Hanum di sini. Itu sudah lebih awal direncanakan oleh perempuan dengan bola mata hitam yang lekat memenuhi matanya.
Berbalik arah dengan langkah Hanum yang merenggang dari tempatnya, Pangeran Lokapala dan Raden Kalingga juga ikut menghindar dari perjamuan. Mereka berdua berjalan terburu-buru dan seperti ada sesuatu yang direncanakan.
“Kau yakin tak ada hal yang serius?” tanya Pangeran Lokapala yang memecah suasana itu.
Menggeleng, sang pangeran sendiri belum bisa memastikan bahwa Resi Wardha membawa kabar baik. “Saya juga belum tahu. Mungkin kau bisa bertanya langsung kepada gusti raja.”
Membuyarkan pemikiran buruk itu, Pangeran Lokapala tersenyum hangat. Dia tiba-tiba mengingat tentang Hanum, dari sudut wajahnya yang kerap membuat candu lawan jenis.
“Di mana Hanum? Sepertinya aku harus mengajak dia menikah dalam waktu yang cepat.” Berkata tegas dan pasti, Pangeran Lokapala membuat keadaan menjadi aneh.
“Untuk apa? Bagaimana mungkin secara mendadak kau berkata seperti ini?” heran Raden Kalingga.
Tak menjawab, pangeran itu hanya berkata pelan. Sedikit, tetapi cukup membuat gurunya bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya pemuda itu rasakan.
“Saya ingin menjadikan Hanum istri, lebih cepat menurut saya lebih baik, bukan?” titah Pangeran Lokapala yang mengundang pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHODAM (NOVEL TERBIT)
Historical FictionBlurb: "Resi, saya merindukannya," keluh Lokapala. Resi Wardha menatap sang pangeran yang tertunduk lesu. Mata Lokapala menatap air danau yang melukiskan indahnya malam ini. Di kepala sang pangeran hanya terisi tentang Hanum, Hanum, dan Hanum. "H...