"Bersabarlah, An ... karena waktu akan menghapus semua kesedihanmu!"
💔💔💔
Air mata Mira luruh tak terbendung. Ia terus mengusap pundaknya, seolah tangan pria bejat itu masih berada di sana menodai setiap jengkal kehormatan dan harga dirinya.
"Bagaimana aku akan hidup, Tuan?" tanya Mira pada Admatja tanpa melihat pada lawan bicaranya itu.
"Tenang lah, Mir. Selama kamu tidak hamil bukan kah tidak jadi masalah?!" Admatja berusaha menghibur agar Mira tenang.
"Tapi bagaimana jika saya hamil? Apa Mas Arga mau menerimaku? Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Wanita itu dipenuhi ketakutan yang besar. Ia begitu mencintai Arga. Apa jadinya jika ia kehilangan pria itu?
"Tenang lah, Mir. Semua akan baik-baik saja. Kita tidak tahu selama itu belum terjadi."
Tuan Admatja menghela napas beberapa kali. Semua sudah disusun dengan matang, kehadiran Mira akan semakin mengukuhkan kekuasaan lewat tangan Arga. Bukan hanya pekerja keras, Mira dikenal pandai melobi investor. Keberadaan wanita itu akan menjadikan keluarga mereka menjadi pebisnis yang sempurna. Mengingat anak pertamanya tidak bisa diandalkan dan selalu menimbulkan masalah.Admatja menggeleng cepat, ketika sadar dari mengingat saat di mana Mira meminta bantuannya dulu. Ia sendiri bahkan tak yakin jika Mira tidak hamil, dan Arga mau dengan tulus menerimanya. Benar saja, entah bagaimana ceritanya, posisi Mira digantikan perempuan lain yang tak lain adalah anak wanita itu.
Seorang pria duduk dengan santai, ia berniat membakar rokok hingga habis. Namun, baru separuh disesapnya pria lain yang usianya jauh lebih tua datang. Dengan gusar yang ia sembunyikan, Arya mematikan rokok di tangan dengan menekan hingga hancur di dalam asbak.
"Apa kamu sudah menemui Arga dan istrinya?" Pria yang datang duduk dengan tenang di kursi lain tak jauh dari anaknya. Tangan keriput Admatja memegang gelas berisi air putih yang baru ia tuang dari ketel di atas meja di depannya.
"Kenapa?" Arya menoleh pelan. "Apa Papa takut aku akan merusak kebahagiaan Arga sekarang?" tanya Arya, harga dirinya seringkali merasa terlukai tatkala orang tuanya membahas keberadaan antara dirinya dengan Arga. Sekali saja dibandingkan membuatnya membenci keadaan sendiri, juga sikap keluarga yang menurutnya selalu merendahkannya.
"Kamu salah paham, Ya. Papa dan mama hanya tidak mau kalian terus berperang seperti sekarang. Walau bagaimana kalian adalah saudara. Apa menurutmu menjaga perasaan kami tidak penting. Lihatlah kondisi kesehatan mamamu juga!"
"Cukup. Pa! Aku tahu betul maksud kalian, lebih maksud Papa. Semua ini bukan demi hubungan baik keluarga, tapi lebih pada bisnis keluarga. Benar kan?" protes Arya.
Kini ia bangkit. Memilih menghindari papanya yang menurutnya terlalu ambisius dalam hal harta. Entah, berapa banyak pejabat yang menjadi kacungnya sekarang. Mereka yang melanggengkan kekuasaan keluarga Admatja dengan melegalkan kebijakan-kebijakan pesanan yang merugikan rakyat kecil. Lalu, kini kepentingan itu merambah ke hal pribadi Arga. Bukankah perbuatan papanya lebih kejam dibanding sikap yang ia ambil sebagai saudara untuk Arga?
Lagi pula Arya bukan lah Arga. Yang dengan polosnya bisa tertipu permainan sang papa. Ia tahu betul bagaimana strategi yang Admatja mainkan, hanya saja setiap kali ingin mengutarakan pada Arga justru berakhir dengan permusuhan di antara mereka. Arya bahkan sudah kehabisan akal bagaimana cara mendekati saudaranya tanpa menjatuhkan harga dirinya lagi.
"Tahu apa kamu tentang bisnis keluarga?" Admatja geram mengingat selama ini, Arya memilih menjadi orang bebas tanpa mau ikut terus mengurus bisnis keluarganya.
"Sudahlah. Terserah saja. Aku akan tinggal di apartemen," ucap Arya pelan sembari menyambar kunci mobil dan jas untuk menutup kemeja yang membalut tubuh kekarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
BeletrieHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...