Mungkin hidup yang Arya jalani adalah berat, tapi bagi Arga hidupnya jauh lebih berat. Setidaknya Arya bisa merasakan saling mencintai hingga maut memisahkan mereka. Berbagi cinta dan saling berkorban. Tidak sepertinya yang selalu saja gagal dan menelan rasa sakit dikhianati.
???
Anya menuruni anak-anak tangga dengan perasaan senang. Akhirnya apa yang diharapkan terjadi. Kehamilan. Bisa saja hal itu memperbaiki semua masalah yang terjadi antara dirinya, Arga dan Mira. Dengan itu juga, ia juga lebih cepat move on dari Irham. Pria yang bahkan sampai detik ini menghuni sebagian hatinya.
'Semoga saja Om Arga lebih memandangku dengan adanya anak di antara kami. Dengan begitu aku bisa belajar mencintainya,' doanya dalam hati.
Sampai di lantai bawah, diedarkan pandangan mencari seseorang. Tak menemukan yang dicari, ia pergi ke samping rumah.
"Huft. Capek." Wanita yang mengenakan daster dan khimar lebar itu membuang napas kasar. Rumah yang ia tempati memang luas, sangat luas malah. Lima kali lebih luas dari rumah sebelumnya.
"Ya Allah, aku seperti mengelilingi lapangan bola." Napas Anya mulai tak beraturan karena lelah.
Namun, tak berapa lama rasa lelahnya terbayar begitu melihat sosok Bi Minah yang tengah menejemur karpet di halaman samping.
Langkahnya tertahan, saat tiba-tiba Arya berdiri di depannya.
"Allah!" serunya terkejut. Kenapa tanpa permisi, Arya mendadak ada di sana, ia merutuki kakak iparnya dalam hati.
"Mau ke mana?" Lelaki yang mengenakan kaos hitam dipadu celana sport selutut menoleh menatap Anya.
"Em, saya ... em aku."
"Santai saja, kita kan keluarga. Jangan bicara formal padaku. Kamu tau, itu menyinggungku, Nona." Kepala Arya sedikit menunduk, hingga wajahnya mendekat pada Anya, yang membuat peremuan itu sontak mundur ke belakang.
"Em, maaf. Aku ada perlu dengan Bi Minah." Anya segera pergi karena menghindari interaksi intens dengan iparnya.
Arya menggedikkan bahu. Hatinya bertanya, apa ia terlalu agresif hingga membuat adiknya itu takut? Ditatapnya dua wanita yang terlihat serius bicara di ruang kecil ujung teras. Lalu melangkah pergi karena ada hal lain yang mesti dikerjakan di kamar.
"Ada apa, Non? Apa ada masalah dengan Tuan Arya?" Bi Minah yang sempat melihat dua orang bicara di kejauhan, jadi penasaran apa yang terjadi. Mungkin kah ada sangkut paut dengan dirinya sebagai pelayan di rumah ini.
"Wah, nggak, Bi. Dia cuma basa-basi menyapa." Anya meringis.
Untuk level Arya, pria itu termasuk pria baik baginya. Peduli saat ia tiba-tiba jatuh sakit. Dan yang paling penting, Arya bukan tipe pria kurang ajar yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Belum lagi, saat berbicara dengan Arga di rumah sakit kemarin, Arya terkesan tanggung jawab dan lebih dewasa. Tak sadar, ia mengagumi kakak iparnya itu.
"Oh ...." Bi Minah membulatkan mulutnya. "Kalau begitu, apa Non perlu sesuatu dari saya?"
"Iya, Bi. Maaf sudah mengganggu Bibi."
"Ah, Non. Ini kan memang tugas saya di sini." Bi Minah segera menyelesaikan pekerjaan terakhirnya. Mengibas-ngibaskan tangan seolah membersihkan sesuatu di sana.
"Em, yah. Bi. Bibi tau kan Om Arga tidak memperbolehkanku keluar." Anya mengeluh dengan kondisinya.
"Iya, Non. Tapi bukannya sekarang tidak apa-apa. Karena Mas Arga tidak di rumah." Bi Minah mengedarkan pandangan dengan kepala digerakkan seolah sedang mencari sosok Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
Fiction généraleHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...