Anya tidak bisa menyembunyikan lagi kecemasannya. Wanita itu mendesah lelah. Baru saja akan bahagia bersama Arga yang mencintainya, kini datang lagi masalah baru yang tak bisa dikata kecil.
"Pak, apartemen itu adalah tempat tinggal ibu saya." Anya menggebu mengatakan pada polisi. Ia sangat takut jika mayat tersebut adalah ibunya, Mira.
"Ibu Mira yang anda laporkan hilang?" Polisi mengerutkan kening. Rasanya aneh, jika yang dipikirkan polisi itu adalah benar. Ya, ini sebuah kebetulan yang aneh.
"Iya." Cepat Anya menjawab, seiring langkah Arga yang mendekat padanya.
Tak mampu membayangkan hal buruk mengenai Mira, waanita yang memakai jaket menutupi gamis dan khimar lebarnya itu akhirnya menangis.
"Tolong, segera proses! Ini bukan hal main-main," pinta Arga yang sudah berdiri bersebelahan dengan Anya menghadap polisi.
"Ya tentu saja." Polisi menjawab mantap. "Baik. Ndan! Jon!" Polisi tampak berseru pada rekannya di dalam.
Namun, Arga terkejut saat wanita di sampingnya tiba-tiba hilang dari pandangan. Kala berbalik, istrinya sudah berlari mencapai pintu.
"Ishhh. Anak itu!" Arga mendesis kesal. Anya pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Tak pikir panjang, kaki panjangnya bergerak mengejar wanitanya ke luar ruangan.
Sementara Arya yang duduk dengan tangan terborgol, disisi ruangan lain hanya bisa menatap kepergian sang adik tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pria yang memiliki jambang halus menutupis sebagian pipi itu kini mengarahkan pandangan pada polisi di seberang meja, yang sedari tadi menginterogasi.
"Pak. Sampai kapan aku akan diperlakukan seperti ini? Lihatlah ... keluargaku dalam bahaya."
"Cihh." Petugas tersebut mendecih. Lucu sekali orang di hadapannya.
Jelas-jelas dia baru digelandang ke kantor polisi, sekarang sudah mempertanyakan kebebasan.
"Ada banyak proses dan prosedur yang harus dilalui dalam kasus. Kecuali ...."
"Kecuali ....?" Arya penasaran. Polisi itu pasti minta uang sogokan.
"Kecuali ada orang dalam yang anda kenal."
"Heh!" Arya memiringkan senyum. Sudah ia duga. Lagi-lagi soal uang dan kekuasaan.
"Nanti lah Tuan Psycho! Apa anda tidak ingin menikmati hangatnya hotel prodeo kami."
"Hahah. Omong kosong! Anda pasti tidak nonton konten saya yang menyiarkan kelas elit dalam lapas."
"Ya ... saya melihatnya. Makanya saya tidak munafik dan terang-terangan pada anda." Polisi tersenyum menang. Tak ada gunanya menutupi sesuatu dari seseorang yang sudah mengetahuinya. Buang-buang waktu dan tenaga untuk berakting.
Arya tersenyum sinis menanggapi.
"Em, begini saja. Anda sewa pengacara terbaik. Saya tidak punya masalah dengan anda, bagaimana kalo ... saya bantu." Petugas tersebut berbisik.
"Hahaha." Arya tertawa lepas. Ia terlalu muak melihat kelakuan oknum aparat tersebut.
Tawanya berhenti, kala suara seorang wanita yang sangat familiar mendekat.
"Arya, kamu gak papa, Nak." Saat menoleh sang mama sudah berdiri menatapnya.
"Mama?"
"Iya, mama sudah bicara pada papa." Nyonya Admaja memegangi dua pundak Arya sebagai bentuk dukungan.
"Papa?!" Satu sudut bibir Arya terangkat. "Untuk apa Mama menghubungnya?" protesnya pada wanita yang melahirkannya tersebut.
"Mama akan lakukan apa pun demi kamu bisa keluar dari tempat ini, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
Narrativa generaleHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...