"Anya tak menjawab, tangannya terus bergerak. Jika saja boleh ia ingin berbagi cerita, tapi siapa Arya? Dia hanya ipar yang bahkan bisa jadi maut baginya. Anya harus menjaga jarak, walau bagaimana mereka berdua adalah manusia normal."
***
Mata Arya memicing ketika melihat Anya ke luar dari kamar adiknya.
"Apa mereka tidur bersama? Kemana manajer itu? Nakal juga kamu Arga! Heh."
Dia yang tak tahu banyak mengenai kehidupan Arga, hanya tahu bahwa calon istri adiknya itu adalah seorang wanita yang menjadi salah satu pegawai di kantornya. Bernama Mira.
Ia meneruskan aktifitasnya, menarik tangan dan kaki sebagai pemanasan lalu melangkah pergi untuk joging.
Anya menuruni anak-anak tangga, melihat punggung Arya yang terlihat sama persis dengan punggung milik Arga semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Kakak beradik itu memang memiliki perawakan yang mirip. Hanya perlu memakaikan dua pakaian yang sama, maka orang tak bisa membedakannya ketika dilihat dari belakang. Tak ada firasat buruk setelah tahu jika ternyata tamu tersebut adalah kakak Arga.
Ia melanjutkan tujuannya turun ke lantai bawah. Berjalan ke arah dapur dan melakukan rutinitasnya.
***
Pagi hari adalah saat tepat untuk Arya melepas penat. Setelah tiba-tiba terbangun pukul jam dua malam. Lantaran trauma masih menghinggap, pria yang berkulit sawo matang bersih itu sering terganggu tidurnya. Hal tersebut yang juga menjadi salah satu alasannya menjadi seorang penulis. Pikirnya ketimbang suntuk dan membuat pikiran makin tak keruan, lebih baik dilampiaskan dengan menulis, yang imbasnya jauh lebih besar ketimbang meokok.
Sejak malam-malamnya terganggu, harinya diawali dengan menggores pena. Saat di mana-mana orang tertidur lelap dan menikmati istrahat. Baginya, menulis bukan hanya soal hobby, tapi juga terapi diri, mengendalikan emosi setiap kali trauma datang.
Arya sengaja ke luar dari kawasan elit di mana Arga dan Anya tinggal. Memutari satu gang, mengamati salah satu apartemen milik keluarganya yang kosong. Ia merasa merindukan tempat itu tapi di sisi lain sesuatu dalam dirinya menahan untuk itu.
Lama mengamati, ia melihat pergerakan di lantai atas. Arya mengerjap, mengucek matanya, memastikan bahwa ia tak salah lihat.
"Apa ada orang di bangunan itu?"
Penasaran, membuat kakinya seketika terayun. Namun, baru sampai di pagar, sebuah bayangan yang berkelebat dalam kepala menghentikannya.
Seorang gadis terkapar di lantai dengan banyak luka tusukan. Ia ingat bagaimana dirinya berteriak memegangi tubuh kekasihnya hingga seluruh tapak tangannya dipenuhi darah.
Arya mundur. Diam sejenak untuk mengendalikan emosinya. Tak lama ia memutuskan pergi dan meninggalkan tempat yang penuh dengan kenangan itu.
***
"Em, ini baunya lezat," Arya membungkukkan kepala di meja makan yang sudah tersusun piring-piring dan lauk.
Anya yang tengah membakar roti melirik sekilas. Bahkan pujian itu sedikit pun tak membuatnya senang.
Arya mencubit sedikit omelette yang biasa Anya buat setiap pagi bersama sang ibu dulu. Mereka kerap masak bersama. Bahkan ia ingat betul bagaimana senyum Mira tatkala menceritakan tentang Arga saat masak ataupun ketika duduk di meja makan. Karena itu lah, Anya tahu bahwa suaminya itu hanya makan roti dan minuman jeruk hangat ketika sarapan.
Aroma parfum maskulin menguar dari sosok Arga yang baru datang. Pria yang sudah mengenakan kemeja dilengkapi jas dan tas tertentang di tangan. Ia yang baru datang, mengambil posisi duduk bersebrangan dengan sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
General FictionHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...