"Selamat pagi, papa."
Wajah indah yang selalu terlihat bahagia namun terlalu pandai menyembunyikan luka itu tersenyum bangga saat melihat sang putra yang kini telah fasih menggunakan seragam bahkan mengikat tali sepatunya sendiri, bersama bola basket kesayangannya Alex melangkah menuruni tangga dan menghampiri sang papa dimeja makan.
"Muach."
"Em, apa ini?" tanya Gulf setelah sebuah kecupan hangat mendarat di pipi kirinya.
"Kiss morning, Alex selalu melakukannya pada papa. Bagaimana papa bisa tidak tau itu?" protes Alex seraya mendudukkan bokongnya di kursi yang tak jauh dari Gulf.
"Kiss morning? Bukan kiss molning?" ejek Gulf.
"Papa ...." keluh Alex yang kemudian meletakkan bola basketnya dilantai lalu meraih sepotong sandwich di atas meja.
"Alex, cuci tangan dulu!" keluh Gulf.
"Alex lupa," ucapnya sebelum pergi dan akhirnya kembali setelah mencuci tangan.
"Alex, kenapa membawa bola basket ke sekolah? Bukannya hari ini tidak ada jadwal olahraga?" tanya Gulf saat putranya tengah mengunyah.
"Alex kan suka basket, apa harus menunggu jadwal olahraga baru boleh memainkannya? Lagipula pelajaran olahraga tidak selalu memainkan basket, Alex tidak akan dapat kesempatan kalau menunggu terus." jelas si bocah.
"Alex masih siswa sekolah dasar, sayang. Alex tidak memiliki jadwal yang padat, Alex masih bisa berlatih dirumah atau Alex ingin mengambil kelas basket?" tawar Gulf pada putranya yang selalu antusias jika menyangkut basket.
Alex menggeleng. "Alex bisa atur jadwal Alex sendiri, lagipula Alex hampir masuk sekolah menengah pertama pa."
"Baiklah, Alex bisa mendapatkan apapun yang Alex ingin. Asalkan ...?"
"Ber-tang-gung-ja-wab." sahut Alex menahan tawa. "Alex tau, Alex akan bagi waktu belajar dan bermain. Alex tidak akan melewatkan pelajaran, pa."
"Papa percaya pada Alex, selesaikan sarapannya dan pergi ke sekolah."
"Pa, bisakah Alex diantar Joy saja? Rom terlalu dingin, Alex tidak suka." bisik Alex pada Gulf.
"Sttt," sela Gulf dengan jari telunjuk di bibirnya. "Rom itu lebih baik daripada Joy dalam berkendara, Alex pilih mana? Dingin selamat atau hangat ...."
"Baiklah, dengan Rom saja. Pa, kenapa papa tidak mengijinkan Alex untuk pergi ke sekolah sendiri?"
"Bukan tidak, tapi belum. Sabar sedikit lagi saja, sayang."
"Emh, padahal Alex ingin menjemput Ghina sekolah."
"Heh," sela Gulf. "Alex masih anak-anak, menjaga diri sendiri saja sulit bagaiman akan menjaga Ghina? Nanti paman Bright marah," ancam Gulf dalam gurauannya.
"Tidak akan, paman Win akan membela Alex. Paman Bright takut pada paman Win."
"Alex, Alex." sahut Gulf seraya menggeleng pelan menahan tawa dengan tangannya yang mengusap pipi sang putra.
"Pa, apa papa akan kerumah sakit hari ini?" tanya Alex kemudian.
Gulf mengangguk, "iya."
"Apa papa tidak lelah harus ke rumah sakit setiap hari sepanjang tahun hanya untuk menjenguk daddy yang tidak tau kapan akan sadar?"
"Kenapa Alex bertanya seperti itu? Daddy akan bangun, sebentar lagi. Papa saja yakin, masa Alex tidak?" tanya Gulf seraya meraih sebuah sosis kemudian meletakkannya di piring Alex.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI3
FanfictionKita hanya terluka, itu tak terlalu parah jika harus dijadikan alasan berpisah. Senyummu yang kembali merekah mengehidupkan tawa kita yang renyah, kehangatan yang indah menjanjikan hilangnya luka tak berdarah. ini adalah bagian ketiga dari IGNITI...