Pagi ini Marsha bergegas menuju rumah sakit. Saking ingin cepat berangkatnya, sampai ia menumbalkan Zack kembali.
"Sumpah, kenapa kamu ajak aku berangkat pagi-pagi buta?" Tanya Zack bingung. Saat ini keduanya sudah berada didalam mobil.
"Aku ngehindari bang Arcel. Tau kan kalau dia datang? Rusuh Zack," kata Marsha memberi alasan yang tak sebenarnya jelas.
"Hem, begitu? Haduh, untungnya mama gak marah tadi."
"Sepertinya tante Maya puncak rantai makanan tertinggi," guman Marsha ngeri.
"Bener banget Sha! Papa saja tidak berani bertindak kalau mama sudah marah," kata Zack malah membalas.
"Mak-mak memang beda," kata Marsha juga mengingat sistem keluarganya. Hampir semua laki-laki jika sudah berkeluarga akan kalah dengan istrinya. Hem, apakah ia akan seperti itu? Tidak-tidak, jangan keluarkan sikap aslimu Marsha.
****
Sebenarnya hari ini bukan hari yang berat. Entah kenapa pasien hari ini cukup lenggang. Yah, itu bagus karena tidak banyak anak-anak yang sakit.
"Siang dokter Marsha," sapa dokter Lando saat mereka bertemu disalah satu koridor menuju kantin.
"Siang dok," balas Marsha dengan senyum khasnya.
"Hendak makan siang?" Tanya Lando dan Marsha mengangguk.
Akhirnya keduanya makan siang bersama. Tumben hari ini Marsha tidak melihat suasana di kantin yang membuatnya panas. Em, di mana Ilham? Ia hanya menemukan Tasya yang sedang makan siang sendiri tengah fokus kepada beberapa lembarannya.
Apa Marsha kangen Ilham? Tidak, tentu saja bohong. Jelas ia sedikit bertanya dalam hati dimana Ilham.
"Ini dok, maaf menunggu lama," kata Lando memberikan piring yang ia bawa.
"Tidak masalah, terima kasih."
Setelah mengucapkan terima kasih, Marsha menatap piringnya. Ah, Marsha menyesal mengatakan pesankan makanan yang sama. Makanan ini cukup pedas dan perut Marsha tidak akan bersahabat. Namun, karena tidak enak juga melihat dokter Lando yang sudah antri akhirnya Marsha tetap memakannya. Ia akan meminum obat lambung nanti.
Makan siang berjalan dengan damai, setelahnya Marsha pamit terlebih dahulu. Perutnya sudah mulai terasa tidak enak.
"Auh! Perih, ya ampun padahal sudah minum satu botol air tapi kok masih pedas," kata Marsha yang baru saja membuang botol minumnya pada tempat sampah koridor.
"Kenapa pegang perut?"
Marsha langsung mengangkat kepalanya. Ia terkejut sekarang dihadapannya sudah ada dokter Ilham. Apakah Marsha bermimpi?
"Habis makan pedas?" Tebak Ilham namun Marsha masih diam saja.
"Ikut aku," kata Ilham menarik Marsha menuju tempat yang sepi. Lebih tepatnya disisi lain taman.
"Coklat untuk netralin pedasnya," kata Ilham memberi coklat. Marsha rindu coklat ini, Ilham sudah lama tak memberinya coklat.
"Te-terima kasih," kata Marsha kemudian membukanya dan segera melahapnya. Pahit dan manis coklat dengan segera menetralkan lidahnya.
"Kakak kok tau aku habis makan pedas?" Tanya Marsha kepada Ilham setelah lidahnya mulai lebih baik.
"Hafal, kebiasaan kamu pegang perut dan minum air banyak. Sudah tahu tidak bisa makan pedas kenapa masih ngonsumsi?" Tanya Ilham membuat Marsha hanya tersenyum.