"Ada apa, Om?" Anya sangat penasaran ketika nama ibunya disebut.
Arga menutup telepon. Merespon pertanyaan Anya kemudian. "An ... Ibu kamu pernah terlibat proyek perusahaan di Bukit Tinggi."
"Sebentar." Anya tampak berpikir. "Itu salah satu proyek yang viral di medsos karena cuitan Psycho Man dan banyaknya berita dari korban masyarakat sekitar."
"Betul, proyek itu juga yang tadi siang kubatalkan atas laporan Max."
"Jadi ibu pelakunya ...?"
"Bukan, bukan seperti itu, An. Ibumu yang dulu menjabat jadi manajer dan mengahndle banyak hal saat aku dan papa tidak ada, lebih tepatnya saat kami sedang mengerjakan yang lain. Ibumu tahu bahwa proyek itu merugikan banyak pihak makanya dicancle. Yang jadi masalah sekarang, kejadian tersebut hampir berbarengan dengan kasus perkosaan yang menimpanya di kamar hotel."
"Lalu?" Anya sangat antusias.
Kecemasan mulai bergelayut dalam pikiran. Jika dua kasus tersebut ada kaitannya, bukankah ibunya sekarang ada dalam bahaya. Sebab, kasus Bukit Tinggi melibatkan orang-orang besar di dalamnya. Area yang luas itu tidak mungkin bisa dibebaskan tanpa kongkalikong antara pejabat setempat dan para kapitalis.
Lebih lagi, dia pengikut Psycho Man yang seringkali menyajikan artikel mengenai proyek-proyek dari pejabat dan pengusaha hitam terkait.
"Aku pikir tadinya pelaku perkosaan itu Arya. Tapi sekarang mereka ada di posisi yang sama. Sama-sama menentang proyek tersebut. Mungkin kah papa?" Dahi Arga mengerut, tanda ia berpikir sangat keras.
"Om, aku harus menemui ibu."
"Kamu? Kenapa?" Arga heran saat Anya mengucap sesuatu dengan wajah bingung dan cemas.
"Om. Ibu dalam bahaya. Bayangkan jika orang di balik proyek itu tega menghancurkan hidup ibu dengan mengirim pemerkosa ... apalagi sekarang? Ibu melaporkan kasusnya, bersamaan ditangkapnya Psycho Man. Bukan kah dua hal ini sangat berkaitan? Jika penyelidikan dilakukan tak akan lama ibu akan buka mulut mengenai dua kasus itu secara bersamaan. Aku yakin orang-orang besar itu tidak akan tinggal diam."
Dua alis Arga tertaut. Sekali pun ia tak pernah memikirkan itu. Namun, sangat disayangkan jika papanya terlibat. Arga menggeleng. Menepis pikiran buruk tentang sang papa. Bukan kah pria itu selama ini selalu berusaha bersikap baik, bahkan berusaha mendamaikan dirinya dengan Arya.
"Kamu benar, An. Ayo kita pergi!"
"Tapi ... kita tidak tau ibu di mana? Ibu tidak memberitahu tempat tinggalnya. Bahkan nomornya juga tak bisa dihubungi."
"An, tidak usah pikirkan itu. Aku tahu semuanya. Cepat bersiap." Arga sudah berdiri di depan lemari besar kamarnya dan memakai jaket.
"Tahu?" Anya semakin bingung. Senang dan kecewa berkelindan sekaligus.
Senang lantaran tak akan sulit datang pada Mira. Kecewa, karena cemburu, lantaran selama ini Arga mengikuti kehidupan ibunya secara diam-diam. Yang artinya pria itu memilki perasaan begitu dalam pada Mira. Meski di luar Arga terlihat sangat membenci ibunya.
"An. Kenapa diam saja? Cepat!"
"Em, yah." Anya menjawab lemah. Arga yang memperhatikan wajah sang istri mulai sadar apa yang membuatnya berubah ekspresi.
Arga mendekat pada Anya yang mulai sibuk memakai gamis untuk menutup pakaian dalamnya.
"An, maaf. Itu masa lalu. Bukan kah semua sudah clear tadi."
"Hem." Ia menjawab lemah. Mana bisa ia menutupi perasaan cemburunya? Ini menyakitkan. Anya harus cemburu pada wanita yang paling dicintai.
Saat mengenakan khimar, Arga menutup kan jaket ke tubuh Anya lalu melingkarkan tangan dari belakang, hingga posisinya memeluk. "Sudah kubilang, aku hanya pernah menyentuhmu. Perasaanku pada Mira juga sudah hilang sepenuhnya. Apa kamu masih meragukan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
General FictionHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...