"Maaf ada yang bisa kami bantu?" tanya Arga begitu mendekat pada tamu-tamunya.
Polisi menyodorkan surat yang dibawa pada sang pemilik rumah. Arga meraihnya dengan mata memicing. Memfokuskan pandangan, sekilas ia terhenyak ketika mendapati sebuah nama. Surat tersebut ditujukan untuk Arya, kakaknya.
"Eum. Arya?" Arga bingung akan menanyakan apa pada pembawa surat.
"Yah, ada seseorang yang melaporkan bahwa beliau buronan yang menggunakan nama Psyco Man." Salah seorang polisi menjawab.
"Psyco Man?" Arga makin terkejut. Begitu pun Anya yang ada di belakangnya. "Tap-tapi ... apa ada bukti?"
Begitu pun Anya. Matanya melebar. Tak menyangka jika penulis yang ia kagumi selama ini ada di dekatnya. Mereka bahkan tinggal satu atap.
"Hem. Kami juga dapat surat izin penggeledahan. Kalau begitu boleh kami masuk?" sambung polisi.
"Oh ... tapi kakak saya sedang tidak berada di rumah." Arga menyampaikan keberatan.
"Maaf, ini perintah." Polisi kembali bicara. Mau tak mau Arga harus memberi izin pada mereka.
Arga menggaruk kepala tak gatal karena bingung sekaligus gelisah. Polisi meminta izin masuk tapi juga memaksa meski Arya sedang ke luar. Tadinya dipikir yang datang adalah polisi yang membawanya atas keterlibatan kasus Mira. Ternyata bukan. Namun, tetap saja itu adalah masalah baginya.
Polisi berjalan, melewati keduanya sambil bertanya di sebelah mana kamar milik Psyco Man?
Ternyata tidak hanya dua polisi, setelah salah satu dari mereka menghubungi seseorang, tiga polisi lain yang tidak mengenakan seragam datang dari luar.
***
Arya berusaha tenang atas pertemuan yang diatur mamanya. Setelah Nyonya Admaja bicara ke sana ke mari dengan temannya, kini tiba saatnya dua wanita paruh baya itu meminta pendapat keduanya.
"Gimana, Ya? Maura cantik bukan?" tanya sang mama yang membuat Arya tak enak sendiri lebih di depan anak dan ibu yang berada satu meja dengannya.
Sementara Maura menatap malu-malu.
"Eum, ya, Ma." Arya menjawab sambil menyeruput minuman agar tak kelihatan canggung.
"Arya ini selain suka menulis punya bisnis. Kafenya ada beberapa cabang." Mama Arya sangat bersemangat bercerita.
Tak mau kehilangan kesempatan mendapat gadis sebaik Maura. Bukan hanya wanita terpelajar, gadis itu juga bukan gadis bebas. Selama ini waktunya habis digunakan belajar dan tak sempat bergaul bebas seperti wanita kebanyakan.
"Mama bisa aja. Aku kan pengangguran." Arya tersenyum canggung, sambil menyuap cake ke mulutnya. Dari ekor mata ia melihat Maura tengah mencuri pandang ke arahnya. Satu sudut bibirnya terangkat karena itu.
Pipi gadis itu memerah. Ia tersipu menatap pria setampan Arya yang kini bermaksud dijodohkan dengannya. Arya geleng-geleng. Benar rupanya, lama tak melihat pria, bisa membuat wanita sensitif dan gede rasa.
"Maura belum menekuni bisnis, ada bisnis keluarga. Tapi dia lebih suka terjun ke dunia pendidikan. Sekarang sudah masuk tahun pertamanya jadi dosen di UI." Ibu Maura tak kalah memuji anaknya. Sedang Maura menyenggol ibunya, ia malu terlalu dipuji berlebihan di depan pria.
"Wah, luar biasa ... cocok sekali antara Maura dan Arya kalau begitu." Nyonya Admaja menimpali.
Ponsel Arya berdering. Mata pria itu melebar mendapati siapa yang memanggilnya. "Tumnben Arga telepon? Atau dia salah sambung?" lirihnya yang membuat fokus sang mama ikut beralih ke arahnya, ketika nama Arga disebut.
"Ada apa, Ya?"
Tak menjawab, Arya segera mengangkat panggilan untuk tahu apa yang tengah terjadi.
"Hallo."
"Buruan pulang, deh. Polisi sedang di rumh ngobrak-ngabrik kamar kamu." Arga mengucap singkat dan mematikannya tanpa sempat Arya mengklarifikasi.
"Hallo, Ga? Argh, shit!" Arya menyimpan kembali ponselnya. Tiga wanita yang bersamanya ikut panik melihat ekspresi pria tersebut.
"Ya?"
"Ma, kita harus bergegas!" ucap Arya sembari memasukkan ponsel ke saku, dan merogoh kunci mobil dari saku lainnya.
"Eum. Jeng, Maura maaf ya. Lain kali mari kita sambung." Nyonya Admaja akhirnya berpamitan, meski ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Anya dan Arga pasrah. Membiarkan polisi-polisi mengobrak-abrik kamar kakak mereka.
Sekitar lima belas menit setelahnya, Arya dan sang mama datang. Pria itu berlari ke kamar, sementara Nyonya Admaja bergabung dengan Arga dan menantunya.
"Pak, ada apa ini?" Arya tak terima kamarnya menjadi sangat berantakan.
Belum lagi menjawab, seorang komandan team memberi isyarat pada anak buahnya agar menangkap Arya. Detik kemudian, seseorang mengalungkan borgol ke kedua pergelangan pria yang mereka anggap bersalah.
"Tolong tenang dan bekerjasama dengan pihak berwajib."
"Atas dasar apa Anda menangkap saya?" Arya mengangkat dua tangannya yang diborgol.
"Lihat! Anda menyalahgunakan sosial media untuk memprovokasi orang lain dan menyebar berita bohong yang merugikan banyak pihak." Suara sang komandan meninggi melihat Arya yang tak menunjukkan
"Apa?" Di saat itu Arya baru sadar, bahwa salah satu orang yang dipercaya mengkhianatinya.
Kini Arya hanya bisa mendesah pasrah. Menatap dengan lesu saat buku-buku miliknya di sita. Sementara komandan tersebut memiringkan senyum.
"Buka saja semuanya, tidak ada bom di sana," ketus Arya.
"Anda tahu, sebuah tulisan akan lebih berbahaya dibanding bom yang anda lempar ke tengah kerumunan. Jika bom itu menghancurkan tubuh beberapa orang, tapi tulisan anda bisa merusak otak jutaan orang di luar sana untuk anarkis." Pemimpin regu tersebut menyahut cepat pernyataan Arya.
Arya mendecih. Ia sudah merasa ada di jalur yang benar. Untuk apa lagi takut?
Di ambang pintu kamar, Nyonya Admaja tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Beberapa kali melongok ke dalam, memastikan polisi tak menyakiti Arya. Sebagaimana ia melihat banyak adegan tersebut di video-video viral.
Anya berusaha menenangkan ibu mertua dengan merangkulnya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ada pihak yang melaporkan ini? Aku perlu bicara pada asosiasi kerja sekarang." Arga seolah bicara sendiri, tapi suara itu jelas-jelas didengar oleh Anya dan mamanya sebelum langkahnya meninggalkan mereka.
Ketika semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing, tiga orang yang juga bagian anggota polisi datang. Seolah mereka tertinggal dari investigasi timnya. Ketiganya berjalan melewati Anya dan mertua yang berdiri di depan pintu. Mereka memperlihatkan surat kedua pada sang komandan. Tampak saling tatap seolah tengah bicara hanya dengan tatapan mata.
Usai membaca lembaryang dibawa anak buahnya, sang komandan berjalan ke luar. Ada tugas lain yang perlu dituntaskan.
Anya dan Nyonya Admaja kini saling pandang, mereka ikut bingung menangkap sikap aneh polisi-polisi tersebut.
"Em, Tuan Arga!" seru komandan tim. Arga yang tengah menelepon menoleh seketika.
"Ya?" Arga pun menutup panggilan karena dirasa ada yang penting akan disampaikan padanya. Ia kemudian mendekat pada pria yang memakai seragam tersebut.
"Apa ini anda?" Sebuah video yang diputar disodorkan polisi.
Arga melihatnya dnegan seksama. Begitupun Anya dan Nyonya Admaja yang mendekat karena penasaran. Istri Arga melebarkan mata dan menutup mulutnya kaget melihat Arga yang tertangkap kamera keluar dari kamar hotel.
"Kami mendapat video ini dari Ibu Mira, yang melaporkannya kasusnya." Suara polisi terkesan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
General FictionHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...