Tak ingin Anya melihat semua perseteruan dan perang dingin dalam keluarga mereka, hingga ia memilih menyudahi ucapannya dan pergi. Mengalah bukan berarti kalah, sebab seringkali hal itu lebih baik demi menjaga suasana hati antara mereka.
***
"Tutup mulutmu, aku ada di sini karena suaminya tidak ada untuk menemaninya," sindir Arya, sembari membenahi barangnya.
"Aku punya alasan kenapa berbuat demikian, selain karena sibuk meeting orang yang memberiku kabar adalah orang yang tak bisa dipercaya ucapannya," kilah Arga. Yang hanya ditanggapi kakaknya dengan senyum sinis.
"Lalu, kamu?!" Kini tatapan Arga berpindah pada Anya yang kebingungan. Seolah akan mengalihkan target penyerangan.
Matanya menyipit melihat benda pipih di tangan sang istri, jika ia memegang ponsel kenapa tak menjawab panggilan darinya? Kalaupun dalam mode senyap, harusnya ia segera menghubungi begitu melihat banyak panggilan tak terjawab.
"Kenapa kamu tak menghubungiku, ha? Lihat berapa banyak panggilan tak terjawab dari nomorku! Apa kamu sengaja mengabaikanku karena masih marah?"
"Apa?" Sontak Anya menunduk, memandangi ponsel dan segera membukanya. Benar, ada lima lebih panggilan tak terjawab dari nomor Arga. "Ta-tapi, ponsel ini baru saja datang," jawabnya dengan ragu, takut Arga tak mempercayainya.
"Heh." Arya memiringkan senyum. "Selain temprament, otakmu juga mengalami masalah. Bagaimana bisa kamu berpikir seorang yang menahan sakit teramat sangat untuk menghubungi? Ckck."
"Itu ...." bantah Arga cepat. Namun, karena kebingungan alasan apa yang akan ia kemukakan, ucapannya tergantung. Ini kali pertama ia merasa bersalah dan menyesal tak mengangkat panggilan dari saudaranya.
Arya merasa menang karena itu. Ia geleng-geleng melihat Arga yang tak berhenti melakukan hal kekanak-kanakan.
"Sudahlah, Om. Yang penting sekarang semua baik-baik saja." Anya yang memahami suaminya terpojok segera menengahi. Ia tak mau Arga merasa direndahkan. Lagipula tak ada gunanya membahas masalah ini.
"Apa? Apa kamu ingin membelanya?" Kepalang tanggung, Arga tak mau Arya merasa di atas awan. Telunjuknya kini diarahkan pada Arya yang sudah siap pergi.
"Teruskan saja, ini masalah kalian." Arya menanggapi dengan enteng. Ia akan melangkah pergi, tapi tertahan saat Arga kembali melontarkan tuduhan.
"Kenapa kami? Masalah kami ada karena kamu! Kehadiranmu selalu saja membuatku kesusahan. Apa karena kamar VIP ini kamu jadi sombong dan berbuat seenaknya?" Arga mencari-cari celah untuk membuat Arya disalahkan. "Kalau dipikir hebat juga kamu, tidak bekerja dan bisnis tapi banyak uang seperti sekarang. Apa kamu mengambil akses keuangan perusahaan secara diam-diam?"
"Tutup mulutmu anak kecil!" Suara Arya kini mulai meninggi. Ia tak terima disebut sebagai maling. Sepeser pun dirinya tak pernah mengambil keuntungan dari perusahaan yang menurutnya berasal dari cara-cara kotor, mengambil hak orang miskin dan merugikan negara.
"Jangan samakan aku dengan papamu yang bisa berbuat apapun termasuk merampok dan mencuri demi keuntungan pribadi!"
"Apa?!" Arga melotot, tak terima Admaja dihina dengan tuduhan keji. Harusnya Arya tetap jadi anak baik, meski Admaja bukanlah ayah kandungnya. Rasanya sangat tidak etis, dengan alasan anak tiri menolak untuk bekerja sama membangun bisnis keluarga.
"Up to you, okey!" ucap Arya cuek. Ia sadar sudah mengucap keterlaluan mengenai Admaja, lebih ada adik iparnya di sana. Tak ingin Anya melihat semua perseteruan dan perang dingin dalam keluarga mereka, hingga memilih menyudahi ucapannya dan pergi. Mengalah bukan berarti kalah, sebab terkadang hal itu lebih baik demi suasana agar tetap kondusif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
General FictionHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...