Hiruk-pikuk para murid pecah setelah bel istirahat berbunyi, Alex biasanya menjadi orang pertama yang meninggalkan kelas. Namun hari ini Alex tetap tinggal dibangkunya dengan kepala yang bertumpu pada telapak tangan dan pandangan yang fokus pada bangunan elit tak jauh dari sekolahnya, SMP GANESHA, itu adalah sekolah impian Alex.
"Alex, tidak pergi ke luar?" tanya gadis yang baru saja menarik sebuah kursi agar dapat duduk disamping sahabatnya.
"Alex tidak bawa bekal, papa Alex sakit." gumamnya tanpa semangat.
Mendengar itu Ghina lantas melirik malas, memangnya Alex pikir Ghina menghampirinya hanya untuk menanyakan sandwich? "Sakit? Benarkah? Sakit apa?" tanya Ghina kemudian. Alex terlihat bimbang dengan kata-katanya, Alex pasti sangat sedih sekarang.
"Ghina, Ghina nanti ingin sekolah dimana?" tanya Alex pada sahabatnya. Mungkin Ghina juga mempunya sekolah idaman seperti yang ia lakukan, siapa tau itu sama dengan yang Alex inginkan.
"Tidak tau, Ghina ingin bersekolah disekolah yang ada didekat rumah Ghina saja." ucap gadis itu.
Alex yang mendengar itu lantas mengerutkan keningnya, "Ghina tidak punya sekolah impian?"
"Punya, disana." jari Ghina teracung menunjuk bangunan yang tak lain adalah SMP GANESHA. Itu membuat Alex tersenyum karena mimpi mereka ada ditempat yang sama.
"Ghina, kalau nanti Ghina diterima disekolah itu dan Alex tidak, bagaimana?" tanya Alex.
Ghina mengangkat kedua bahunya, setelah menghembuskan nafas ia kemudian memegang kedua tangan sahabatnya. "Ghina akan terus menjadi teman Alex, selama lama lama lamanya, Ghina hanya akan sekolah ditempat Alex sekolah."
"Meskipun itu bukan sekolah impian Ghina?" tanya Alex heran yang kemudian dijawab oleh anggukan yakin dari Ghina.
"Tidak boleh, Ghina harus tetap sekolah ditempat impian Ghina. Ghina tidak boleh melupakan mimpi Ghina demi Alex, Alex senang jika Ghina bahagia. Kita akan tetap berteman meskipun berbeda sekolah," jelas Alex. Ia tak ingin Ghina melewatkan kesempatannya dimasa depan hanya untuk mempertahankan persahabatan mereka, lagipula mereka akan tetap berteman meskipun berbeda negara.
"Tapi mimpi Ghina hanya untuk menjadi teman Alex, sayang Alex banyak-banyak." ucap Ghina yang kemudian memeluk Alex dengan erat. Gadis itu memang selalu bersikap kekanakan, berbanding terbalik dengan Alex yang selalu ingin terlihat dewasa.
***
Gulf yang meringkuk dikasur masih betah merapatkan matanya, ia sudah bangun dan ia bukan tak mendengar ketukan pintu dari Siri. Gulf melewatkan sarapan dan sebentar lagi jam makan siang. Tapi Gulf tak kunjung bangkit dari kasurnya, itu membuat para pelayang khawatir. Namun tetap saja mereka tak berani mengusik Gulf berlebihan.
Hingga saat Alex pulang sekolah setelah dijemput oleh Rom, bocah itu menghampiri Gulf dikamarnya dengan maksud untuk mengajaknya makan siang.
Alex melangkah pelan, memperhatikan Gulf yang masih terbalut selimut tebal.
"Papa?" lirih Alex agar tak mengejutkan Gulf.
Gulf membuka selimutnya dengan perlahan setelah mendengar sapaan Alex, satu hal yang tiba-tiba membuat Gulf merasa sangat hangat yaitu pakaian Alex yang berwarna kuning pucat.
"Alex," rengek Gulf kemudian berusaha untuk duduk.
Gulf menepuk-nepuk sisi kasur, meminta Alex untuk segera duduk didekatnya. Bocah itu kemudian duduk ditempat yang Gulf maksud, senyumnya yang hangat membuat Gulf merasa lebih baikan.
"Boleh papa berbaring disini?" tanya Gulf seraya menunjuk kaki Alex. Setelah mendapatkan anggukan setuju, Gulf tak banyak bicara dan langsung kembali berbaring dengan paha Alex sebagai bantalnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI3
FanfictionKita hanya terluka, itu tak terlalu parah jika harus dijadikan alasan berpisah. Senyummu yang kembali merekah mengehidupkan tawa kita yang renyah, kehangatan yang indah menjanjikan hilangnya luka tak berdarah. ini adalah bagian ketiga dari IGNITI...