Pikirannya mengawang, berputar saat mendapati sang papa dengan liciknya mengatur rencana. Pria tua itu dengan ringan menyuap banyak pejabat demi meloloskan tender. Tentu hal tersebut sangat berimbas pada kehidupan masyarakat kecil yang tinggal di sekitar proyek. Belum lagi kebijakan-kebijakan pesanan yang, hanya menguntungkan pihak kapitalis dan mencekik rakyat.
***
Melihat musuh bebuyutannya datang, tanpa basa-basi Arga menutup pintu kayu besar yang berukir bunga bunga lily. Namun, satu kaki Arya sudah mengganjal agar pintu tak tertutup.
"Apa maumu? Pergilah sebelum aku berbuat kasar," usir Arga dengan nada datar. Ia yakin kedatangan saudaranya akan menimbulkan banyak masalah di dekatnya.
"Anda lupa, ini juga rumahku." Arya mengucap sembari menarik sebuah kertas dari kantong. Pria itu sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan Arga perbuat untuk menolaknya. Ia buka kertas tebal bertuliskan hak kepemilikan sebuah properti untuk menegaskan pernyataan.
"Heh!" Arga tersenyum muak. Tak ada yang mampu diperbuat sekarang. Arya benar-benar licik. Apa maunya pria yang sering buat onar di rumahnya sekarang? Apa karena berita perkawinannya dengan Anya yang membuat pria yang lebih tua darinya itu penasaran? Apa Arya pikir rumah tangganya sangat bahagia hingga ia perlu datang untuk menghancurkannya?
"Aku ke sini atas permintaan papa?" tandas Arya sambil memasukkan kertas kembali ke saku. Satu kakinya masih mengganjal pintu.
Kesal Arga membuka cepat pintu yang ia dorong hingga Arya terhuyung jatuh ke lantai.
"Heh! Sejak kapan pria brengsek sepertimu jadi anak berbakti?" ucapnya sambil melangkah pergi meninggalkan sang Kakak yang mengaduh kesakitan.
"Dasar sial! Jaga ucapanmu adik tak tau diri!" seru Arya pada Arga yang sudah berjalan menjauh menaiki tangga.
Mendengar suara ribut-ribut, Anya yang sebelumnya bicara dengan seseorang di dalam kamar tamu segera ke luar mencari tahu apa yang terjadi?
Matanya menyipit heran saat seorang pria berusaha berdiri dengan memegang gagang koper di tangan.
"Hai," sapa Arya sambil meringis. "Pembantu ya?"
"Siapa?" Anya seketika memegangi kerudung pendek yang hanya menutup dada.
"Kenalkan, aku Arya pemilik rumah ini sekaligus majikan Mbak yang baru." Arya mengulurkan tangan kanan. Ia sampai mengangkat alis karena wanita itu tak merespon.
Dahi Anya mengerut. Pria ini tampak aneh dengan ucapannya yang tak jelas. Merasa risih ia memilih pergi ke atas, tanpa bicara lebih lama dengan orang asing di hadapannya.
"Huft, ya sudah." Arya mengusap tangannya ke baju yang ia kenakan. "Pembantu jaman sekarang sombong-sombong." Tak pikir panjang, ia berjalan ke kamar tamu untuk meletakkan barang yang dibawanya.
"Cantik juga itu cewek. Diam-diam adikku itu nakal. Nikah dengan tante-tante tapi cari yang muda untuk dipekerjakan," racaunya selagi mengeluarkan barang-barang miliknya dari dalam koper. "Kenapa aku katakan dia cantik? Hemh, ck, ini mungkin efek gak nikah-nikah." Ia memiringkan senyum.
Arya menggeleng, menertawakan kondisinya yang selalu gagal menjalin hubungan. Hingga ia masih membujang di usianya sekarang.
"Heum. Ke mari lah anak-anakku sayang. Papa akan menidurkan kalian di tempat yang nyaman." Arya meletakkan buku-buku yang ia terbitkan di atas meja. Ia yang seorang penulis, sangat hati-hati memperlakukan buku-buku miliknya sendiri atau pun yang dikoleksi dari penulis kesayangannya.
"Hem, apa aku perlu membukukan kisah hidup keluargaku, sepertinya akan seru. Hemh." Arya memriringkan senyum. Merasa miris hidup di tengah keluarga yang rakus dalam hal harta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
Ficção GeralHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...