Pilihan yang Menyiksa

3.7K 120 3
                                    

"Menyiksa orang baik itu seperti melukai diri sendiri. Hanya meninggalkan sesal dan rasa bersalah di hati."

***

Irham larut dalam pikirannya. Ia terlalu rindu pada Anya. Gadis yang sudah merebut perhatian dan impian.

Suara petir menggelegar, Irham tersentak dari pikiran bodohnya menyetubuhi istri orang lain. Sadar semua hanya bayangan, ia lempar ponsel yang menampakkan sosok Anya di sana. Ponsel itu menghantup dinding hingga retak.

"Argh! Arga BRENGSEKKK!"

Kenapa setelah memintanya datang, Anya mengirim pesan agar Irham pergi?

Jelas-jelas Anya menderita di rumah itu, kenapa ia tak mau ikut pergi dengannya? Kenapa cepat sekali pikirannnya berubah? Sudah ia buang harga diri dan rasa takut, tapi bukan mendapati Anya ada di sisinya, malah rasa sakit yang ia rasa berlipat-lipat.

"Apa yang musti kulakukan sekarang, An? Meminta penjelasan dan ketegasanmu?"

Mata pria itu menerobos kaca hingga tampak bayangan bunga yang tumbuh rapi di pagar halaman rumahnya.

***

Lelaki bernama Yahya mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam tas. Mira mengerutkan kening melihat itu. Sepertinya ada yang ingin diperlihatkan tamu tersebut.

"Anda harus melihat ini." Yahya menyodorkan benda pipih miliknya yang kemudian disambut Mira tanpa pikir panjang.

Mata Mira membulat. Melihat tanggal di mana sama dengan hari saat malapetaka menimpanya. Seorang pria tertangkap kamera ke luar dari kamar hotel. Ia bahkan melihat jam kejadian untuk memastikannya. Meski wajah pelaku tak tampak, ia tahu dengan jelas pemilik pakaian yang pria itu kenakan.

"Bukankah ini Mas Arga?!" Mira tak menyangka jika yang menodainya hari itu adalah Arga. Lalu kenapa dia malah memarahinya dan membencinya?

"Kami belum tahu, dan masih menyelidikinya. Hari itu Tuan Arga pergi ke Bali untuk dinas. Lihat lah ini." Yahya menyodorkan sebuah data keberangkatan ke luar kata dari perusahaan.

"Lalu siapa?"

"Entahlah, tapi Tuan Admaja meminta Anda tenang. Beliau meminta Anda untuk menyimpan ini rapat-rapat demi nama baik keluarga dan perusahaan," tukas Yahya lugas.

Wajah Mira meredup. "Bagaimana dengan anakku? Dia ada di rumah Mas Arga sekarang. Saya curiga, Mas Arga selam ini memang mengincar Anya, dan di sengaja menodai saya lebih dulu karena saya menolak permintaannya."

"Menolak?"

"Yah, dia memang pria baik, hangat, setia. Tapi dia juga normal. Dia sempat mengatakan saat kami bersama ada di dalam mobil menuju rumah saya, karena hampir tiap hari Mas Arga mengantar saya pulang, dia meminta izin untuk melakukan hubungan. Tapi saya masih waras, saya wanita baik-baik, saya menolaknya demi kebaikannya juga kebaikan saya."

"Benarkah, mungkin Ibu Mira salah dengar."

"Tidak. Saya tidak mabuk atau mengantuk." Pikiran Mira melayang pada kejadian empat bulan lalu.

Malam itu memang suasana agak berbeda. Arga iseng memintanya nonton di bioskop. Karena terbawa suasana film romantis yang mereka tonton, Arga sempat memegang tangannya di bioskop. Namun, cepat Mira menariknya. Ia sadar semua itu sudah melampaui batas. Mereka bahkan seharusnya tidak sering berduaan apalagi nonton bersama selagi belum terikat pernikahan yang menghalalkan semua aktivitas itu.

Di dalam mobil, Arga menatapnya aneh. Pria itu berkali-kali melirik ke arahnya sambil melonggarkan dasi.

"Em, Dik. Perlukah kita mengikat hubungan kita lebih dari sekadar tunangan?"

Naik Ranjang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang