"Assalamualaikum Bunda, Ayah," salam Tasya saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam," balas kedua orang tuanya.
"Kok sudah pulang Sayang?" Tanya Risky. Karena hari ini putrinya itu pulang lebih awal dari pada biasanya.
"Iya yah. Hari ini tidak ada jadwal jaga di IGD jadi lebih cepat," jawab Tasya sambil mengangkat bahunya lega.
"Ya sudah, mandi dulu. Habis itu makan malam dan sholat," kata Aini dan Tasya mengangguk.
"Jam segini sudah makan malam?" Tanya Tasya karena ini masih jam enam sore.
"Sudahlah," kata Aini dan Tasya juga tak mau ambil pusing.
Ia segera mandi seperti perintah bundanya dan kemudiam turun kembali untuk makan malam.
"Wah! Bunda masak banyak hari ini," kata Tasya karena makanan di meja banyak sekali.
"Tapi Tasya kayaknya tidak bisa ikut makan di sini deh."
"Loh kenapa?" Tanya Aini bingung.
"Tugas Tasya banyak banget Bun. Nanti saja ya Tasya turun, mau nyicil tugas dulu." Kata Tasya segera naik kembali menyelesaikan revisiannya yang menumpuk. Pokoknya harus selesai hari ini, jadi besok ia hanya dapat memanas-manasi Marsha di rumah sakit.
"Huh... siapa suruh sih jadi dokter," guman Risky menghela nafas. Ia tidak tahu putrinya kesambet dari mana ingin menjadi dokter.
"Itu kam cita-cita Tasya bang," kata Aini.
"Iya, tapi kasihan tugasnya banyak," balas Risky.
"Dokter itu pekerjaan yang mulia bang."
"Iya-iya kapan aku pernah menang debat dengan wanita," guman Risky membuat Aini ngambek.
"Kan aku cuma beritahu," balas Aini.
"Ngambek nih, jangan ngambek lah. Kan itu memang kenyataan, wanita selalu benar. Dimanapun."
"Malas ngomong sama abang," kata Aini berdiri lagi dari mejanya.
"Loh, An. Aku bercanda," kata Risky mengikuti Aini menuju dapur.
"Ngambek ya," kata Risky tiba-tiba memeluk istrinya dari belakang.
"Lepaskan bang, aku mau nyuci panci," kata Aini menggoyang-goyangkan tubuhnya agar tangan kekar suaminya itu lepas dari pinggangnya.
"Nyucinya bisa nanti. Maafin dulu dong," Risky menaruh kepalanya di bahu Aini.
"Aku gak marah bang."
"Benar? Tapi kok cemberut terus?"
"Serius, abang sana makan dulu."
"Mau makan kamu," balas Risky sambil meniup telinga Aini. Jika hanya ada keluarga di rumah, Aini biasanya melepas hijabnya.
"Abang!" Kesal Aini.
"Iya aku di sini An. Jangan berteriak," kata Risky semakin menggoda istrinya.
"Sudah sana makan, aku akan menyusul," kata Aini kesal.
"Iya-iya. Ayo makan," kata Risky langsung menggendong Aini. Bukan menuju meja makan melainkan menuju kamar.
"Abang!"
"Ya ampun, itu kenapa orang tua berisik sekali," kata Tasya yang masih mengerjakan soalnya menjadi terganggu.
Dua jam Tasya berkutat dengan laptop dan bukunya. Kepalanya serasa ingin pecah saja. Kedokteran memanglah bidang tersulit.
"Huh..." Tasya menghela nafas kemudian membuka ponselnya.
Hal pertama yang terpampang adalah gambar layar ponselnya. Itu foto Ilham yang Tasya ambil secara diam-diam. Tasya melihati foto itu dengan lekat.
