Saat membuka pintu kamar, Ibu yang tertidur dengan duduk di lantai meletakkan kepala di sofa menghambur ke arahku. Melihat pakaian yang kukenakan berantakan dan kerudung tak beraturan.
Tapi kenapa Ibu ada di sini? Apa semalaman dia berada di depan kamarku dan tak kembali ke kamarnya sendiri?"An? Bagaimana?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Kamu gak papa kan?"
Aku diam, hanya menoleh kala suara gemericik air terdengar dari dalam. Apa maksud Om Arga, mandi di kamarku? Membuat Ibu cemburu?
Ibu melakukan hal sama, mencondongkan kepala seolah menajamkan pendengaran. wanita itu menghela napas kecewa. Dia pasti memikirkan malam pertama suaminya dengan puterinya ini.
"Sabar, ya. Ibu tak apa kamu menikah dengannya, An." Suara parau Ibu terdengar lemah.
"Bu, kalian sudah menikah! Carikan dalil untukku yang membolehkan seorang pria menikahi anak dari istrinya, sekalipun kalian bercerai?!" Suaraku meninggi.
Tak lama Om Arga keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk dan mengelap rambut. Pria itu lalu melempar handuk kecil ke wajah Ibuku dengan kasar. Ya Tuhan, belum pernah kulihat lelaki sebengis dia.
Pria itu berjalan melewati kami.
"Maafkan ibu, An. Ibu janji akan menceritakan semuanya padamu, tapi tidak sekarang. Menikahlah dengan om Arga. Kalian halal menikah meski kami sudah menikah."
"Tapi kenapa? Apa aku bukan anak Ibu?!" teriakku karena terkejut sekaligus penasaran. Kenapa kami halal menikah?
"An, ibu mohon. Jangan bilang begitu, kamu tau ibu manyayangimu lebih dari siapa pun. Ibu akan jelaskan semua. Tapi tidak sekarang, ceritanya sangat panjang. Dan ... kamu lihat betapa hancur ibumu sekarang!?" Ya Tuhan, bagaimana aku menghadapi ini. Setiap air mata yang keluar dari mata Ibu membuatku merasai sakit.
"Sampai kapan kalian akan terus bicara? Aku kehilangan banyak waktu, siang ini orang tua dan kolegaku akan berkumpul!" Om Arga terlihat kesal, dia telah kembali dengan pakaian rapi berdiri menyilang tangan di dada, muak sepertinya mendengar pembicaraan kami.
"Bu, tolong! Kami tak melakukan apa pun semalam, Om Arga tak perlu bertanggung jawab untukku!" Aku terus bicara. Tak peduli pada hardikan pria yang tak suka kami berlama-lama. "Lagi pula bagaimana kita menghadapi Mas Irham dan keluarganya? Mereka akan ke sini." Pria itu telah meminta izin pada Ibu beberapa waktu lalu untuk ke rumah dan membawa orang tuanya, secara resmi akan mengkhitbahku setelah taaruf satu bulan.
"Ini bukan hanya tentang kita dan keluarga kita, An. Tapi juga tentang keluarga besar Om Arga. Ibu telah berbuat salah. Jadi Ibu mohon lakukan apa yang Ibu katakan. Biar soal Irham dan keluarganya, Ibu yang menjelaskan pada mereka."
"Ibu mau menebus kesalahan Ibu dengan mengorbankanku!? Tidak Bu, Anya tidak mau!"
teriakku yang membuat Ibu tersentak.Aku memang tak pernah membantahnya selama ini, apalagi membentak seperti sekarang. Tapi kejadian ini membuatku gila! Kami tergugu beberapa saat. Sampai Ibu mengatakan sesuatu.
"Baik, An. Maafkan ibu. Ini salah ibu jadi ibulah yang harus bertanggung jawab," ucap Ibu serak sembari menghirup cairan di hidung dengan keras. Ia berbalik menghadap Om Arga."Mas, tolong jangan libatkan dia. Hukum saja aku." Ibu mengiba pada pria yang tampak sangat marah itu.
Om Arga kini berdiri tegak. Tangannya meraih kerah piama Ibu dan menatapnya dengan kebencian.
"Kalau begitu bersiaplah! Aku bisa saja membatalkan semua rencana yang kubuat. Tapi aku bersumpah akan membuatmu sangat menderita, sampai kamu akan melupakan anakmu itu! Dan aku bersumpah akan membuatmu merasakan sakitnya kehilangan janin! Itu bahkan belum sepadan dengan harga diri yang kamu injak-injak serta rasa sakit karena pengkhianatan dan kebohonganmu, lacur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
General FictionHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...