"Lu hantu, ya?" tanyaku.
"Menurut kamu?" Ia malah balik nanya.
"Iya atau nggak? Jawab pertanyaan gua!"
"Kalau iya, memangnya kenapa?"
"Ya gak apa-apa sih."
"Apa kamu takut?"
"Gak."
Jujur, walaupun ia hantu, aku sama sekali tak takut. Soalnya, ia memiliki wajah yang terlalu tampan. Apalagi aroma tubuhnya berbeda dengan hantu lain, perpaduan mint dan orange. Mirip parfum mahal.
Matanya yang berwarna coklat keemasan menatapku tajam. Lalu, bibir merah mudanya bergerak. "Kamu yakin?" ucapnya.
"Iya."
"Kalau begini?" Ia mengibaskan rambut coklatnya. Dalam satu kedipan mata, sudah menghilang dari hadapanku.
"Kebiasaan banget. Hantu tukang ghosting! Baru ngobrol sebentar dah ngilang," gerutuku.
"Kar!" panggil seseorang bersuara cempreng. Siapa lagi kalau bukan sahabatku — Tuti.
Aku menoleh. "Ah, pantesan dia ngilang," gerutuku.
"Apaan yang ngilang?" tanya Tuti.
"Bukan apa-apa."
"Pagi-pagi begini, ngapain lu ngobrol sama gerbang sekolah. Mana gerbang sekolah tetangga pula."
"Gw kagak ngobrol sama siapa-siapa, Ntut."
"Ah, gua liat kok lu ngobrol sama gerbang."
"Mungkin lu lupa cuci muka, jadi penglihatan lu keganggu sama belek."
"Gua tuh sahabat lu dari SD, Kar. Jadi tau banget kalau ada yang aneh sama lu beberapa hari terakhir ini."
"Aneh gimana?"
"Kemaren gua liat lu ngobrol sendiri di kelas. Pas jam istirahat."
"Itu gua lagi ngobrol sama diri sendiri. Self-talk. Paham gak lu?"
"Ah, sok inggris. Kalau ngobrol sama diri sendiri kan bisa pake suara hati. Ngapain lu ngomong agak kenceng, terus sambil nengok ke samping pula."
Duh, kok Tuti bisa tau. Padahal aku yakin sekali saat itu tidak ada orang di kelas. "Dah ah, gak usah dibahas." Aku berjalan ke arah sekolahku.
"Yeee, malah kabur," ucap Tuti seraya menyusulku.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, kami sudah disambut oleh sosok penunggu gerbang. Siapa lagi kalau bukan guru olahragaku yang super galak — Pak Surya.
"EHEM!" Pak Surya berdehem keras saat kami melewati gerbang. Sontak kami menoleh padanya. "KAMU! Mana maskernya?" tegurnya dengan suara tegas sembari menunjukku.
"Oh iya, Kar. Masker lu ke mana?" ucap Tuti.
"Astagaaa ... kayanya gua lupa bawa masker."
"Duh, Kar. Kena deh lu."
"Bantuin gua, Tut. Masker lu bisa dibagi dua, gak?"
"Ya kali, Kar!"
"Aturan sekolah offline itu wajib pake masker. Sekarang kamu pilih mau skot jump 15 kali atau lari keliling lapangan basket dua kali."
Duh, abis sarapan terus skot jump. Bisa-bisa lambung sama usus gua demo. Gara-gara lagi kerja dilanda gempa. Kalau lari, ntar banjir keringet, terus make-up gua luntur. Coba pake teknik rahasia ah!
Kupasang wajah memelas, cenderung nelangsa. "Aduh, Pak. Jangan. Nanti saya beli masker di kantin."
Tuti langsung menyenggolku. "Mana ada yang jualan masker di kantin," ucapnya pelan.
"Sttt! Diem dulu."
"Di kantin gak ada yang jual masker! Mau hukumannya bapak tambah?" ucap Pak Surya.
"Tuh kan," ucap Tuti.
"Saya lari keliling lapangan aja, Pak." Aku pun pasrah, harus mandi keringat di pagi hari.
"Oke. Nanti habis lari, ambil masker di ruang guru."
"Iya, Pak."
Kami pun melangkah melewati gerbang. "Coba lu bayangin, Tut. Abis lari terus gua duduk di samping lu seharian. Beuh aromanya sedap banget pasti," ucapku.
"Iya sih, tapi gak mungkin juga gua kasih masker ini ke lu. Ntar gua yang disuruh lari," balas Tuti. "Eh ... gua baru inget!"
"Inget apaan?" tanyaku bingung saat Tuti membuka tasnya.
"Masih ada ternyata!" Ia mengeluarkan masker dari dalam tas.
"Kenapa gak daritadi?"
"Gua baru inget kalau ada masker bekas kemaren."
"Sini gua pinjem!" Aku langsung merebut masker itu dari tangannya.
"Tapi, Kar ...."
"Pinjem bentar doang," sahutku seraya berlari ke arah Pak Surya.
"Pak, masker saya ketemu," ucapku.
"Pake maskernya! Jangan dipegang aja."
"Iya, Pak." Kupakai masker itu.
Ugh! Bau banget sih.
"Tut! Ini masker kok bau amat!" keluhku.
"Gua baru mau bilang kalau maskernya bekas ingus," balas Tuti.
"Ih!" Spontanku lepaskan maskernya. "Parah lu, Ntut!"
"Ya, daripada lu lari keliling lapangan. Gua yang tersiksa ntar."
"Kenapa masih berdiri di sana! Cepet masuk kelas!" teriak Pak Surya, dengan suara lima oktaf.
"Iya, Pak," sahut Kami kompak.
"Pake maskernya!"
Terpaksa, aku pakai masker bau pemberian Tuti. Semoga pas sampai kelas tidak keburu pingsan.
________
"Kar, gua turun duluan ya," ucap Tuti.
"Oke."
Kutatap jendela, "Langit ... bisakah kau turunkan hujan. Aku malas ikut pelajaran olahraga," batinku sambil mengambil baju olahraga di dalam tas.
"Kenapa kamu berdoa seperti itu?" Tiba-tiba hantu tampan itu muncul di hadapanku.
Hua!
Spontan, aku menjerit. "Kamu takut sama aku?" tanyanya dengan wajah polos.
"NGGAK! Gua cuman kaget lu tiba-tiba muncul. Mau ngintip gua ganti baju, ya?" hardikku.
"Tidak. Aku hanya tak sengaja lewat."
"Bohong! Bilang aja ngintip! Dasar cowok! Udah jadi hantu aja masih begitu."
"Sebaiknya aku pergi saja." Hantu tampan itu membalikan badan.
"Eh ... tunggu!" cegahku.
Ia menoleh, "Apalagi?"
"Gua belum tau nama lu."
"Panggil saja Milo." Sontak aku pun tertawa. "Kenapa kamu tertawa?" tanyanya, dengan wajah kebingungan.
"Pantesan rambut sama matanya warna coklat."
"Apa hubungannya dengan namaku?"
"Nanti gw tunjukin pas jam istirahat."
"Baiklah."
Tring!
Milo menghilang. Aku pun lanjut tertawa sambil mengganti baju.
BERSAMBUNG
*
Mau baca kelanjutannya lebih cepat? Bisa liat di KBM Aplikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Tampan
Teen FictionKisah pertemanan antara dua dunia, Karra - seorang siswi SMA, tidak sengaja bertemu dengan Hantu Tampan dalam insiden kecelakaan maut. Hantu Tampan itu bernama Milo, cocok sekali dengan rambut dan matanya yang coklat. Namun, sikap tidak semanis Mil...