Berhentilah menahan orang lain sesuai keinginanmu sendiri. Karena mestinya orang baik itu dibahagiakan.
***
"Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu senang?" celetuk Arga yang melihat ekspresi aneh di wajah Anya.
"Jangan terlalu senang karena hasil tesnya belum menunjukkan hasil positif." Arga berjalan ke arah jendela. Matahari menyorot panas ketika ia buka gorden. Posisi kamar yang Anya tempati memang mengahadap matahari terbenam.
"Sudah kubilang, pencahayaannya tidak bagus. Tapi suster itu ngotot tidak mau mengurus perpindahan kamar." Arga mengomel, berusaha untuk melarikan diri dari masalah yang ada di pikirannya
"Em, sudahlah, Om. Sore ini kita sudah bisa pulang. Apa Om tidak kerja?" Anya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 14.30. Jam di mana seharusnya Arga ada di kantor.
Arga mendesah. Perlu kah istrinya mempertanyakan itu, sementara dia dalam keadaan sakit seperti sekarang? Atau sebenarnya Anya lebih menyukai Arya mengurus keperluannya?
'Argh! Sial. Ada apa dengan otakku?!'
"Ya, aku tau kamu lebih senang saat aku tidak ada, kan?"
"Hem?" Anya mengerutkan kening. Apa maksud Arga sebenarnya. Omongannya tida nyambung sama sekali dengan apa yang ditanyakan.
"Ya, sudahlah. Lain kali aku akan memberi waktu lebih banyak untuk kalian berdua."
"Heh." Anya tersenyum masam. Kenapa pria itu makin menyebalkan saja. Setelah sikap dingin dan kasar, sekarang berubah jadi orang yang suka menjudge. Lagian kapan Anya bilang ingin berduaan dengan Arya?
'Tunggu ... apa Om Arga cemburu? Jika iya, apa artinya dia mulai menyukaiku dan melupakan Ibu?'
"Yah, bengong. Sudahlah. Aku akan kembali ke bagian admin dan minta pulang. Lagi pula kata dokter kamu hanya butuh istirahat dan makan yang banyak. Jangan biarkan badanku makin kurus, itu akan membuatku dipandang buruk oleh orang lain." Arga meninggalkan Anya yang terperangah melihat sikap pria itu.
Arga keluar kamar sambil merutuk dalam hati. "Ah, aku pasti terlihat seperti orang bodoh."
***
Yahya menjauh dari Mira saat mendapat panggilan telepon dari Admaja. Sedang Mira yang merasa curiga hanya mampu menajamkan pendengaran. Barangkali ada informasi yang didapat. Namun, Yahya berjalan terlalu menjauh, sementara ia harus masuk rumahnya.
"Ya, Tuan?" Yahya menyambut Admaja dengan hormat.
"Aku sudah ada di Inggris sekarang." Admaja menyahut.
"Ya."
"Kuserahkan semua rencana padamu."
"Baik, Tuan."
"Em, soal video itu, sudah saatnya kamu pertemukan antara Mira dan Arga. Provokasi wanita itu. Ini satu-satunya jalan memperuncing kebenciannya pada anak tiriku, Arya." Admaja memberi penekanan pada kata-katanya. Ia sudah terlalu lama mengulur waktu dan membiarkan Arya berbuat semaunya sendiri.
"Baik, Tuan."
Yahya menutup panggilan begitu Admaja memutus sambungannya. Ia sedikit terhenyak, saat Mira membuatnya terhenyak.
"Apa ada masalah, Pak? Sepertinya Tuan Admaja selalu memberi perintah."
"Maksud Bu Mira?" Yahya bertanya bingung. "Karena saya bawahan dan beliau adalah majikan saya. Bukannya wajar jika perintah terus datang dari beliau? Lagi pula saya bukan hanya bertanggungjawab terhadap kondisi Anda, tapi juga pekerjaan lain di kantor."
Mira manggut-manggut, tanda setuju pada alasan yang Yahya kemukakan. Ia merasa terlalu sensitif sekarang dan mencurigai semua orang.
"Oya, Bu Mira. Tidakkah Anda ingin melihat keadaan putri Anda. Em, sejujurnya saya melihatnya di rumah sakit tadi." Yahya mulai memancing emosi Mira seperti yang Admaja perintahkan.
"Anya?!"
"Betul. Kondisinya tampak serius. Tidak baik berlarut-larut membiarkan kekhawatiran Anda bertumpuk-tumpuk."
"Maksud Pak Yahya? Apa saya boleh menemuinya? Tapi bagaimana dengan Mas Arga? Anda tahu sendiri sikapnya seperti apa?"
"Em, kalau begitu gunakan alasan yang masuk akal selain ingin bertemu putri Anda."
"Alasan?"
"Yah," jawabnya sambil merogoh benda pipih di sakunya. "Anda bisa menggunakan video ini untuk alasan masuk rumah Tuan Arga."
"Anda benar. Tidak mungkin Anya keluar rumah itu tanpa izin dari Arga." Mira masuk dalam jebakan yang Yahya buat.
"Saya akan mengaturnya. Anda tenang saja, selama di bawah tanggung jawab saya, Bu Mira akan saya lindungi."
"Begitukah?" tanya Mira lagi. Yang kemudian disambut anggukan mantap Yahya.
Mira berpikir keras karena ucapan manajer itu. Ia seperti mendapat suntikan energi untuk bisa bertemu putrinya.
***
Anya dan Arga disambut hangat oleh Bi Minah dan dua asistennya. Mereka tergopoh-gopoh menghampiri majikan yang baru tiba dari rumah sakit.
"Wah, sudah pulang Nyonya." Bi Minah mengambil alih tas kecil yang Anya pegang.
Anya tersenyum. Akhirnya di rumah yang besar tersebut, akan ada penghuni lain yang berhati hangat dan bisa ia ajak bicara.
"Terima kasih, Bi. Kenalkan saya Anya. Istrinya ....." Ucapan itu berhenti, ketika ia menoleh dan mendapati wajah Arga yang memasang ekspresi entah.
Bi Minah melirik pada Arga, dari sana wanita paruh baya itu memahami kecanggungan Anya.
"Oh, ya Nyonya. Mari saya antar ke kamar." Lekas ia bertindak.
"Terimakasih," ucap Anya lagi.
"Anda tak perlu terus mengucap terimakasih, ini adalah tugas kami."
Keduanya berjalan bersisian dengan posisi tangan Bi Minah memeluk Anya. Diikuti atu asistennya dan Arga yang membawa ransel milik Anya. Istri Arga itu terus tersenyum. Setelah hampir dua pekan, hari ini ia terus mendapat kejutan dari Arga. Melihat sikap kejam suaminya itu, ia tak berpikir bahwa Arga akan berbuat banyak untuknya. Dari sapaan di pagi hari, asisten dan kabar bahwa ia telah hamil.
Saat telah sampai di separuh tangga, Arga menghentikan langkah karena sakunya bergetar lantaran ada panggilan. Begitu melihat nama seseorang ia segera kembali turun untuk menjawab ponselnya.
Anya melirik sekilas, ada perasaan tak suka juga curiga. Namun, ia tetap senang karena suasana hatinya sedang bagus.
Sedang Arya yang datang dari arah dapur dengan sebotol air mineral dingin di tangannya, melihat Arga tergesa mengangkat telepon. Setelah ia melihat wajah Anya yang tengah tersenyum langkahnya mengekor Arga.
"Ya, bagaimana keadaanya? Dia baik-baik saja, bukan?" Arga terlihat cemas dengan keadaan seseorang.
....
"Awasi dan terus laporkan apapun itu," titahnya lagi ada orang di ujung telepon.
Arya yang mendengar perbincangan itu tersenyum sinis dari balik tiang besar.
"Jadi begini caramu bermain? Jika memang kamu tak menyukai istrimu biar aku yang membahagiakannya. Orang baik itu untuk dibahagiakan, Dik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
Fiksi UmumHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...