"Apa? Kenapa wajahmu begitu?" Arga menaikkan dua alisnya menangkap reaksi Anya. Pipi perempuan dalam pelukannya sudah serupa kepiting rebus karena malu.
"Sudah lah, lain kali hati-hati!" Arga mengucap pelan setelah melepas tubuh sang istri, lalu bergerak meninggalkan Anya ke tempat tidur, menarik selimut dan memilih tidur.
Dia sendiri merasa canggung dengan kejadian tadi. Biasa, tapi cukup membuat hatinya berdebar.
Anya berjalan ke kamar mandi untuk meletakkan pakaian kotor Arga, sambil memegangi pipinya yang menjalar rasa hangat di sana.
"Ya Allah, hamba berdebar."
Sebelum akhirnya ia pun memilih berbaring di ranjang dengan posisi dibelakangi oleh suaminya.
Disejajarkan antara kepala dan punggung hingga terasa nyaman. Tubuhnya menjadi rilex. Sesekali Anya menoleh, menatap punggung kokoh pria yang membuat jantungnya mulai berlompatan. Pasti akan menyenangkan jika sosok pria itu adalah lelaki yang tulus menyayanginya.
Tak peduli jika pada awalnya Anya tak memiliki perasaan apa pun pada sang suami, bukankah sebaik-baik jatuh cinta dan mencintai setelah ada pernikahan yang mengikat dua insan?
Pada akhirnya, ia harus menyerah pada takdir dan ketentuan Allah. Seburuk apapun jalan mempertemukan keduanya dalam ikatan pernikahan.
'Dan aku memutuskan untuk menerimamu, Om. Aku ingin mencintaimu karena Allah. Ayo kita sama-sama belajar dan saling mencintai.'
Andai bisa mengatakan secara langsung pada Arga. Anya hanya mampu mengucap dalam hati. Selain jaga image, juga ia tak yakin keinginannya tidak menimbulkan kemarahan pada diri Arga. Mengingat dalam benaknya, lelaki itu lebih diingat sebagai sosok yang 'pemarah' dibanding pria yang hangat.
'Semoga dendam itu segera lenyap tak bersisa. Semoga Om Arga tak lagi memiliki rasa pada Ibu. Semoga Om Arga mau belajar mencintaiku dan anaknya dalam kandunganku. Semoga ...."
Baru akan memejamkan mata, Anya kembali membukanya lebar. Ada pergerakan dari orang di sebelahnya. Saat menoleh, Arga sudah tidur dalam posisi miring menatapnya.
Mata Anya melebar, lalu membuang pandang ke langit-langit kamar. Memegangi selimut erat karena gugup. Ia berusaha menyembunyikan dan mengendalikan gemuruh dalam hatinya.
"Apa ... kamu sudah pastikan kalau alat yang kamu gunakan bekerja dengan benar?" Arga bertanya pelan. Lega, bisa memuaskan rasa penasarannya. Walau bagaimana ia tak bisa mengabaikan anak dalam kandungan perempuan yang tidur seranjang dengannya.
"Iya." Anya menoleh sebentar lalu kembali menatap langit-langit. Baru saja ia membuat permohonan, kini Arga mulai perhatian.
"Hem." Arga menelan saliva. Kerongkongannya terasa kering. "Apa kamu tidak menyesal?"
"Menyesal?"
"He'em."
"Aku ... aku senang akhirnya hamil."
"Senang? Heh." Arga kini tersenyum miring.
"Kenapa? Apa aku salah?" Kini Anya benar-benar menoleh menatap lekat pria yang menurutnya merespon kasar padanya.
"Yah, terserahlah!" Arga berbalik. Mengubah posisi tidurnya menghadap ke atas. Membuat Anya heran mengerutkan kening, karena belum bisa memahami kemauan Arga.
"Kita tidak melakukannya atas dasar suka sama suka. Aku menjadikanmu pelampiasan kemarahan. Memaksamu, sebagai ajang balas dendam.
"Aku sudah berusaha menerima takdirku, Om." Anya kembali menbuang pandangan ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naik Ranjang CEO
Aktuelle LiteraturHari ini sungguh melelahkan. Baru saja akan memejamkan mata, aku harus bangkit dan menyibak selimut tatkala mendengar suara ribut di depan kamar. "Anya, keluar lah!" Suara bariton pria yang baru saja sah menajdi suami ibuku itu berteriak di depan p...