PCD #11

718 58 1
                                    

"Sendirian?"

Marsha terkejut tiba-tiba ada suara di sampingnya. Lebih terkejutnya, itu suara Ilham.

"Kak-dokter Ilham?" Kaget Marsha secara spontan.

"Sudah lama yah. Tidak berbicara dan berjalan bersama," kata Ilham. Matanya masih lurus menatap depan, sedangkan kakinya menyelaraskan jalannya dengan Marsha.

Marsha hanya menunduk tidak menganggapi. Ia terlalu bingung hanya untuk membalas.

"Makan siang berdua?" Tanya Ilham.

"Kakak tidak sibuk?" Balas tanya Marsha.

"Tidak, kamu sedang tidak sibuk juga kan?" Tanya Ilham dan Marsha menggeleng.

"Baguslah," kata Ilham kemudian dengan sendirinya langkah kaki mereka menuju ke arah kantin.

"Kak Ilham!" Jerit suara membuat mereka menoleh.

"Tasya? Ada apa?" Tanya Ilham.

"Kak, loh ada Shasha juga," kata Tasya dengan wajah terejutnya.

Ekspresi Marsha sedikit berubah saat itu juga. Kenapa sih, saat ada momen berdua dengan Ilham. Tasya selalu saja ada. Selalu saja muncul. Marsha sampai merasa jika Tasya sengaja melakukan hal tersebut.

"Jangan hiraukan aku," kata Marsha datar.

"Hehehe, sebenarnya tadi dokter Prass mengatakan jika pasien gagal jantung yang dokter tangani tengah kritis. Jadi, beliau memanggil dokter keruangannya untuk segera membicarakan penundaan operasi."

"Pak Darka? Baik," kata Ilham segera mengangguk.

"Dokter Shasha. Maaf makan siangnya," kata Ilham.

Marsha hanya mengangguk, "jangan hiraukan saya."

Ilham merasa bersalah, namun ia harus segera menemui dokter Prass. Sementara Tasya dari belakang hanya tersenyum. Sampai kapanpun Tasya tak akan membiarkan Marsha bahagia.

"Oh, aku ikut dokter Ilham dulu ya Sha," kata Tasya menunjuk arah Ilham pergi.

"Terserah," balas Marsha datar. Sudah ia cukup jengkel dengan ini semua.

Dari pada makan siang tak jelas di kantin. Marsha lebih memilih untuk keluar. Makan diluar area rumah sakit mungkin akan membuatnya tenang.

Kadang, Marsha rindu masa kecilnya. Dulu, ia benar-benar diperlakukan princess oleh semua orang. Namun sekarang, ia benar-benar diacuhkan semua orang.

Namun itu malah membuat Marsha senang. Kepribadian Marsha yang suka sendirian membuatnya terbiasa. Sejak kapan ia sudah tak seceria dan sejail masa kecilnya? Itu semua sejak abangnya kuliah. Marsha menuntut dirinya sendiri untuk mandiri. Dan usahanya tak sia-sia karena saat ini dirinya sendirian.

"Loh! Ada Shasha!" Suara ibu-ibu membuat Marsha kaget.

"Aunty Aini? Kok disini?" Tanya Marsha bingung, ia menoleh ke sana ke sini tak ada orang lain.

"Yah, sebenarnya tadi Aunty pulang dari supermarket. Mampir sebentar  untuk membeli makanan. Hari ini Aunty tidak masak, jadi beli saja," jawab Aini.

"Kamu kok di sini sendiri? Sedang istirahat?" Tanya Aini dan Marsha mengangguk.

"Yah, bosen Aunty dengan masakan kantin. Sekali-kali me time begitu. Shasha kangen ngulang waktu di Harvard hehehe," jawab Marsha menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Oh begitu," balas Aini. Tak sengaja ia melihat ponsel Marsha yang menyala karena pesan. Dalam wallpaper tersebut, Marsha bersama seorang laki-laki.

"Pacarnya ya?" Tanya Aini membuat Marsha mengikuti pandangan Aini di ponselnya.

Love DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang