•6

1.7K 225 76
                                    

Saat ini Mew sedang berdiri di teras belakang, menerawang bagaimana letak yang strategis untuk sebuah lapangan basket. "Hm, itu mungkin bisa." gumam Mew dengan raut wajah serius.

Joy yang ikut berpikir hingga memiringkan kepala akhirnya mengangguk, "ini sudah lebih dari sekedar cukup jika hanya lapangan basket sederhana. Tidak, kau bisa membuat ukuran asli dihalaman belakang ini." ucap Joy santai.

Mew memegang ujung dagunya, "atau pagarnya dirobohkan saja? Lalu dibangun ulang dengan jarang yang lebih luas, agar lapangan basketnya nyaman."

"Sialan," gumam Joy. "Kau akan membangun stadion mu sendiri hah?!" ketus Joy.

"Ide bagus," sahut Mew. Ucapan Joy terdengar seperti ide brilian, Mew bahkan sudah mengeluarkan smartphone untuk menyiapkan lokasi.

"Mew!" sentak Joy seraya menjauhkan Mew dari smartphone. "Aku hanya becanda, serius kau akan membangun stadion untuk Alex berlatih?" tanya Joy.

"Jika itu baik untuk Alex kenapa tidak? Kalau perlu akan mendirikan akademi basket terbesar disini, agar Alex bisa berlatih dengan sempurna. Haruskah kita datangkan pelatih dari luar negeri? Berikan rekomemdasimu." pinta Mew.

"Kau sangat menyayangi putramu," ejek Joy. "Buat saja lapangan sederhana, agar bola bisa memantul sempurna. Itu sudah cukup membuat Alex bahagia." sambung Jos seraya mengembalikan smartphone milik Mew.

"Kenapa harus sederhana? Alex akan menjadi apa yang dia inginkan, aku harus mendukungnya."

"Paman Joy benar, lebih baik lapangan sederhana saja." sela Alex yang tiba-tiba berdiri di samping Mew.

Mew menatap putranya, benarkah Alex menyapanya duluan? "Alex setuju untuk dibuatkan lapangan? Tadinya daddy ingin membuat ini sebagai kejutan, tapi Alex malah ikut berdiskusi." ucap Mew.

"Daddy, papa dimana?" tanya bocah itu pada Mew.

"Saat bersama daddy pun Alex mencari papa? Sangat tidak menjaga perasaan," keluh Mew seraya menggoda Alex.

"Daddy, ayo berbaikan." ajak Alex yang membuat Mew melirik ke arah jari kelingkingnya yang teracung.

"Papa marah karena kotak makan yang hilang, Alex sudah cari tapi tidak ketemu. Papa tidak ingin bicara dengan Alex sekarang," adu bocah yang benar-benar telah kehabisan upaya. Mew bahkan mengabaikan kelingkingnya yang mungil.

"Oh, mengajak daddy berbaikan demi membujuk papa? Meskipun daddy paling jago untuk membujuk papa, daddy tidak akan lakukan untuk membantu Alex. Daddy tidak ingin papa marah pada daddy juga," ujar Mew. Enak saja Alex memanfaatkan situasi seperti ini, Mew tidak akan luluh begitu saja.

"Daddy kan punya uang, daddy harus beli kotak yang banyak untuk papa. Agar papa senang dan tidak marah lagi," keluh Alex dengan setengah membentak pada daddynya.

"Datang saja pada papa, katakan kotaknya hilang sungguhan. Biarkan papa marah sebentar lalu Alex bisa minta maaf, papa juga tidak akan menerima barang baru untuk menggantikan barang lama." jelas Mew yang kini duduk di lantai teras. Alex harus tau bahwa dirinya juga memerlukan Mew, tidak hanya Gulf.

Dengan raut wajah yang dipaksa tersenyum Alex kemudian duduk dan merapatkan diri kepada Mew, "daddy saja yang menjelaskannya untuk Alex." pinta bocah itu.

"Bagaimana ya?" sahut Mew seolah itu adalah pertimbangan yang sangat berat untuk disepakati.

"Daddy, please. Tidak menyenangkan jika papa marah dan diam, iya kan?" rengek Alex yang kini berbaring telentang di atas rerumputan.

"Alex, jangan berbaring di situ kotor!" ujar Mew yang mulai bingung.

"Daddy harus membantu Alex," keluh bocah itu seraya berguling kesana dan kemari.

IGNITI3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang