Permusuhan

2.9K 148 0
                                    

Ia merasa tak perlu menyalahkan takdir atas keinginannya yang tak terwujud. Daripada mengeluh, lebih baik ia berusaha mewujudkannya.

***

Suara bass seorang pria yang berbicara dengan perawat terdengar samar.

"Apa itu Om Arga?" gumam Anya yang mengharapkan kehadiran suami.

Walau bagaimana mereka telah menikah. Ada ikatan yang harusnya membuat pria itu cemas saat mendengar dirinya masuk rumah sakit.

"Om ...." Suara Anya menggantung. Wajahnya yang sempat berbinar seketika redup melihat siapa yang datang.

"Hallo," sapa Arya begitu masuk. "Apa adikku yang durhaka itu belum ke mari juga?" tanyanya heran.

Seharusnya Anya sudah ditemani pria itu sekarang. Saat bertanya pada suster, katanya tak seorang pun datang melihat Anya. Pria itu datang dengan membawa kresek berisi makanan yang kemudian diletakkan di atas nakas.

"Hemh. Mungkin Om Arga sedang sibuk."

"Om?" tanya Arya seketika. "Kamu memanggilnya Om? Hei, ayolah dia suamimu. Sebenarnya hubungan macam apa yang kalian jalani?" Arya menyodorkan ponsel.

Anya sungguh malas membahas apa yang menimpanya karena Mira. Semua itu seperti mengupas luka yang belum sembuh sepenuhnya.

Arya membungkuk hingga wajahnya berada tepat di depan wajah Anya.

"Apa kamu baby sugarnya?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

Mata Anya melebar. Kenapa pria itu begitu santai bersikap padanya. Berbeda dengannya yang selalu merasa gugup berhadapan dengan seorang pria. Ia hanya bisa memandangi wajah Arya tanpa bicara apapun, hingga detik kemudian kakak iparnya kembali berdiri tegak.

"Aku sangat penasaran pada Arga. Bodohnya aku jika sebagai seorang kakak tak tau masalah yang dihadapinya." Kini pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Aku bukan selingkuhannya!" protes Anya cepat. Membuat Arya kembali menoleh padanya.

"Oya?"

"Em." Anya mengangguk polos. "Aku istri sahnya, Om. Dan, dan soal em, Ibu Mira ... pernikahan mereka tidak sah."

Arya menautkan alisnya mendengar pernyataan dari wanita yang duduk di atas ranjang pasien.

"Jadi mereka sempat menikah?" suara Arya menekan.

"Karena suatu hal pernikahan mereka batal. Dan Bu Mira adalah ibuku."

"Apa?!" Mata Arya melebar sempurna. Kisah cinta adiknya ternyata lebih rumit dari kisah-kisah dalam novel yang dia buat.

"Ehm, jadi kamu pelarian. Jadi sebenarnya, Arga mencintai ibumu tapi kamu jadi tumbal di rumahnya. Aku bisa melihat dengan jelas dari tatapan kalian. Ck kalian bahkan baru beberapa hari menikah, tapi ...." Arya menggerakkan telunjuknya berputar.

Kalimat terakhir yang terlontar dari mulut pria itu membuat Anya mulai terusik. Ia membuang pandangan ke arah lain. Lagi-lagi harus merasa nyeri mengingat takdir yang harus dijalani. Namun, ia merasa tak perlu menyalahkan takdir atas keinginannya yang tak terwujud. Daripada mengeluh, lebih baik ia berusaha mewujudkannya.

"Ahm. Maaf." Arya mengucap singkat. Ketika menyadari lawan bicaranya sedang dalam suasana hati yang buruk.

***

Mira terhenyak saat tiba-tiba ada yang meraih tangannya. Ia terkejut saat mendongak dan mendapati Arga sudah menatapnya tajam.

"Apalagi yang kamu lakukan sekarang lacur?" Setiap kali melihat Mira, rasa nyeri seketika memenuhi hati Arga.

"Lepaskan, Mas!" Mira menarik tangan kasar. "Apa kamu pikir lacur seeprtiku tak berhak hidup dan menyelamatkan anakku?!"

Arga menatapnya dengan marah. Ia kembali meraih lengan Mira dan menyeretnya pergi ke tempat lebih sepi.

"Am, Tuan ....!" suara Yahya tertahan. Pria itu sudah membawa wanita yang menjadi tanggung jawabnya menjauh.

Yahya yang melihat kejadian itu tak bisa berbuat apa pun selain mengekor dua orang itu

***

Admaja memasuki sebuah kantor pemerintah dengan percaya diri. Ia senang di tempat seperti ini masih ada oknum yang bisa diajak negosiasi soal bisnis.

"Hallo Bapak Admaja, bagaimana kabar Anda?" Walikota segera bangkit dari duduknya ketika tamu yang di tunggu-tunggu datang. Ia menyambut dengan hangat siapa saja yang mau bekerja sama dan mampu membayar mahal untuk kebijakan yang akan dibuatnya.

Pria dengan kepala botak dan perut buncit itu membuka dua tangannya. Keduanya berpelukan seperti sahabat lama, meski kenyataannya belum lama kenal melalui koneksi masing-masing.

"Ya ... tentu saya baik. Seperti yang Anda lihat. Hahah." Admaja tertawa. "Saya bahkan masih kuat tiga ronde dalam sekali permainan."

"Wah, wah ... luar biasa haha," taw walikota menyusul, hingga ruang itu terasa sangat ramai meski hanya ada beberapa orang.

"Oya, silakan duduk. Anda pasti sibuk."

"Hem, berapa digit yang Anda inginkan?" tanya Admaja setelah bokongnya menyentuh kursi.

"Yah gampang soal itu lah. Saya yakin Bapak Admaja berani bayar tinggi daripada pengusaha lain."

Admaja tersenyum kecil mendengar ocehan pejabat itu. Pantas mereka bisa mudah mendapat klien dari tikungan, rata-rata penjilat seperti mereka pandai bicara.

"Yah, baiklah ...." Admaja mengeluarkan benda pipih miliknya. Lalu mengklik aplikasi perbankan.

Walikota melirik angka-angka fantatis yang tamunya ketik. Ia berdecak senang.

"Wah, benar rumor yang beredar Anda sangat dermawan," ucap walikota memuji Admaja.

Admaja menyunggingkan senyuman. "Silakan lihat jumlah yang masuk. Oya satu lagi, tolong urus pendemo yang sering datang ke tempat proyek. Sekalian penulis opini yang terus mengoceh mengkritik kebijakan perusahaan kami ditindak tegas saja lah! Saya mulai muak dengan cuitan-cuitannya, dia selalu memprovokasi pembacanya."

"Maksud Anda "Psycho Man" yang juga novelis itu?"

"Yah, siapa lagi. Cari tau siapa dia. Kalau perlu ciduk dan biarkan membusuk di penjara."

"Yah, yah. Saya akan urus. Kalau Anda dermawan begini, tentu kami akan memberi service maksimal." Walikota itu begitu senang. Uang yang Admaja berikan padanya cukup untuk berkeliling dunia sekeluarga selama berkali-kali.

Merasa tak ada lagi yang dibahas, Admaja berpamitan. Ia kembali mengingatkan selain kebijakan yang ia minta, protes rakyat dan opini penulis harus dihentikan.

***

Arga memasuki ruangan Anya perlahan. Ia muak setiap kali melihat Arya dekat-dekat dengan miliknya.

"Wah, wah. Baru bertemu sehari kalian sudah seakrab ini," sindirnya melihat Anya yang bisa santai mengobrol dengan kakaknya.

Anya mendesah. Baru saja datang, mulut Arga sudah mengajak ribut. Apa lelaki itu tidak bisa berkaca pada dirinya sendiri?

"Ah, sudahlah. Simpan pikiran kotormu. Lagian aku ada di sini karena suaminya tidak peduli sejak pagi." Arya menjawab tak kalah pedas meski nadanya datar.

"Kamu?!" Arga menoleh pada kakaknya, dengan tatapan tak terima. Arya sendiri menyambut sikap sang adik dengan tersenyum licik. Keduanya saling beradu pandang tajam, membuat Anya bingung apa yang mesti ia lakukan?

Naik Ranjang CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang