Seketika itu, suasana menjadi begitu canggung. Di depan ada Abdul yang sedang senyum-senyum tak jelas. Di sampingku, ada Milo yang sedang memasang wajah serius. Uh ... rasanya seperti diperebutkan dua lelaki.
Tapi ... gak Abdul juga kali, Kar!
"Ditanya malah diem," ucap Abdul.
"Kira-kira nih. Tengah hari yang panas begini, cocoknya minum Milo panas atau dingin?" sahutku.
"Dingin."
"Nah itu pinter."
"Tunggu sebentar ya. Abang buatin."
Idih, apaan sih! Gua langsung merinding disko.
"Sepertinya, dia memang pacar kamu," ucap Milo.
"BUKAN!" sahutku, agak meninggikan suara.
"Bukan apa?" tanya Abdul yang sedang mengaduk Milo.
"Bukan dia tapi kamu ...." Aku bernyanyi dengan nada lagu Bukan Dia Tapi Aku milik babang Judika. Sembari melirik ke arah Milo.
Perlahan, Milo mulai mengurai senyum. Manis sekali. Minuman Milo pun kalah manisnya. Hingga membuat jantungku berdegup kencang.
"Malah nyanyi," ucap Abdul, membuyarkan momen romantis antaraku dan Milo.
"Lagi latihan buat ikutan X Factor Indonesia," sahutku.
"Oh."
"Cepetan dikit, Dul. Gua dah haus nih!"
Haus kasih sayang, pikirku. Seraya menatap wajah tampan Milo. Seandainya saja ia seorang manusia.
"Eh, lu bisa baca pikiran gua, gak?" batinku.
"Tidak bisa. Aku hanya bisa mendengar suara batinmu saja."
Ah, aman berarti. Bisa ngekahayal macem-macem. Eh ~
Kulihat Abdul sudah selesai membuat es Milo. "Berapa, Dul?" tanyaku.
"Lima ribu."
Kuserahkan selembar uang lima ribu. "Minta bungkusnya dong."
"Buat apa?"
"Minta aja. Gak perlu banyak tanya."
_________
Aku mengajak Milo ke samping sekolah. Perbatasan antara sekolahku dengan Edmund High School, sekolah international khusus kaum adam.
Dulu ... sebelum pandemi, gua sama si Ntut, suka banget nongkrong di depan gerbang sekolah entu. Modusnya, pura-pura nunggu angkot sambil liatin bentukan cowok yang mirip cowok-cowok wattpad. Cakep-cakep bener dah, ampe susah milihnya. Ya, miriplah sama cowok yang sekarang duduk di samping gua, Milo. Walaupun ia bukan manusia.
"Lu pernah sekolah di Edmun?" tanyaku.
"Ed-munth." Milo mengoreksi ucapanku.
"Ribet, ntar lidah gua keseleo."
"Iya, dulu aku sekolah di sana."
"Tahun berapa?"
"Aku tidak ingat."
"Masa gak inget?"
"Setiap orang yang pergi meninggalkan dunia. Tidak selalu ingat semua memori hidupnya. Termasuk aku."
"Oh begitu. Kalau rumah? Inget gak?"
Milo menggelengkan kepala. "Tak banyak yang kuingat."
"Baguslah kalau begitu, berarti bakal banyak ruang kosong buat inget gua."
"Kamu sedang merayuku?" tanyanya dengan wajah serius.
"Enggak!" elakku.
"Untuk apa kamu mengajakku ke sini?"
"Oh iya!" Kuambil bekas sachet Milo di kantung celana. "Nih liat." Kuserahkan padanya, tapi bekas sachet Milo itu malah jatuh ke tanah.
"Kamu meledekku?" Milo tampak kesal.
"Maaf, gua lupa." Aku lupa kalau Milo tidak bisa menyentuhnya.
"Aku bisa saja menyentuh benda itu, tapi itu akan menguras banyak energiku. Aku tak mau buang-buang energi untuk hal yang tak penting."
"Berarti gua penting dong?"
"Maksud kamu?"
"Kejadian pas pertama kali kita ketemu."
"Oh itu. Aku hanya terpaksa menolongmu."
"Ih jahat! Gua ampir mati tau!"
"Makanya aku terpaksa menolongmu supaya tidak mati."
"Tetep aja jahat. Kenapa harus bilang terpaksa sih!"
"Memang kenyataannya begitu." Tak ada sedikitpun rasa bersalah darinya. Aku bangkit, lalu pergi meninggalkannya sendirian.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya. Namun aku pura-pura tak mendengar. Kemudian berlari menuju kelas.
_______
"Napa muka lu ditekuk gitu, Kar?" tanya Tuti saatku sampai di kelas.
"Diem deh, gua lagi males ngomong."
"Dih, gua kan cuman nanya, malah digas."
Aku duduk, kemudian menatap jendela. Tak terasa bulir-bulir bening mengalir di sudut mata. Kenapa Milo malah berkata seperti itu. Terpaksa katanya?Padahal aku bisa saja mati dalam kecelakaan itu.
Pikiranku melayang, memutar kembali memori empat hari lalu. Tepatnya di hari pertama aku masuk sekolah offline. Masih terbayang jelas dalam ingatanku, setiap detil kejadian di pagi itu.
Saat itu, Jakarta sedang diguyur hujan yang sangat deras. Aku turun dari angkot, tepat di depan gerbang sekolah. Kemudian menyebrang jalan. Tak memperhatikan kalau ada mobil yang sedang melaju ke arahku.
Aku baru tersadar, saat mobil itu menyalakan klakson. Sukses mengagetkanku, hingga melepas payung dari genggaman. Bukannya menghindar, aku makah berdiri mematung di tengah jalan. Sementara, mobil itu semakin dekat. Rasanya sudah tak mungkin lagi kuhindari. Pasrah.
Tiba-tiba ada sesosok lelaki tampan muncul di hadapanku. Ya, itu Milo. Ia menarik tanganku, kencang sekali. Hingga aku terjatuh ke aspal dan terhindar dari kecelakaan maut itu. Setelah itu, ia langsung menghilang.
Jujur, aku sangat berterimakasih karena ia telah menolongku. Hingga aku bisa tetap bernapas sampai detik ini. Namun, jika alasannya hanya karena terpaksa. Itu cukup melukai hatiku.
Memang ya! Semua cowok sama aja. Nggak peka sama perasaan cewek. Apalagi cewek berhati rapuh kaya gua. Yang nonton drakor aja bapernya bisa berbulan-bulan.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Tampan
Novela JuvenilKisah pertemanan antara dua dunia, Karra - seorang siswi SMA, tidak sengaja bertemu dengan Hantu Tampan dalam insiden kecelakaan maut. Hantu Tampan itu bernama Milo, cocok sekali dengan rambut dan matanya yang coklat. Namun, sikap tidak semanis Mil...