Harapan

3.7K 387 2
                                    

"Dia duduk di mana, Kar?" bisik Tuti.

"Nggak jadi ikut. Risih sama lu," balasku.

"Kok gua masih nyium bau jeruknya?"

"Tuh liat!" Aku menunjuk Stela jeruk yang tergantung di dekat kursi supir.

"Ah! Tau gitu ngapain gua ikut lu."

"Lagian, lu kagak ada kerjaan amat."

"Ya dah ntar gua turun di pertigaan aja. Seharusnya lu bujuk dia buat naek angkot, Kar. Kapan lagi liat anak orang kaya naek angkot."

"Kan gua doang yang bisa liat."

"Iya juga sih."

"Lagian kalau dia mau naek angkot. Kan tinggal naek aja. Nggak bakal ada yang liat ini."

"Emang anak indigo lain kagak bisa liat dia?"

"Mana gua tau."

"Harusnya lu tanyain ke si Sri. Anak IPS. Dia kan indigo."

"Ogah ah! Ntar dia malah jatuh cinta liat ketampanan Milo."

"Gua jadi makin penasaran. Seganteng apa sih dia."

"Ganteng banget!"

"Dah ah! Gua turun duluan, Kar."

"Iya."

"Bang di pertigaan, ya!" teriak Tuti. Angkot pun berhenti di pertigaan. "Salam buat Milo ya, Kar."

"Huuh, btar gua salamin."

Tuti pun turun dari angkot.

"Akhirnya dia pergi juga," ucap Milo yang dari tadi duduk di depanku.

"Dia pengen banget liat kamu tuh," batinku.

Milo menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak, temanmu itu aneh dan cerewet."

"Emangnya aku gak cerewet?"

"Cerewet, tapi aku suka."

"Suka cerewetnya? Apa suka sama aku?"

"Suka sama kamu." Milo tersenyum manis. Aku pun langsung tersipu malu.

"Apa kamu juga suka padaku?" imbuhnya.

Gimana ya jawabnya ... gimana aku jawabannya dengan pertanyaan yang begitu sulit dijawab. Kalau gua jawab iya, kesannya jadi aneh. Masa gua pacaran sama hantu.

"Tidak apa-apa. Selagi kamu belum punya pacar," ucap Milo.

"Kamu bisa baca pikiran aku?"

Milo mengangguk.

"Dari kapan?"sambungku.

"Sejak aku menciummu," balasnya.

Duh, gawat!

"Apa yang gawat?" tanyanya.

"Nggak ada. Kamu bisa berenti baca pikiran aku, gak?"

"Aku belum bisa mengendalikannya."

"Kamu harus cepet bisa ngendaliinnya."

"Kenapa?"

"Soalnya itu membuatku gak nyaman."

"Hmm, baiklah. Sekarang aku akan belajar untuk tidak membaca pikiranmu."

"Sip."

Angkot terus melaju, tak terasa aku sudah tiba di depan gang, dekat rumah. Milo sudah turun duluan, berdiri di dekat pintu.

"Minggir!" batinku. Aku tidak mau, jika tanpa sengaja menyentuhnya. Bagaimanapun, hanya tinggal satu sentuhan lagi.

Kami pun berjalan menyusuri gang. Aku meminta Milo untuk menjaga jarak agak jauh. "Milo," panggilku.

Hantu TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang